Kita Belum Pernah Normal

Krisis yang tengah kita alami saat ini tidak disebabkan oleh virus SARS-CoV-2, tapi akibat rentannya sistem, jaminan dan infrastruktur kesehatan masyarakat di republik ini.

ANTON NOVENANTO

Judul paparan ini terinspirasi oleh buku yang ditulis Bruno Latour, We Have Never Been Modern (1993).[1] Buku ini adalah versi bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh Catherine Porter, buku aslinya Nous n’avons jamais été modernes: Essai d’anthropologie symétrique (anak judul berarti kira-kira, “sebuah esai antropologi simetris”) terbit dalam bahasa Prancis tahun 1991.

Dalam buku tersebut, Latour membahas bagaimana sains modern dibaca dalam pendekatan antropologi dan meletakkan sains sebagai “salah satu” tafsir budaya namun menjadi sangat dominan ketika cara-cara penjelasan ilmiah lebih diterima. Paparan ini, sayangnya, tidak akan mengadopsi total pendekatan yang ditawarkan Latour itu—sekalipun usaha itu tentu akan sangat menarik bila dilakukan. Paparan kali ini lebih cenderung berbicara tentang realitas yang muncul sebagai konsekuensi dari pandemi Covid19 dan segala upaya untuk mengatasinya.

Dalam merespons situasi pandemi Covid19, kami merintis sebuah proyek penelitian eksperimental berjudul New Marginals, Old Marginals in the Age of Covid19. Sementara banyak orang awam, pebisnis, ilmuwan dan aparatur negara berbicara tentang bagaimana mempersiapkan apa yang disebut awalnya “new normal” (yang diralat menjadi “adaptasi kebiasaan baru” sekalipun intinya tetap, “bagaimana hidup harmoni bersama virus Covid19”), proyek kami itu lebih memilih fokus pada bagaimana beberapa kelompok sosial mengalami proses marjinalisasi dari usaha harmonisasi dengan virus itu.

Untuk tujuan itu, kami berusaha menunjukkan bagaimana produksi, reproduksi dan akumulasi struktur dan proses “kerentanan” (vulnerability) terjadi secara multidimensi dan interseksional. Kami berangkat dari gagasan sosiolog Amerika Charles Wright Mills tentang imajinasi sosiologis, melihat persoalan individual sebagai hasil dari tekanan-tekanan struktural dan proses sosio-kultural.[2]

Kami pun berusaha melampaui kerentanan ekonomi dengan mempertimbangkan kerentanan-kerentanan lainnya. Secara khusus, kami melihat bagaimana penanganan pemerintah ternyata tidak dapat mengatasi krisis kesehatan yang sedang berlangsung sehingga kerusakan kolateral yang dialami di sektor-sektor lain terus meningkat.

Pertanyaan besar yang hendak kami bahas adalah: bagaimana pengaturan penduduk sebagai strategi mengendalikan virus dan penyakit justru menjadi struktur marjinalisasi baru, bagi kelompok-kelompok marjinal yang sudah ada sebelumnya dan/ataupun menciptakan kelompok marjinal baru?

Krisis

Narasi pembuka yang menarik ditampilkan dalam paparan ini adalah “Kerja Tanpa Jaminan” dari Baswara Yua Kristama dan Yuni Kurniawaty. Narasi ini menggambarkan dasar dari seluruh akar krisis yang tengah kita hadapi, tentang bagaimana rapuhnya dunia kesehatan di Indonesia. Ini adalah satu hal yang perlu kita pahami sebagai ilmuwan sosial: krisis yang tengah kita alami saat ini tidak disebabkan oleh virus SARS-CoV-2, tapi akibat rentannya sistem, jaminan dan infrastruktur kesehatan masyarakat yang tersedia selama ini di republik ini.

Dalam situasi “normal” (baca: “tanpa krisis Covid19”) saja, sistem, jaminan dan infrastruktur kesehatan di republik ini kewalahan dalam menangani persoalan kesehatan. Sistem, jaminan dan infrastruktur yang rentan itu tak cukup resilien dalam menghadapi hantaman bahaya virus yang menyebar dengan cepat. Klaim “tidak ada negara di dunia yang siap” kerap kali dilontarkan sebagai alasan permisif bagi pemerintah. Akan tetapi, sampai kapan kita “tidak siap”? Sampai hari ini saja (bulan Juli), pemerintah terlihat “belum juga siap” menerima realitas krisis kesehatan.

Sayangnya, reaksi yang muncul dari ketidaksiapan sistemik dan struktural semacam itu adalah dengan melempar kesalahan dan tanggung jawab pada rakyat (mis. “rakyat tidak disiplin”). Reaksi semacam ini jelas kontra-produktif karena kita juga menjadi saksi bagi sebuah fakta bagaimana pemerintah dan aparaturnya tidak cukup disiplin dalam menjamin keselamatan kerja bagi para tenaga kesehatan yang tengah berjuang di medan pertempuran terdepan dan juga menjamin memberikan infrastruktur kesehatan yang memadai bagi seluruh warganya.

Niklas Luhmann

Mengacu pendapat sosiolog Jerman Niklas Luhmann, kita perlu memahami bahwa krisis terjadi karena kita ragu dan cemas ketika hendak memasuki sebuah ruang yang tidak pernah kita ketahui apa isinya. Oleh karena itu, manajemen krisis sebagai upaya untuk “menyintas bersama ketidaktahuan” (coping with the unknown), tentang bagaimana sebuah ruang yang belum pernah kita jelajahi sebelumnya.[3]

Menengok sejenak pada sejarah ilmu di Barat, kita akan menjumpai ilmu pengetahuan pertama yang menjadikan “manusia” sebagai “objek materiil”-nya adalah “ilmu kedokteran” (medicine). Ilmu kedokteran merupakan turunan dari perkembangan ilmu yang lain lagi, “biologi”. Mengikuti logika dasar ilmu biologi, ilmu kedokteran mendekati manusia, objek materiil, sebagai mahluk biologis.

Pengetahuan ilmu kedokteran dipicu ketika kita mendeteksi adanya anomali atas faal (fungsi tubuh) yang mengganggu keseluruhan kinerjanya. Penemuan-penemuan dalam ilmu kedokteran justru semakin pesat ketika semakin banyak anomali atau abnormalitas fungsi tubuh manusia dapat dideteksi. Apabila tubuh manusia berjalan normal-normal saja, ilmu kedokteran mungkin tidak akan banyak berkembang.

Kita perlu memahami bahwa “ilmu kedokteran” sebagai ilmu pengetahuan yang sangat politis. Pengetahuan ilmiah, medis disusun untuk tujuan merekayasa tubuh. Ilmu kedokteran adalah sebuah representasi tentang bagaimana sebuah disiplin ilmu memiliki kepentingan politis: untuk menangani krisis yang dihadapi umat manusia.[4] Ilmu kedokteran dibutuhkan ketika manusia tidak bisa menjalankan tubuhnya akibat adanya gangguan-gangguan pada tubuhnya.[5]

Antropologi pengetahuan tentang ilmu kedokteran mengajak kita untuk melihat tubuh manusia sebagai frontir atau laman batas dari ruang yang tidak pernah diketahui. Jadi, jangan bayangkan frontir itu sebatas sesuatu yang terletak di luar sana, di luar angkasa, ruang-ruang tak berpenghuni dan belum pernah dijelajahi oleh manusia.

Pandemi kali ini menyadarkan pada kita bahwa frontir itu, laman batas itu ternyata adalah tubuh kita sendiri. Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang ada di balik tempurung kepala kita, dada kita, perut kita. Siapa dari kita yang pernah lihat otaknya sendiri? Atau jantung? Atau paru-paru?

Kerentanan

Di sini saya hendak mengajak masuk pada tiga narasi. Pertama, tentang sektor ekonomi informal dari Erina Saputri; kedua, tentang migran oleh Fitri Widowati; dan ketiga, tentang kehidupan lansia oleh Nuzul Solekhah. Tiga kelompok yang diamati ini sangat unik dan memiliki karakternya masing-masing. Dari ketiganya, kita dapat mempelajari kerentanan ekonomi adalah yang paling kentara, namun bagaimana upaya penanganan pandemi ternyata sangat “bias kelas” dan cenderung mengabaikan kebutuhan dan kepentingan dari kelas lain.

Pedagang kaki lima (PKL) adalah penyelamat utama dari krisis moneter 1997-98. Kala itu, negara tak sanggup memberikan jaminan kesejahteraan dari sektor tenaga kerja bagi warganya. Yang dilakukan pemerintah adalah “pembebasan” (denotatif) atau “pembiaran” (konotatif). Warga dilepaskan begitu saja pada “mekanisme pasar” dalam rangka bertahan hidup menghadap krisis ekonomi. Jaminan-jaminan sosial pada warga nyaris tidak ada.

Ketiadaan jaminan sosial itu membuat beberapa kelompok masyarakat-warga mendesakkan disusunnya dan disahkannya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (No. 4/2004). UU ini kemudian menjadi dasar bagi terbentuknya UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang baru efektif bekerja sejak 2014. Sampai saat ini, baru dua domain penjaminan: kesehatan dan ketenagakerjaan.

Krisis kolateral dari pandemi ini, khususnya krisis ekonomi, mengindikasikan bahwa sistem jaminan tersebut tidak, atau belum pernah bekerja normal. Idealnya, dalam situasi krisis, termasuk pandemi ini, jaminan sosial terlembaga semacam ini dapat menjadi andalan bagi warga untuk menyintas dari krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi.

BPJS-Kesehatan pun tidak sanggup memberi jaminan bagi pasien yang terpapar Covid19 dan juga fasilitas kesehatan yang ketiban sampur untuk menanganinya. BPJS-Ketenagakerjaan juga kewalahan dalam memberi jaminan bagi seluruh pekerja di sektor formal yang terkena dampak dari krisis ekonomi yang menyertai pandemi. Para PKL, tentu saja, termasuk pada kelompok yang tidak masuk dalam jaringan pengaman sosial terlembaga ini.

Narasi tentang migran menunjukkan pada kita bahwa kemampuan untuk menyintas dari pandemi ini tidak banyak ditentukan oleh jaminan sosial terlembaga dari pemerintah, tapi lebih mengandalkan jaminan sosial swadaya antar-warga. Pola semacam ini sudah dapat dideteksi dalam cara pemerintah republik ini mengatasi krisis-krisis sebelumnya.

Namun, yang cukup mengkhawatirkan adalah kapasitas menyintas bersama virus SARS-CoV-2 ini akhirnya kembali pada “daya beli” (purchasing power). Bila tes mendeteksi virus saja sudah dikomersialkan, apa yang bisa kita bayangkan apabila vaksin atau anti-virus benar-benar ditemukan.

Narasi tentang lansia membuka mata kita bahwa kerentanan ekonomi hanyalah salah satu, dan bukan satu-satunya kerentanan yang ada. Ada kerentanan sosial-psikologis tentang bagaimana “jaga jarak” tidak hanya berdampak pada relasi fisik tapi juga relasi sosial-psikologis.

Sepertinya kita memang perlu belajar dari dan menjadi seperti para lansia yang secara psikologis mengalami sesuatu yang disebut sosiolog Jerman Norbert Elias sebagai “kesendirian menuju kematian” (the loneliness of dying).[6] Pandemi Covid19 adalah, bagaimananpun juga, sebuah percepatan dari situasi psikologis menghadapi kematian yang semakin konkret dan dapat dialami oleh siapa saja, tidak hanya para lansia.

Penculikan jenazah positif Covid19 oleh keluarganya adalah salah satu representasi tentang bagaimana kita tidak ingin para korban itu sendirian pada masa-masa terakhir dalam kematian. Tidak semua orang terlatih untuk menghadapi kematian. Akan tetapi, kematian masih dianggap sebagai hal tabu untuk dibicarakan, sekalipun peristiwa itu pasti dialami oleh setiap orang, sehingga kita pun cenderung menyendiri saat menyambut kematian.

Pengaturan-pengaturan seperti, jaga jarak, di rumah saja, jangan bersalaman, kurangi perjumpaan fisik, menggunakan masker atau pelindung lain, dalam kehidupan keseharian semakin mewujudnyatakan tentang bagaimana kita sebenarnya selalu sendirian dalam menyambut ajal.

Marjinalisasi

Secara umum, ada dua kelompok yang muncul dalam merespons tawaran konsep tentang “new normal”. Pertama, mereka yang mengambil konsep “new normal” itu dalam rangka mencari peluang untuk mendapatkan keuntungan, ekonomi dan politik. Peluang ekonomi, mulai dari berjualan perlengkapan keseharian sampai investasi pada vaksin dan anti-virus. Peluang politik, melihat ini “new normal” sebagai kesempatan untuk menjadi “pahlawan”, bahkan “juru selamat” agar dapat meneguhkan ataupun memutarbalikkan relasi kuasa yang pernah ada.

Kelompok kedua adalah mereka yang berpikiran bahwa segalanya sudah “back to normal”, kembali normal. Ini yang paling banyak terlihat saat ini bila kita mengamati perilaku keseharian yang dapat dijumpai. Dua kelompok ini, tentu saja, dapat muncul dari konteks sosial-historis masing-masing.

Selain dua kelompok tersebut, narasi tentang “belajar dari rumah” oleh Laila Azkia menunjukkan adanya pertumbuhan kelompok menengah kritis akibat dari adanya perubahan pola interaksi dari tatap-muka menuju tatap-layar.

Tidak sedikit dari kita yang tidak hanya sedang menjalani anything from home tetapi juga justru membiasakan diri untuk menjadikan home for anything. Beberapa dari kita sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan situasi turbulen ini. Dari situ, makin banyak yang makin menyadari, mempelajari dan juga mengalami ketimpangan-ketimpangan yang ada.

Kesadaran, pelajaran dan pengalaman semacam itu, ironisnya, justru hadir ketika kita berhasil menghayati waktu tersisa dalam bayang-bayang kematian yang kian hari kian nyata. (*)


Acuan pustaka

[1] Bruno Latour, We Have Never Been Modern (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993).

[2] Charles Wright Mills, The Sociological Imagination (Oxford University Press, 1959).

[3] Niklas Luhmann, “Ecological Communication: Coping with the Unknown,” System Practice 6, no. 5 (1993): 527–39.

[4] Bandingkan dengan kepentingan ilmu pengetahuan yang dibahas filsuf Jerman Jürgen Habermas, “Technik Und Wissenschaft Als ‘Ideologie’?,” Man and World 1 (1968): 483–523.

[5] Dalam ilmu kedokteran, ada satu cabang yang namanya “psikiatri” yaitu ketika sebab-sebab dari gangguan kesehatan atau penyakit itu bukan dari faktor biologis, tapi dari faktor mental. Menarik, misalnya, membaca tentang sejarah psikiatri yang ditulis, salah satunya oleh Michel Foucault, Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason (New York: Vintage, 1988).

[6] Norbert Elias, The Loneliness of the Dying (New Haven & London: Continuum, 2001).


Pokok-pokok gagasan dalam paparan ini disampaikan dalam forum Jumpa Ngopi “Membaca Kota, Manusia dan Transformasi di Masa Pandemi” yang diselenggarakan secara daring oleh Warmadewa Research Centre 29 Juli 2020. Catatan ini merupakan bagian dari etnografi tambal-sulam dalam proyek penelitian “New Marginals, Old Marginals in the Age of COVID-19”. Bila Anda tertarik untuk bergabung, silakan kirim pesan ke info[a]eutenika.org.

Anton Novenanto adalah dosen & peneliti di Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Perkumpulan Eutenika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *