Ketika WHO menyatakan pandemi global pada 11 Maret, COVID-19 sudah menyebar ke 110 negara dan merenggut lebih dari empat ribu jiwa dan kita hanya bisa bertahan bersama ketidakpastian.
ANTON NOVENANTO
Ini bukan yang pertama
Pada saat melacak usul-asal “koronavirus”, perhatian pertama saya tertuju pada artikel yang ditulis oleh Jie Cui, Fang Lie, & Zhen-Li Shi (2019) Artikel itu berjudul “Origin and evolution of pathogenic coronaviruses”. Metadata yang tersedia menyebutkan bahwa artikel itu diterbitkan secara daring pertama kali pada 10 Desember 2018, dan baru terbit dalam bentuk cetak pada edisi Maret 2019 jurnal Nature Reviews Microbiology.
Dalam artikel itu, kita dapat mengetahui bahwa koronavirus bukanlah makhluk baru di bumi ini. Koronavirus adalah sejenis virus yang menyebabkan infeksi pernafasan dan usus pada binatang dan manusia (hlm. 181). Merujuk pada Komite Internasional Taksonomi Virus (ICTV), koronavirus adalah anggota dari subfamilia Coronavirinae, familia Coronaviridae, ordo Nidovirales. Subfamilia itu terdiri dari empat genus: Alphacoronavirus, Betacoronavirus, Gammacoronavirus, dan Deltacoronavirus. Virus dari dua genus yang pertama menyerang hanya mamalia dalam bentuk gangguan pernafasan dan pembengkakan saluran pencernaan. Sementara itu, virus dari dua genus yang terakhir menyerang burung dan juga mamalia.
Pada tahun 2002, virus ini menjadi perhatian umat manusia dengan kejadian luar biasa (KLB) Severe-Acute-Respiratory-Syndrome (SARS) yang terjadi di China. Ilmuwan menemukan bahwa KLB itu disebabkan oleh virus yang kemudian dinamai: SARS-CoV. Pada 2013, jenis virus ini kembali menggemparkan kita dengan kemunculan KLB Middle-East-Respiratory-Syndrome (MERS) di beberapa negara Timur Tengah. Virus yang menyebabkan dinamai: MERS-CoV. Cui, Li, & Shin menulis artikel tersebut sebagai respons atas kemunculan KLB baru, Swine-Acute-Diarrhoea-Syndrome (SADS) di Provinsi Guangdong, China. Virus yang menyebabkan kematian mendadak babi-babi, khususnya anak babi, pada kurun Oktober 2016 sampai Mei 2017 itu dinamai: SADS-CoV (hlm. 190).
Penelitian-penelitian ilmiah menemukan bahwa 7 dari 11 spesies Alphacoronavirus dan 4 dari 9 spesies Betacoronavirus teridentifikasi di kelelawar. Temuan inilah yang memunculkan pemikiran bahwa usul-asal virus ini adalah dari kelelawar (hlm. 181). Pada saat epidemi SARS hampir seluruh pasien yang terpapar melakukan kontak dengan hewan sebelum menjadi penyakit. Yang menarik adalah SARS-CoV dan antibodi SARS-CoV ditemukan pada musang bulan (Paguma larvata) (hlm. 182). Pada 2005, peneliti menemukan SARS-CoV pada kelelawar tapal kuda (Rhinolophus) sehingga memunculkan dugaan bahwa SARS-CoV berasal dari kelelawar jenis ini dan musang hanya perantara saja.
Sebuah studi yang memakan waktu 5-tahun menemukan sebuah gua kelelawar di Provinsi Yunan, China yang diduga menjadi titik pusar bagi perkembangbiakan SARS-CoV. Temuan ini cukup membingungkan karena tidak ditemukan kasus SARS di provinsi tersebut pada saat KLB SARS tahun 2002. Cui, Li & Shin menduga bahwa meskipun induk alamiahnya adalah kelelawar SARS-CoV membutuhkan binatang lain sebagai perantara (salah satunya adalah musang) untuk bermutasi sebelum bisa masuk ke tubuh manusia (hlm. 183).
Apabila SARS-CoV butuh musang sebagai inangnya, MERS-CoV butuh unta (hlm. 187). Hal ini dibuktikan oleh temuan-temuan ilmiah atas antibodi MERS-CoV dalam tubuh unta dari Timur Tengah, Afrika dan Asia. Temuan yang paling menarik adalah MERS-CoV ditemukan dalam sebuah sampel unta yang diambil pada tahun 1983. Temuan ini mengindikasikan bahwa MERS-CoV sudah ada dalam tubuh unta selama lebih dari 30 tahun yang lalu. Ada dua jenis MERS-CoV: L1 & L2 (hlm. 189). Virus L1 yang ditemukan di Timur Tengah (Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Oman dan Yordania) dan Asia (Korea Selatan dan Thailand) telah menyebabkan KLB pada manusia. Sementara itu virus L2 yang ditemukan di Afrika (Nigeria, Burkina Faso, dan Etiopia) dan Timur Tengah (Maroko) tidak menyerang manusia. Temuan-temuan ini cukup membingungkan para ahli. Bagaimana cara unta bisa terinfeksi bila kita berada dalam asumsi bahwa inang alamiah koronavirus adalah kelelawar?

Proses mutasi koronavirus tidak hanya menyerang manusia. Pada Oktober 2016 sampai Mei 2017, muncul KLB terhadap babi-babi yang diternak di empat lokasi di Provinsi Guangdong, China. Tingkat kematian pada babi, khususnya anak babi mencapai 90%. Gejala ini dikenal dengan Swine-Acute-Diarrhoea Syndrome (SADS). Ini adalah kejadian pertama koronavirus menyerang binatang ternak (hlm. 190). Lagi-lagi, belum ada temuan yang dapat menjelaskan bagaimana koronavirus dapat pindah dari kelelawar (genus Rhinolophus) ke babi. Meskipun begitu, muncul pelbagai dugaan tentang kemungkinan-kemungkinan proses mutasi, transmisi dan rekombinasi koronavirus pada inangnya. Pada saat tulisan itu disusun (akhir 2018), belum ada perlakuan klinis atau strategi preventif untuk mengantisipasi masuknya koronavirus pada tubuh manusia.
Memasuki Abad ke-21
Abad ke-21 ditandai dengan beberapa kejadian luar biasa (KLB) yang disebabkan oleh virus. SARS dan MERS merupakan dua kejadian yang disebabkan oleh koronavirus. Beberapa KLB yang disebabkan virus lain, antara lain flu burung, flu babi, Ebola, dan Zika. Sekelompok peneliti dari beberapa negara menyebutkan bahwa kompleksitas KLB yang disebabkan oleh virus terus meningkat (Grubaugh et al, 2019).
Beberapa faktor yang turut mendukung termasuk pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan frekuensi dan jangkauan perjalanan manusia, alih fungsi lahan secara besar-besaran, perubahan pola makan, perang dan krisis kemanusiaan, dan perubahan iklim. Kondisi semacam itu turut memengaruhi intensitas interaksi virus, inang, dan ekologi melalui campur tangan manusia. Kita jadi butuh waktu lebih untuk mengetahui: virus jenis apa yang akan menyebabkan epidemi baru bagi umat manusia? Namun, daftar pertanyaan tidak berhenti di situ. Bagaimana proses transmisi virus tersebut? Di mana persisnya epidemi bermula? Faktor apa saja yang menggiring pada suatu epidemi? Apa saja gejala awal dari epidemi itu? Kapan persisnya kejadian itu bermula? Apakah kejadian itu terhubung dengan kejadian-kejadian di tempat lain? Bagaimana cara virus itu berevolusi? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan segera oleh para ahli yang juga harus berhadapan dengan fakta KLB yang menyebar tak kalah cepatnya (hlm. 11).
Pada banyak kasus, KLB deteksi pertama bermula dari para dokter mencermati pola-pola tak biasa. Mereka mempunyai tugas penting dan sulit untuk mencari tahu penyebab penyakit itu. Keberadaan perangkat molekuler sangat dibutuhkan untuk mendeteksi apakah memang viruslah yang menyebabkan gejala tersebut. Begitu KLB terdeteksi dan virus penyebabnya teridentifikasi beberapa pertanyaan dasar tentang virus itu harus terjawab. Apakah virus itu baru ataukah pernah diketahui sebelumnya dia menyerang manusia? Apakah kita pernah punya diagnosis, vaksin, dan terapi untuk melawannya? Analisis sekuens terhadap spesies virus baru dapat memberi informasi tentang inang yang potensial—untuk mereproduksinya dan/atau menghasilkan anti-bodi terhadapnya.
Selain Ebola, SARS dan Zika, WHO telah memiliki daftar pantauan virus-virus yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat (hlm. 12). Usaha ini merupakan sebuah strategi untuk mengantisipasi, sekaligus pengakuan tentang bakal terjadinya sebuah epidemi serius. Sebuah skenario pun dirancang. Pada banyak kasus, pasien pertama yang teridentifikasi bukanlah kasus pertama dari kejadian itu. Hal ini menekankan pada kemungkinan adanya kasus-kasus serupa yang tidak terlaporkan ataupun tidak terdeteksi oleh tenaga medis.
Kasus bisa terjadi di mana saja, namun begitu masuk ke sebuah kota keberhasilan transmisi virus berhubungan erat dengan status ekonomi dan tingkat kepadatan penduduk (hlm. 13). Hal ini, memunculkan kekhawatiran besar apabila KLB bermula dan terjadi di negara padat penduduk dan ekonomi rendah. Untuk mendapatkan sebuah gambaran tentang sebuah KLB, sangat penting untuk memahami keberagaman cara virus menyebar. Pada masa awal KLB, salah satu perhatian penting adalah memahami derajat kemungkinan virus tersebut menyebar ke manusia. Persebaran virus dapat dilacak dengan adanya kepastian pengetahuan atas jejaring “siapa-menulari-siapa”. Mengetahui rantai persebaran telah menjadi bagian dari mekanisme standar dari kesehatan masyarakat.
Pengetahuan tentang rantai persebaran itu dapat digunakan untuk memutus penyebaran virus dan mengurangi pembesaran epidemi (hlm. 13). Merekonstruksi usul-asal sebuah KLB adalah tugas utama dari filogeografi. Filogeografi adalah sebuah studi tentang proses historis yang mungkin dapat mengetahui persebaran spasial manusia—seperti yang dilakukan dalam KLB Ebola di Afrika Barat. Meskipun begitu, pendekatan ini hanya dapat menggambarkan sebagian dari proses persebaran yang sebenarnya terjadi. Untuk itu, metode ini perlu juga mempertimbangkan jarak geografis dan jumlah penduduk di sebuah lokasi KLB (hlm. 15). Data lain, seperti kemampuan dan sejarah mobilitas inang (manusia atau hewan) juga penting untuk dipertimbangkan.
Kebutuhan terbesar untuk mengantisipasi KLB virus terjadi adalah aksesibilitas terhadap sampel dan data terkini (hlm. 16). Ini hanya bisa terwujud melalui proses kolaborasi yang produktif dan melibatkan komunitas lokal, lembaga-lembaga kesehatan, klinik lokal, dan peneliti. Meskipun begitu, etika dan tata laku atas data tersebut harus terus dijunjung tinggi. Pangkalan data skala-besar sangat penting bagi pencarian spesifik atas sejarah spasial-temporal dan persebaran dari sebuah KLB. WHO telah mendukung usaha ini. Insiatif seperti GitHub, Synapse dan Data Dryad adalah beberapa yang telah merintis pusat data. Beberapa insan yang peduli tergabung dalam beberapa komunitas daring, seperti Virological, FluTrackers, ProMED, Nextstrain, HealthMap, dan Microreact, melakukan diskusi intens dan diseminasi hasil riset terbaru. Upaya kolaboratif ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang dapat melanda umat manusia.
Mengubah Cara Pandang
Epidemiologi adalah sebuah cabang dari ilmu kedokteran yang memelajari kejadian, distribusi dan pengendalian penyakit dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kesehatan. Tulisan-tulisan tentang kegiatan tersebut sudah ditemukan sejak abad ke-16. Perubahan pemahaman tentang penyakit menular terjadi semakin cepat sejak akhir abad ke-19 (Bedford et al, 2019, hlm 130). Salah satu kejadian pemicu perubahan itu adalah epidemi kolera di London, 1854.
Di abad ke-21, teori dan praktik epidemiologi harus mampu berjalan beriringan dengan cepatnya perubahan epidemi yang terjadi secara alamiah. Para ahli epidemiologi tidak hanya bertugas memahami epidemi yang sedang dan akan terjadi, namun juga dituntut untuk menemukan cara untuk mengatasinya. Realitas dalam dunia kesehatan menjadi semakin kompleks dengan adanya pemahaman-pemahaman baru yang memasukkan variabel demografi dan sosial-ekonomi. Tingginya laju mobilitas manusia yang semakin terhubung secara global dan pesatnya laju urbanisasi yang memicu pertumbuhan permukiman padat huni berkontribusi besar bagi persebaran dan perkembangbiakan virus. Ditambah lagi dengan adanya fakta peningkatan kasus-kasus “penyakit tidak menular” (non-communicable diseases) yang dipicu oleh gaya hidup, kondisi lingkungan dan tekanan mental.
Epidemi tidak hanya menyerang raga biologis manusia saja. Dampaknya juga sampai pada kehidupan sosio-ekonomi jangka panjang, khususnya di negara-negara berkembang dengan sistem kesehatan dan sistem jaminan kesehatan yang rapuh (hlm. 130). Kondisi semacam ini menuntut perubahan cara masyarakat dunia dalam merespons epidemi dan mempersiapkan diri untuk menghadapi pelbagai ancaman yang akan datang.
Penguatan kapasitas bagi para pemimpin politik agar siap menghadapi kondisi yang terburuk mutlak diperlukan. Pendekatan ini perlu secara integratif memusatkan perhatian pada komunitas-komunitas lokal yang memiliki risiko tinggi dan potensial terkena dampaknya. Sekalipun WHO sudah mendapatkan mandat untuk melakukan tindakan preventif, responsif, dan strategi pemulihan, pendekatan “dari bawah” sangat dibutuhkan untuk membangun sistem yang integratif (hlm. 131).
Kita berhadapan dengan kondisi yang disebut dengan “normal baru” (the new normal). Perubahan riil itu terjadi dari bawah. Alih fungsi lahan akibat sistem pertanian dan kehutanan mengubah relasi antara manusia, hewan dan lingkungan. Perubahan demografis ditandai dengan kehidupan yang menjadi semakin urban telah mendorong aglomerasi manusia (dan juga hewan). Mobilitas manusia dengan dalih migrasi, perdagangan, dan wisata meningkatkan peluang terjadinya kontak dan penyebaran penyakit secara global. Perubahan iklim sedikit banyak berkontribusi pada perubahan dan migrasi yang terjadi secara alamiah.
Dalam dunia semacam ini, persiapan menghadapi epidemi membutuhkan integrasi sistem kesehatan, ekonomi dan politik secara global (hlm. 132). Sekelompok peneliti dari pelbagai negara mengusulkan beberapa area yang penting untuk diperhatikan demi mencapai tujuan tersebut, antara lain: i) tata kelola dan infrastruktur, ii) pelibatan dan komunikasi, iii) ilmu-ilmu sosial, iv) pengembangan teknologi, dan v) penelitian dan pengembangan.
Tata kelola dan infrastruktur. Fokus perhatian dari area ini adalah melakukan integrasi kerja kelembagaan di pelbagai level (lokal, nasional, dan internasional), mendorong akuntabilitas dan transparansi dari masing-masing pemangku kepentingan, perbaikan sistem berbagi data, perbaikan manajemen logistik dan krisis. Epidemi menguji banyak aspek dalam tata kelola masyarakat, namun yang terutama adalah ujian terhadap sistem kesehatan dan kepercayaan terhadap pemerintah.
Perbaikan perlu dilakukan melalui usaha membangun sumber daya dan kapasitas yang koordinatif antar lembaga-lembaga kesehatan masyarakat di level lokal, nasional dan internasional. Keterbukaan mutlak diperlukan untuk merajut kepercayaan antar-lembaga. Hal ini bisa dimulai dengan inisiatif sederhana untuk saling berbagi data dari masing-masing lembaga. Mekanisme ini perlu diatur sedemikian rupa agar, pada satu sisi, memungkinkan lembaga mempertahankan kerahasiaan data pribadi, dan, pada sisi lain, membuka peluang bagi kolaborasi internasional memikirkan cara terbaik untuk mengatasi persoalan (hlm. 132).
Intervensi kolaboratif global tidak hanya terbatas pada saat kejadian luar biasa (KLB), tapi juga terintegrasi dalam mekanisme rutin. Desentralisasi pusat-pusat pengendalian penyakit dengan meningkatkan kapasitas laboratorium dan layanan kesehatan di negara-negara di segala penjuru dunia adalah kebutuhan mendesak. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi adalah membuat pusat-pusat tersebut bekerja kolaboratif, bahu-membahu. Perlu dipikirkan suatu mekanisme berbagi data antar-lembaga yang tidak menguntungkan satu pihak saja, tapi untuk kepentingan bersama.
Pelibatan dan komunikasi. Fokus perhatian area ini adalah mendorong segala inisiatif yang berasal dari komunitas sebagai strategi pelibatan komunitas untuk melakukan diplomasi kesehatan. Pelibatan komunitas perlu dilakukan jauh sebelum terjadi KLB, dalam mekanisme layanan kesehatan rutin. Ini dapat dilakukan dengan memberikan layanan kesehatan yang berpusat pada pasien, keluarga dan komunitasnya. Tidak ada kesehatan masyarakat tanpa dukungan dari masyarakatnya (hlm. 132).
Anggota masyarakat berpeluang menjadi agen deteksi kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Oleh karena itu, pelatihan dan mobilisasi relawan untuk mendeteksi, menyeleksi dan melaporkan pelbagai kejanggalan yang mereka jumpai adalah sebuah cara yang efektif untuk mendeteksi suatu kejadian. Jalur informasi kesehatan perlu memanfaatkan jejaring sosial untuk melacak rantai persebaran, baik itu individu-individu ataupun lokasi-lokasi yang rawan. Tantangan besarnya adalah bagaimana menjaga agar pendekatan ini berkembang secara inklusif sehingga dapat merangkul seluruh anggota masyarakat, bahkan yang paling marjinal sekalipun.
Ilmu sosial. Peran ilmu sosial, seperti antropologi, ilmu politik, geografi, linguistik, dalam kejadian epidemi semakin kentara belakangan. Ilmu sosial dapat membantu epidemiologi untuk memahami dan membongkar konteks (lokal) yang dapat menjadi hambatan utama pada cara masing-masing anggota masyarakat merespons epidemi. Meskipun begitu, masih banyak hal yang harus dipelajari tentang bagaimana data-data dari ilmu sosial dapat bermanfaat untuk menanggapi suatu epidemi yang sedang terjadi (hlm. 133).
Dalam suatu kejadian epidemi ada dua lapis pengetahuan yang berjalan beriringan: pertama, pengetahuan tentang epidemi yang sedang berlangsung; dan, kedua, pengetahuan tentang ragam persepsi tentang epidemi yang sedang berlangsung. Pengetahuan lapis kedua itu tidak hanya beragam, tapi terkadang saling bertentangan satu-sama-lain. Kondisi ini menyebabkan penerimaan tentang epidemi yang sedang berlangsung terjadi secara kontekstual.
Tantangan terbesar dari ilmu sosial adalah memahami konteks budaya, politik, spasial, dan juga bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap komunitas agar pemahaman bersama tentang suatu epidemi tidak distortif. Ilmuwan sosial dapat membantu mengurangi miskomunikasi dan ketidakpercayaan yang biasa terjadi pada suatu KLB. Dengan demikian, energi masyarakat tidak habis untuk mengantisipasi miskomunikasi dan ketidakpercayaan sehingga dapat dikonsentrasikan untuk melakukan penanggulangan KLB.
Pengembangan teknologi. Teknologi dapat membantu kita untuk menyusun dan menggunakan sebuah sistem pemantauan berdasarkan waktu-sebenarnya (real-time) dengan tingkat presisi yang dapat dipertanggungjawabkan. Meningkatnya aktivitas yang menggunakan telepon pintar, Internet nir-kabel, dan media sosial membuka peluang bagi penggunaan perangkat itu untuk mengumpulkan data terkait epidemi. Beberapa pengembangan teknologi masa depan, seperti kecerdasan buatan membantu kita untuk mewujudkan kesehatan masyarakat yang lebih presisi (hlm. 133).
Langkah berbasis-teknologi perlu terintegrasi dengan aktivitas berbasis-masyarakat dan sistem kesiapsiagaan dan mitigasi epidemi yang sudah ada. Dengan demikian, warga dapat menyampaikan informasi pada sistem kesehatan masyarakat dan mendapatkan umpan balik dari tenaga kesehatan dengan cepat. Meskipun begitu, perangkat akses terbuka perlu menjamin kerahasiaan data pribadi.
Tantangan terbesar adalah dari pengembangan teknologi adalah, lagi-lagi, ketimpangan global antara negara maju dengan negara berkembang. Perlu ada kemauan politik yang cukup, tidak hanya di negara-negara berkembang tapi justru di negara-negara maju untuk melakukan investasi pengembangan teknologi penanggulangan epidemi. Kemauan ini dapat mendongkrak fasilitas laboratorium sederhana menjadi setara dengan laboratorium kelas satu tidak hanya dalam hal peralatan tapi juga sumber daya manusia yang mengoperasikannya.
Penelitian dan pengembangan. Ada tiga fokus utama dalam area ini: diagnosis, terapi, dan vaksin. Dalam menghadapi KLB yang disebabkan oleh virus, vaksinasi adalah intervensi kesehatan masyarakat paling efektif. Akan tetapi, penelitian dan pengembangan vaksin butuh kesabaran apalagi bila penyebab KLB adalah virus jenis baru. Namun, tantangan terbesar adalah mengembangkan vaksin yang aman dan tidak menimbulkan efek samping.
Dalam kasus virus Zika, vaksin yang ada berisiko menyebabkan cacat kelahiran di bagian otak pada bayi apabila dia diberikan pada ibu hamil (hlm. 133-34). Namun, untuk bisa menemukan vaksin yang aman untuk kelompok ini dibutuhkan sampel uji coba dari kelompok ini dan itu sangat langka. Oleh karenanya, penelitian vaksin tidak terlalu menarik bagi investor karena penelitian semacam itu tidak dapat memberi kepastian akan adanya keuntungan (ekonomis) dengan cepat.
Dalam era pasca-manusia, analisis risiko terhadap vaksin tidak hanya terbatas pada manusia saja tapi juga pada entitas kehidupan lainnya. Perubahan-perubahan pada lingkungan, baik itu yang alamiah dan antropogenik, saling memengaruhi setiap elemen yang ada. Keamanan yang dimaksud termasuk jaminan bahwa penggunaan suatu vaksin tidak memicu (atau mempercepat) mutasi virus tersebut yang berujung pada kemunculan penyakit baru.
Menyambut Pandemi Baru
SARS tahun 2002-2003 tidak berujung pada pandemik meskipun telah membunuh 774 jiwa dari 8.098 orang yang positif terinfeksi di 25 negara. Kasus Ebola 2014-2016 juga sama. Korban meninggal mencapai 11.310 jiwa, dari 28.616 orang yang terinfeksi di tiga negara di Afrika barat. Kedua epidemi itu tidak sampai dinyatakan sebagai sebuah pandemik. Pada tahun 2009-2010, WHO sempat mengumumkan wabah virus H1N1 (flu babi) sebagai sebuah pandemik. Situasi itu memicu penelitian dan pengembangan vaksin baru. Begitu vaksin ditemukan situasi kembali “normal”.
Pandemi biasanya dipahami untuk menyebut persebaran penyakit yang tak bisa dikendalikan secara cepat ke pelbagai wilayah. Keputusan WHO untuk mendeklarasikan pandemi global COVID-19 bukan tanpa dasar. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, persebaran virus itu telah menjangkau banyak negara dengan kejadian luar biasa (KLB) terjadi di China, Iran, Italia dan Korea Selatan (Nature, 2020, hlm 7). Setiap hari muncul kasus baru di tempat baru dan sampai hari ini belum ada penemuan vaksin untuk mengatasi COVID-19.
Tahun 2019 ditutup dengan sebuah berita tentang menyebarnya sebuah penyakit seperti pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya. Temuan pertama atas kasus itu dilaporkan pada 8 Desember. Penyakit ini ditemukan pada orang-orang yang berada dalam kluster di sekitar Pasar Ikan kota Wuhan, provinsi Hubei, China. Identifikasi kluster itu baru disadari pada 31 Desember oleh kantor WHO di China (Nature, 2020, hlm. 227-28). Pada 1 Januari 2020, pasar itu ditutup total. Pada 7 Januari, otoritas China mengumumkan penemuan jenis baru virus korona dari hasil uji laboratorium terhadap para korban. Setiap harinya, kasus baru ditemukan, termasuk pada tenaga medis yang melayani korban. Fakta semacam ini mengindikasikan bahwa virus menular dari manusia-ke-manusia. Berbeda dengan virus-virus sebelumnya yang melalui perantaraan binatang.
Mengetahui hal itu, pemerintah China memberikan peringatan pada jutaan penduduknya untuk tidak melakukan perjalanan keluar dari wilayahnya. Padahal, saat itu menjelang libur Tahun Baru China. Pemerintah China belajar betul dari kasus SARS 2002-2003. Dalam waktu 10 hari, forum-forum diskusi daring di kalangan peneliti membahas penemuan virus baru ini. Virological.org,[1] misalnya, menyebutnya sebagai “2019-nCoV”. Virus ini adalah sejenis Betacoronavirus yang mirip dengan penyebab SARS dan virus lainnya. Meskipun begitu, belum jelas sumbernya dari mana karena beragam binatang dijual di pasar itu. Keterbukaan data semacam ini adalah hal baru yang harus disyukuri. Namun, kerahasiaan data juga tetap dijaga agar tidak menimbulkan isu yang menjatuhkan kepercayaan publik.
Sebuah studi terhadap seorang korban COVID-19 menarik untuk disimak (Wu et al, 2020). Seorang pasien berusia 41 tahun tanpa riwayat hepatitis, TBC ataupun diabetes. Dia diterima dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Wuhan pada 26 Desember 2019, setelah mengeluh sakit selama 6 hari. Sang pasien melaporkan demam tinggi (38.4ºC), dada sesak, batuk parah, sakit, dan lemas selama seminggu. Penyelidikan etiologi awal tidak menemukan keberadaan virus influenza (Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae). Penyebab patogen pernafasan lainnya, seperti adenovirus, juga negatif. Setelah melalui sebuah kombinasi perawatan antibiotik, anti-virus, dan glukokortikoid, kondisi pasien tidak juga membaik. Pada hari keenam pasien dipindah ke rumah sakit lain untuk perawatan intensif.
Penyelidikan epidemiologi Wuhan Center for Disease Control and Prevention mengungkap bahwa si pasien bekerja di sebuah pasar ikan tertutup. Pasar itu tidak hanya menjual ikan dan kerang, tapi juga binatang liar hidup lainnya termasuk landak, luak, ular, dan burung. Namun tidak ada kelelawar dijual di sana. Berangkat dari temuan-temuan tersebut, para peneliti mengumpulkan cairan dari saluran pernafasan (BALF) dan menjalankan analisis meta-transkriptomik. Mereka menemukan sejenis virus yang mirip dengan SARS-coronavirus (CoV) yang ditemukan di kelelawar. Virus ini kemudian mereka sebut “WH-Human1coronavirus” (WHCV).[2]
WHCV memiliki kemiripan dengan dua virus lain dari genus Betacoronavirus: sebuah virus dalam manusia (SARS-CoV Tor2) dan sebuah virus dalam kelelawar (bat SL-CoVZC45). Para peneliti juga mencari keterhubungan evolutif antara WHCV dan kedua virus itu. Hasilnya, WHCV berada dalam kluster subgenus Sarbecovirus – termasuk di dalamnya adalah SARS-CoV, virus penyebab SARS tahun 2002-2003 lalu (hlm. 267). Para peneliti juga berusaha memahami potensi WHCV pada manusia, jika dibandingkan dengan dua virus yang sama. Mereka menemukan bahwa WHCV, berbeda dengan dua virus sebelumnya, menggunakan manusia sebagai inangnya. Temuan ini berarti kemungkinan persebaran WHCV adalah manusia-ke-manusia (tanpa melalui inang perantara dari spesies lain) (hlm. 267).
Koronavirus diasosiasikan dengan sejumlah penyakit menular pada manusia, termasuk SARS pada 2002-2003 dan MERS pada 2012. Meskipun koronavirus teridentifikasi pada mamalia, termasuk kelelawar, namun bagaimana awal mula ada koronavirus yang menular melalui manusia masih misterius.
Normalitas Baru di era Media Sosial
Seperti disampaikan sebelumnya, kita telah memasuki situasi “normal baru”. Kondisi ini terkait erat pada urbanisasi, pertumbuhan penduduk, mobilitas global, alih fungsi lahan, perubahan iklim dan krisis politik. Dalam normalitas baru ini, ada kebutuhan untuk memperbaiki cara dan sikap menghadapi wabah dan media sosial hadir sebagai medium komunikasi dan diskusi waktu-sebenarnya memicu ketertarikan publik untuk mengikuti analisis data dan komentar-komentar para ahli tentang hal baru ini. Untuk itu, pengaturan-diri menjadi penting untuk memelihara rasa saling percaya.
Joana Gonçalves-Så, seorang peneliti berbasis di Portugal, menyampaikan persoalan serius dalam memahami wabah di era media sosial: bias kognitif yang dimanfaatkan oleh mesin algoritma (Gonçalves-Så, 2020). Selama puluhan tahun, ilmuwan, dokter, jurnalis dan ahli komunikasi bekerja keras untuk mewujudkan demokratisasi pengetahuan, partisipasi warga, dan masyarakat yang lebih kritis. Jejaring (berbasis-media) sosial diharapkan dapat memfasilitasi dan bahkan memperluas proses itu. Akan tetapi, Gonçalves melihat hasil dari usaha itu adalah “sebuah masyarakat yang terlalu kritis dengan banjir informasi tapi, sayangnya, tidak berpengetahuan luas” (hlm. 305).
Pada bulan Januari 2020 saja, sudah lebih dari 15juta postingan di Twitter tentang gejala ini. Hingga kini, yang paling menjadi perhatian adalah pandangan teori konspirasi tentang bio-terorisme (Jolley & Lamberty, 2020). Ada pihak yang menuduh bahwa virus ini sengaja dibuat oleh pemerintah China sebagai untuk tujuan politik atau ekonomi tertentu. Sementara itu, pemerintah China membalas tuduhan itu dengan mengatakan bahwa virus ini dibuat dan disebarkan oleh intelejen Amerika Serikat untuk menahan laju penguatan China sebagai kutub politik-ekonomi baru di bumi ini. Klaim-klaim ilmiah pun dicomot untuk mendukung teori itu. Segala hal yang berbau ilmiah, yang tidak dipercaya oleh para ilmuwan, dimunculkan.
Pada situasi semacam ini, ilmuwan dan tenaga medis harus bekerja dalam tiga lapis. Lapis pertama, pada level teknis mereka harus terlibat aktif dalam segala upaya tanggap darurat, mengantisipasi persebaran dan mengurangi korban berjatuhan. Pada lapis kedua, mereka dituntut untuk segera melakukan penelitian dan eksperimen demi penemuan “obat” dan/atau vaksin yang dapat menghentikan pandemi ini. Lapis ketiga adalah yang paling sulit dan kerap membuat sakit hati: para ilmuwan dan tenaga medis tidak bisa diam begitu saja terhadap pelbagai macam spekulasi konspiratif tanpa dasar yang beredar dalam masyarakat melalui media sosial. Secara etis, mereka harus berperan aktif dalam mengomunikasikan temuan-temuan ilmiah dalam bahasa yang sesederhana mungkin namun tidak mereduksi substansi. Hal itu sangat dibutuhkan untuk meredam kepanikan publik.
Sementara itu, beberapa layanan media sosial mencoba langkah radikal untuk mengantisipasi meluasnya misinformasi dan disinformasi itu. Facebook, misalnya, yang sebelumnya tidak pernah menghapus unggahan dari penggunanya mulai bergeming. Facebook mulai mengarahkan pencarian informasi tentang koronavirus pada sumber-sumber kredibel. Sebuah akun Twitter yang telah lama menyebarkan informasi tidak jelas dihapus setelah akun itu berbicara tentang teori konspirasi tentang koronavirus. Gonçalves melihat keputusan penghapusan itu adalah, bagaimanapun juga, sebuah paradoks bagi usaha penanganan COVID-19 karena justru memperkuat asumsi dasar dari teori konspirasi.
Salah satu akar bagi berkembangnya teori konspirasi merespons pandemi COVID-19 ini adalah munculnya dugaan bahwa virus ini merupakan hasil rekayasa laboratorium. Dalam penelusuran artikel di situs Nature.com, saya tidak menemukan artikel yang membahas tentang dugaan hal ini. Akan tetapi, satu artikel yang ditulis oleh sekelompok peneliti dari beberapa negara (di bawah koordinasi Kristian G. Andersen dari Scripps Research Institute, La Iolla, California) patut disimak (Andersen et al, 2020). Melalui artikel itu, Andersen dkk. hendak menolak asumsi bahwa SARS-CoV-2 adalah hasil rekayasa laboratorium ataupun sebuah virus yang dimanipulasi secara sengaja oleh manusia. Mereka mengklaim: “It is improbable that SARS-CoV-2 emerged through laboratory manipulation of a related SARS-CoV-like coronavirus.” Meskipun begitu, mereka melanjutkan: “We must therefore examine the possibility of an inadvertent laboratory release of SARS-CoV-2.”
Dua pernyataan itu sangat kontradiktif, namun sangat logis. Pernyataan pertama merujuk pada sebuah pemahaman bahwa tidak mungkin SARS-CoV-2 adalah hasil manipulasi manusia di laboratorium. Sementara itu, pernyataan kedua membuka peluang bagi sebuah asumsi bahwa bisa jadi virus tersebut adalah hasil kerja laboratorium secara tidak sengaja. Hal itu sangat mungkin terjadi mengingat banyak penelitian tentang koronavirus sedang dilakukan di pelbagai laboratorium di seluruh dunia.
Berpegang pada itu, Andersen dkk. menawarkan dua skenario. Pertama, seleksi alam dalam inang hewan sebelum terjadi perpindahan zoonosis. Seperti diketahui, permulaan COVID-19 dikaitkan dengan kasus yang menyebar dari pasar ikan Huanan di Wuhan, China. Di pasar itu, kita dapat menjumpai pelbagai hewan yang potensial menjadi inang perantara virus ini. Pada skenario ini, virus sudah bermutasi menjadi SARS-CoV-2 terlebih dahulu pada hewan. Setelah itu, virus masuk pada tubuh manusia, dan dapat menyebar melalui perantaraan manusia.
Skenario kedua adalah seleksi alamiah virus di dalam tubuh manusia setelah perpindahan zoonosis. Pada skenario ini, SARS-CoV-2 adalah hasil mutasi dari nenek-moyang virus itu yang masuk pada tubuh manusia. Nenek-moyang virus itu kemudian beradaptasi dan menguasai fitur-fitur genomik yang khas pada tubuh manusia. Hasil dari mutasi itu adalah SARS-CoV-2 yang memicu COVID-19 dan menular ke manusia lain.
Hingga saat ini, para peneliti di segala penjuru dunia masih bekerja keras untuk memahami SARS-CoV-2. Kita masih belum bisa memastikan bagaimana SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 ini muncul pertama kalinya. Untuk memastikan usul-asal SARS-CoV-2 ini masih butuh waktu. Apalagi, menemukan vaksinnya. Informasi dan penelitian lebih lanjut masih terus dilakukan baik terhadap sampel yang ditemukan pada pasien lain ataupun dengan metode yang berbeda.
Mengawasi Normalitas Baru
Sekelompok peneliti epidemiologi multi-nasional memanfaatkan teknologi digital untuk melacak penyebaran wabah COVID-19 (Xu et al, 2020). Mereka mengumpulkan data epidemiologi waktu-terkini (real-time) pada tingkat individual, menganalisisnya berdasarkan geospasial dan memproyeksikan dalam peta dua-dimensi. Sumber-sumber yang digunakan mulai dari data laporan-laporan resmi pemerintah sampai data yang direkam oleh situs-situs berita daring. Data olahan mereka dapat diikuti di portal: https://www.healthmap.org/ncov2019/.
Usaha kelompok peneliti tersebut hanyalah salah satu fungsi teknologi digital dalam merespons pandemi COVID-19 ini. Kelompok peneliti lain mengidentifikasi pemanfaatan teknologi digital di tengah pandemi, melampaui sekadar ekstensi jalur komunikasi (Ting et al, 2020). Mereka memahami teknologi digital tidak hanya sebatas Internet of Things (IoT), tapi juga analisis Big Data dan kecerdasan buatan (AI). Salah satu peran penting dari teknologi digital saat ini adalah membantu kita untuk memantau, mengawasi, mendeteksi, dan mencegah COVID-19.
Beberapa lembaga sudah menggunakan bantuan teknologi digital untuk memantau kasus-kasus terbaru dari wabah ini. John Hopkins Unviersity, misalnya, memanfaatkan data kasus COVID-19 dari seluruh dunia yang tercatat di beberapa pusat pemantauan dan pencegahan penyakit di beberapa negara. Dengan demikian, kita dapat melakukan studi pemodelan yang memandu kebijakan suatu negara dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19.
Selain itu, teknologi digital dapat menjadi sarana untuk meningkatkan pendidikan kesehatan pada publik. Pemerintah Singapura, misalnya, bekerja sama dengan WhatsApp (yang dimiliki oleh Facebook) untuk menyebarkan informasi akurat tentang COVID-19 langsung ke genggaman warganya. Penggunaan “chat bot” dapat membantu deteksi mandiri dan memandu langkah-langkah awal yang perlu dilakukan.
Di China, beberapa perusahaan pengenal-wajah (facial-recognition) mengadopsi detektor suhu yang memungkinkan kamera pengenal wajah di beberapa titik pemantauan untuk mengidentifikasi siapapun dengan suhu tinggi. Bila itu dipadukan dengan algoritma kecerdasan buatan, kita akan dapat dengan mudah mendeteksi dini siapa saja yang perlu mendapatkan penanganan khusus bila dipadukan dengan data rekam medis dari individu yang bersangkutan. Saat ini, semakin banyak klinik kesehatan yang tergabung dalam suatu ekosistem digital sehingga memudahkan pengumpulan dan distribusi data-data medis, khususnya terkait penyebaran wabah COVID-19.
Pelajaran penting dari pemanfaatan teknologi digital adalah tentang betapa berharganya sekeping data yang tersimpan. Dari data yang tersedia itulah, simpul-simpul penting ditarik dan kebijakan strategis diputuskan dan dilaksanakan. Guru besar ilmu perilaku dari Universitas Warwick, Inggris, Nick Chater menyebutkan tiga jenis interpretasi yang dapat muncul dalam situasi ketidakpastian tingkat tinggi (Chater, 2020).
Interpretasi pertama adalah melihat data pandemi yang ada sebagai sebuah “badai dalam secangkir teh”. Interpretasi ini yang muncul pertama kali di beberapa negara. Membayangkan wabah baru di Wuhan itu seperti “badai dalam secangkir teh.” Wuhan dibayangkan sebagai secangkir teh kecil dan wabah yang terjadi di sana tidak akan sampai ke cangkir-cangkir teh yang lain. Pemimpin dalam interpretasi semacam ini akan cenderung menenangkan warganya dan mengatakan semuanya berada dalam kendali wajar. Interpretasi semacam ini dipilih dengan tujuan tidak memunculkan kepanikan dalam masyarakat dan yakin bahwa masalah akan selesai secara sendirinya.
Kedua, interpretasi “rumah sedang terbakar” adalah seperti yang dipilih di China, Jepang dan Korea Selatan, dan kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa dan sekarang Amerika Serikat, ketika melihat data persebaran dan kematian akibat pandemi ini. Mengatasi masalah adalah prioritas utama. Kebijakan-kebijakan strategis diambil, sekalipun tidak populis karena berpotensi menghambat kehidupan sosial-ekonomi. Menutup tempat-tempat umum, seperti hotel, restoran, pasar, sekolah, kantor-kantor, atau tempat perbelanjaan. Membatalkan penerbangan dan membatasi mobilitas sampai pada memberlakukan kuncitara dan pengawasan tingkat tinggi pada mobilitas manusia. Pilihan ini diambil atas dasar pemahaman bahwa api harus segera dipadamkan agar tidak menjalar ke bagian lain yang masih bisa diselamatkan.
Interpretasi terakhir, yang saat ini sedang menjadi sumber kecemasan seluruh warga dunia, adalah “menghadang ombak besar”. Pilihan ini berangkat dari sebuah alasan bahwa wabah adalah sesuatu yang tidak bisa dihentikan dan satu-satunya cara untuk menyintas darinya adalah dengan mempersiapkan diri dengan seluruh sumber daya yang ada. Tujuan dari pilihan ini adalah memperkecil dampak yang dapat ditimbulkan dari penyebaran wabah tersebut. Langkah terburuk adalah herd-immunity dengan risiko terburuk akan dipilih saat 60-80% penduduk sudah terinfeksi virus ini.
Data COVID-19 saat ini sudah berkembang pesat. Terima kasih pada teknologi digital dan solidaritas global untuk segera menyintas dari pandemi ini. Sampai ilmuwan dan peneliti medis bisa memperkirakan kapan situasi ini akan berjalan, setiap pilihan sikap dan langkah memiliki konsekuensinya masing-masing. Yang lebih dibutuhkan adalah kebijaksanaan para pemimpin, apapun sistem politiknya.
China Menghadapi Wabah COVID-19
Ada anggapan yang muncul dan berkembang tentang keberhasilan China mengendalikan wabah COVID-19 dikaitkan dengan sistem politik sentralistik yang diterapkan selama ini. Anggapan ini menguat setelah kita menyaksikan bagaimana Amerika Serikat, salah satu simbol demokrasi dunia, kewalahan mengantisipasi merebaknya COVID-19 di wilayahnya. Peneliti University of Michigan Yuen Yuen Ang mengamati bagaimana wabah COVID-19 ini ketika bertemu dengan kekuatan politik yang sentralistik (Ang, 2020).
Menurut Ang, karakter sistem politik yang sentralistik di China berubah mengikuti model presiden terpilih sejak berdiri 1949. Pada masa presiden Mao Zedong, China berada di bawah model diktator individual. Ketika posisi Ketua Partai Komunis beralih ke Deng Xiaoping, ada usaha untuk merintis model diktator berbasis partai. Meski menduduki jabatan tertinggi di Partai, Deng mencoba kepemimpinan kolektif, desentralisasi kewenangan, dan politik pragmatisme.
Sejak 2012 sampai saat ini, China berada di bawah Presiden Xi Jinping yang berusaha mengembalikan ciri politik ke diktator personal. Di bawah Xi, pemerintah China mengawasi setiap gerakan masyarakat warga. Pemerintah memberlakukan sensor dan kontrol ketat terhadap setiap aktivitas politik yang ada. Dalam situasi semacam ini, nyaris tidak ada pejabat yang berani mengambil resiko dengan membuat langkah inovatif.
Ang mengamati beda perlakuan pemerintah China terhadap penyakit yang kemudian dinamai COVID-19 ini dengan SARS pada 2002 lalu. Kasus SARS pertama kali terdeteksi di provinsi Guangdong pada November 2002 namun kabar itu baru sampai ke Kementerian Kesehatan di Beijing pada Januari 2003. Ketika kasus pertama COVID-19 ditemukan di Wuhan pada 21 Desember, hanya butuh waktu kurang dari dua minggu tim medis di lapangan menyimpulkan adanya temuan virus baru yang menyebabkan penyakit tersebut dan menyampaikannya ke kantor cabang WHO di China pada 31 Desember. Temuan itu disampaikan oleh Dr. Li Wenliang dan beberapa orang. Usaha itu mendapatkan reaksi negatif dari pemerintah dan otorita polisi setempat meminta Li untuk menandatangani surat permintaan maaf karena telah menyebar rumor tentang virus itu pada 3 Januari.
Meskipun begitu, Presiden Xi segera mendapatkan kabar itu dan membahasnya pada pertemuan Komite Tetap Politbiro pada 7 Januari untuk segera mengatasi wabah tersebut. Bukan kebetulan bahwa pada tanggal yang sama sebuah publikasi dari tim peneliti China tentang keberadaan virus jenis baru menyerupai virus korona penyebab SARS masuk ke meja redaksi Jurnal Nature (Fan Wu et al, 2020). Pada 13 Januari, WHO melaporkan kasus pertama di luar China, di Thailand. Hal ini mengindikasikan bahwa virus itu telah menyebar ke luar negeri. Laporan South Morning China Post menyebutkan bahwa sejak 30 Desember sampai 22 Januari diperkirakan 11.000 orang dari Wuhan terbang ke Thailand, 10.680 ke Singapura, 9.080 ke Jepang, dan 7.000 ke Hongkong.[3]
Pada 19 Januari muncul dugaan bahwa virus tersebut dapat menular melalui manusia. Tiga hari setelahnya, Presiden Xi memerintahkan pelarangan manusia keluar dari provinsi Hubei. Jalur transportasi darat dan udara menuju dan keluar Hubei ditutup mulai 23 Januari. Dalam rapat dengan petinggi WHO pada 28 Januari, Xi mengatakan bahwa upaya menangani wabah berada di bawah kendalinya langsung. Merespons wawancara langsung Walikota Wuhan Zhou Xianwang di China Central Television (CCTV) sehari sebelumnya.
Dalam wawancaranya dengan CCTV itu, Zhou menyampaikan bahwa pemerintah setempat tidak berani mengumumkan perkembangan wabah tersebut karena adanya kontrol ketat dari pemerintah pusat di Beijing. Ungkapan tersebut mengindikasikan betapa besarnya biaya yang harus ditanggung bila penundaan itu terus dilakukan.
Kematian Dr. Li, salah satu orang pertama yang membuka kasus wabah ini, akibat virus itu pada 7 Februari memicu kemarahan publik di dunia maya. Presiden Xi pun langsung mengambil tindakan nyata memerintahkan perangkat birokrasi bekerja cepat mendirikan rumah sakit baru dan melakukan karantina terbesar dalam sejarah manusia. Langkah itu cukup efektif dalam menekan penyebaran wabah dan juga angka kematian secara cukup signifikan.
Akan tetapi, beberapa pihak mengatakan bahwa penutupan Wuhan yang dilakukan pemerintah China bisa dikatakan sudah terlambat untuk mengantisipasi persebaran virus tersebut ke seluruh dunia. Joseph Wu dkk., misalnya, menyebutkan bahwa pada saat Wuhan dinyatakan ditutup sudah ada pusat-pusat persebaran baru COVID-19 di dataran China dan luar negeri (Joseph Wu et al, 2020). Hal ini kemudian yang membuka kesempatan penyebaran virus itu ke seluruh dunia, dengan pemantauan yang minim. Ketika WHO menyatakan pandemi global pada 11 Maret, COVID-19 sudah menyebar ke 110 negara dan merenggut lebih dari empat ribu jiwa. Dan, kitapun hanya bisa bertahan bersama ketidakpastian.
Catatan Akhir:
[1] Virological.org adalah sebuah media daring yang memfasilitasi sebuah konsorsium peneliti yang dipimpin oleh Prof. Yong-Zhen Zhang (Fudan University, Sanghai) dan bekerjasama dengan peneliti dan tenaga medis dari Sanghai Public Health Clinical Center and School of Public Health, Rumah Sakit Wuhan, Huazhong University of Science and Technology, Wuhan Center for Disease Control and Prevention, National Institute for Communcable Disease Control and Prevention, Chinese Center for Disease Control, dan University of Sydney, Australia.
[2] Belakangan nama itu berubah menjadi “2019-nCoV”. Namun, Komite Internasional Taksonomi Virus memberi nama virus baru ini sebagai “SARS-CoV-2”. Pada 11 Februari 2020, WHO merilis nama resmi dari penyakit yang disebabkannya, COVID-19.
Acuan Pustaka
Kristian G. Andersen et al., “The proximal origin of SARS-CoV-2,” Nature Medicine, 2020.
Yuen Yuen Ang, “When COVID-19 meets centralized, personalized power,” Nature Human Behaviour, 9 April 2020, https://doi.org/10.1038/s41562-020-0872-3.
Juliet Bedford et al., “A New Twenty-First Century Science for Effective Epidemic Response,” Nature 576 (November 7, 2019): 130.
Nick Chater, “Facing up to the uncertainties of COVID-19,” Nature Human Behaviour, 27 Maret 2020, https://doi.org/10.1038/s41562-020-0865-2.
Jie Cui, Fang Li, dan Zheng-Li Shin, “Origin and evolution of pathogenic coronaviruses,” Nature Reviews Microbiology 17 (Maret 2019): 181–92.
Daniel Jolley dan Pia Lamberty, “Coronavirus is a breeding ground for conspiracy theories – here’s why that’s a serious problem,” The Conversation, 28 Februari 2020, https://theconversation.com/coronavirus-is-a-breeding-ground-for-conspiracy-theories-heres-why-thats-a-serious-problem-132489.
Joana Gonçalves-Så, “In the fight against the new coronavirus outbreak, we must also struggle with human bias,” Nature Medicine 26 (9 Maret 2020).
Nathan D. Grubaugh et al., “Tracking Virus Outbreaks in the Twenty-First Century,” Nature Microbiology 4 (January 2019).
Nature, “Rapid Outbreak Response Requires Trust,” Nature Microbiology 5 (February 2020): 227–28.
Nature, “The Pandemic Question,” Nature 579 (March 5, 2020): 7.
Daniel Shu Wei Ting et al., “Digital technology and COVID-19,” Nature Medicine, 27 Maret 2020, https://doi.org/10.1038/s41591-020-0824-5.
Fan Wu et al., “A New Coronavirus Associated with Human Respiratory Disease in China,” Nature 579 (March 12, 2020): 265–69.
Joseph T. Wu et al., “Estimating clinical severity of COVID-19 from the transmission dynamics in Wuhan, China,” Nature Medicine, 19 Maret 2020, https://doi.org/10.1038/s41591-020-0822-7.
Bo Xu et al., “Epidemiological data from the COVID-19 outbreak, real-time case information,” Scientific Data 7 (2020): 106, https://doi.org/10.1038/s41597-020-0448-0.

Anton Novenanto, dosen di Departemen Sosiologi, Universitas Brawijaya.