Lansia Menata Ulang Keadilan Kampung

Kampung yang dulunya dipinggirkan kini menjadi bagian dari sistem ekologi kota. Rekognisi tidak berhenti dengan kunjungan atau pujian, tapi dengan praktik perlakuan yang adil atas akses terhadap sumber daya, pelibatan dalam perencanaan kota, dan penghormatan atas pengetahuan lokal yang telah terbukti berjalan. Di kampung ini, keadilan sosial terwujud dalam infrastruktur hijau yang berhasil menciptakan kondisi sosial dan ekologis yang tidak hanya layak, namun patut untuk dikagumi.

HANUNG HANANDITO

Terus meningkatnya kepadatan penduduk di kawasan perkotaan mengorbankan ketersediaan ruang terbuka hijau. Di tengah desakan kebutuhan sosial dan ekonomi, ekosistem hijau di kawasan perkotaan perlahan kehilangan prioritas. Pembangunan yang tidak selaras dengan daya dukung lingkungan menciptakan ketidakseimbangan ekologis. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu hari nanti akan berubah menjadi bencana. Seiring bertumbuhnya lanskap kota, infrastruktur hijau hadir sebagai jawaban bagi sebuah pendekatan penataan ruang yang mempertimbangkan kondisi lingkungan dan keberlanjutan jangka panjang.

Kesadaran dan insiatif semacam ini tak selalu datang dari kebijakan pemerintah. Kampung Wonosari Go Green, di Kota Malang, menjadi bukti bahwa perubahan bisa berawal dari warga. Kampung Wonosari dulunya kerap terendam banjir dan memiliki infrastruktur yang memprihatinkan. Kondisi itu mendorong warga untuk secara perlahan membangun gerakan akar rumput. Mereka tidak hanya sekadar mempercantik kampung, tapi juga mengubah cara hidup dan cara pandang warga terhadap lingkungan.

Di balik perubahan itu ada sosok Bambang Irianto, penggagas Kampung Glintung Go Green di RW 23 yang berseberangan dengan RW 19. Dengan bantuan beliau, Warga Kampung Wonosari mereplika konsep  penghijauan Kampung Glintung dalam skala komunitas yang kuat dan partisipatif.

Di Wonosari aktor utama dari transformasi tersebut adalah para lansia. Warga yang berusia di atas 50 tahun biasanya dianggap telah melewati masa produktif. Tapi justru mereka yang memimpin gerakan ini. Mereka tidak menjaga dan merawat kampung, tetapi juga menjadi motor penggerak perubahan. Dari merancang taman, mengelola biopori, hingga membentuk kelompok seni budaya. Para lansia mengambil peran vital dalam proses transisi kampungnya menjadi kampung tematik berbasis lingkungan.

Transformasi di Kampung Wonosari bukan sekadar proyek estetika. Gerakan warga lahir dari kebutuhan mereka untuk bertahan. Warga Wonosari, banyak di antaranya lansia, bergerak bukan karena ada instruksi pemerintah, melainkan karena ada hidup yang sedang dipertaruhkan. Kampung dibangun bukan demi mendapatkan penghargaan, melainkan sebagai bentuk ketahanan dan jalan keluar dari kondisi yang tak lagi bisa ditunggu perbaikannya dari luar.

Dari “Kumuh” ke “Hijau”

Kampung Wonosari mencakup wilayah RW 19, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing Kota Malang. Dulunya, wilayah ini kumuh dan rawan banjir dengan kualitas kesehatan yang rendah. Secara demografis, mayoritas penduduk kampung ini adalah lansia, sebuah kelompok usia yang kerap dianggap pasif dalam dinamika pembangunan. Namun, siapa sangka justru merekalah agen utama gerakan penghijauan Kampung Wonosari Go Green.

Cikal bakal perubahan bermula pada 2014. Saat itu,  muncul inisiatif dari warga untuk menjadikan kampung mereka lebih hijau dan asri. Di bawah kepemimpinan ketua RW saat itu, mereka mulai merancang langkah awal dengan membeli 100 tanaman bertema “Wonosari Lawang”. Sayangnya, upaya pertama ini tak berhasil. Tanaman yang dibeli tidak cocok dengan kondisi tanah dan iklim setempat. Selain itu, tak banyak warga yang memiliki kemampuan atau untuk merawat tanaman. Semua tanaman mati.

Tidak ingin berhenti begitu saja, Muhammad, Ketua RW 19 pada saat itu, mendorong warga untuk mengusulkan tema baru. Dipilih kemudian tema “Bugenvil” dan bunga pun ditanam di sepanjang tepi jalan. Namun tanpa pemberdayaan yang konsisten, nasibnya kembali gagal.

Antusiasme warga bangkit lagi ketika mereka mengikuti lomba “Kampung Berseri” Yang diselenggarakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang. Dengan dana swadaya, kampung ini berhasil meraih Juara Harapan 3. Meski membanggakan, upaya penghijauan kembali terhenti.

Pada tahun 2019, warga meminta bantuan Bambang Irianto, penggagas Kampung Glintung Go Green yang sudah menjabat sebagai Kalpataru Lingkungan. Bambang setuju untuk turun tangan. Dia bukan sekadar memberikan bibit atau mendesain ulang lanskap kampung. Tetapi memulainya dari hal yang paling mendasar: mengubah pola pikir warga.

Bambang Irianto

Alih-alih membeli tanaman Bambang mengajak warga menanam apa yang mereka miliki. Bagi yang tidak punya bibit, Bambang mempersilakan mereka mengambil dari kebun pribadinya atau dari kebun kampung. Pendekatan ini menciptakan kedekatan emosional warga dengan tanaman yang mereka rawat sendiri.

Tak berhenti di situ, Bambang juga menghadirkan bimbingan dari Dinas Pertanian Kota Malang. Tujuannya adalah memastikan warga mendapatkan pendampingan teknis yang memadai. Dari situ, semangat mulai tumbuh dan bukan hanya soal tanaman saja.

Pada 2020, kampung yang dulunya suram, kini dipenuhi warna hijau dari berbagai jenis tanaman. Turis mulai berdatangan. UMKM warga berkembang. Hasil kebun melimpah. Rasa bangga terhadap lingkungan sendiri tumbuh. Semua itu tidak dibangun dalam semalam.

Infrastruktur Hijau Kampung Wonosari Go Green

Kampung Wonosari Go Green cenderung mereplikasi program penghijauan yang terjadi di Kampung Glintung Go Green di RW 23 Kelurahan Purwantoro. Salah satu komponen utama adalah puluhan sumur resapan (infiltrasi) di pekarangan rumah yang dirancang untuk menangkap limpasan air hujan. Fungsinya, mengurangi risiko banjir sekaligus meningkatkan cadangan air tanah. Sumur resapan berdiameter dua hingga tiga meter berisi kerikil dan pasir itu adalah hasil rancangan kolaboratif warga dengan pakar hidrologi di Glintung.

Wilayah yang dahulu rutin tergenang kini relatif bebas banjir, bahkan di musim hujan dengan curah hujan tinggi. Warga juga melaporkan sumur-sumur bor dan pompa air mereka tidak lagi kering di musim kemarau karena permukaan air tanah yang naik setelah adanya puluhan sumur injeksi tersebut.

Selain infrastruktur resapan air, Kampung Wonosari Go Green dikenal dengan infrastruktur hijau vertikal dan horizontal. Di setiap sudut gang kita dapat menjumpai taman vertikal yang dibuat pada dinding rumah atau pagar. Warga memanfaatkan botol plastik bekas, kaleng, dan wadah tak terpakai sebagai pot. Mereka menanaminya dengan aneka flora, mulai dari tanaman hias, sayuran hidroponik, hingga tanaman obat keluarga. Beberapa keluarga membuat kebun mini di teras atau halaman sempit mereka, menanam cabai, tomat, kangkung, dan aneka sayuran lain sebagai bagian dari program urban farming.

Meskipun lahan terbuka sangat terbatas, pemanfaatan ruang vertikal dan pot portabel mampu meningkatkan tutupan vegetasi di lingkungan kampung secara signifikan. Hal ini berkontribusi pada penurunan suhu lokal dan peningkatan kualitas udara, serta menyediakan sumber pangan skala rumah tangga.

Upaya lain dalam infrastruktur hijau meliputi pengelolaan sampah dan penghijauan jalan. Saat itu, warga di RW 23 telah menjalankan bank sampah, yaitu sistem pengumpulan sampah anorganik (plastik, kertas, logam) yang ditukar dengan nilai ekonomi untuk ditabung sehingga mendorong daur ulang. Bank sampah tidak hanya mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA, tetapi juga menjadi sumber dana komunitas untuk kegiatan lingkungan. Sampah organik rumah tangga diolah menjadi kompos sederhana untuk pupuk

Vegetasi peneduh ditanam di sepanjang jalan sempit kampung. Warga menanam pohon-pohon kecil berakar serabut yang cocok untuk lahan terbatas, seperti pucuk merah, kembang sepatu, dan belimbing wuluh. Pepohonan ini selain memperindah pemandangan juga berfungsi sebagai penyerap polusi udara dan penyedia keteduhan. Kampung Wonosari kini memiliki koridor hijau di beberapa titik yang dulunya hanya dipenuhi deretan tembok.

Lansia sebagai Agensi Utama

Transformasi Kampung Wonosari Go Green dari kawasan kumuh dan rawan banjir menjadi lingkungan yang hijau dan sehat tidak terlepas dari peran masyarakat lansia sebagai aktor utama dalam pembangunan komunitas. Dalam konteks ini, lansia tidak lagi diposisikan sebagai beban sosial, tetapi sebagai penggerak perubahan yang mampu menginisiasi dan mengelola proses pembangunan secara partisipatif.

Meskipun kurang membuahkan, Inisiatif penghijauan yang dimulai sejak 2014, melalui program “Wonosari Lawang” menjadi titik tolak kesadaran kolektif masyarakat lansia untuk memperbaiki kondisi lingkungan mereka. Wewenang ini tidak hanya diwujudkan dalam bentuk musyawarah warga, tetapi juga dalam implementasi teknis seperti pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kapasitas perawatan warga lansia. Hal ini membuktikan adanya proses pengambilan keputusan berbasis komunitas yang memperhatikan kondisi lingkungan mereka.

Dengan keterbatasan usia dan latar belakang pendidikan, para lansia Kampung Wonosari menunjukkan semangat belajar yang tinggi. Mereka tidak hanya belajar teknik menanam tanaman hias dan sayuran, tetapi juga mendalami praktik daur ulang sampah, pembuatan pupuk organik, hingga kesenian tradisional. Peningkatan kemampuan ini menjadi modal sosial yang penting dalam menciptakan keberlanjutan komunitas.

Transformasi di Kampung Wonosari menghasilkan berbagai kesempatan sehingga banyak dari mereka yang sebelumnya tidak aktif atau hanya berada di rumah, kini terlibat dalam pelatihan, pementasan seni, serta pengelolaan wisata kampung. Grup kesenian “Dewi Godong” yang digagas oleh pendamping kampung menjadi wadah bagi para ibu-ibu lansia untuk menampilkan potensi mereka dalam bidang seni, sekaligus menjadi sumber pendapatan tambahan untuk kampung. 

Perubahan kampung tidak hanya terjadi pada kondisi fisik saja, tetapi juga pada pemberdayaan kelompok yang dianggap lemah. Warga lansia di Wonosari tidak lagi melihat dirinya sebagai kelompok lemah, tetapi sebagai kelompok yang berdaya dan punya kemampuan. Aktivitas rutin seperti bersepeda puluhan kilometer dan pengelolaan taman kampung menjadi simbol dari kolektivitas mereka yang tidak tergerus oleh usia.

Tanaman hidroponik di Kampung Wonosari. (Arsip warga)
Taman Panci Lorek, RW 19, Kampung Wonosari. (©Hanung Hanandito, 2025)

Transformasi Kampung, Alat Pengakuan Sosial

Transformasi Kampung Wonosari Go Green bukan hanya sekadar desain, tetapi adalah sebuah kebutuhan untuk bertahan hidup. Situasi awal yang nyaris membuat warga kehilangan hak atas lingkungan yang layak memunculkan ikhtiar kolektif. Infrastruktur hijau di kampung ini lahir bukan dari cetak biru teknokratik, tapi dari keinginan untuk keluar dari keterasingan ekologis dan sosial. Ketika air bersih sulit, banjir rutin, dan ruang hijau nihil, warga menciptakan sistem ekologisnya sendiri: sumur injeksi di halaman rumah, taman vertikal di tembok-tembok kusam, dan kebun sayur di teras sempit. Mereka tidak merancang kota, mereka menyelamatkan hidup.

Edukasi dari Bambang Irianto berhasil mengubah pola pikir warga Kampung Wonosari. Bagi  mereka, ruang bukan soal kompetisi, tapi soal relasi antara manusia dengan lingkungan hijau. Dalam hal ini, para lansia yang biasanya dilihat sebagai kelompok pasif menjadi agen utama perubahan. Mereka belajar tentang musim tanam, mengenali berbagai jenis tanaman dan paham kapan air tanah mulai naik atau surut. Ketika pemuda sibuk di luar kampung, para lansia ini menggali lubang biopori dan menyiram tanaman setiap pagi.

Perlahan-lahan, kampung ini mulai dilirik. Wisatawan datang. Pemerintah lokal memberikan penghargaan. Media mulai menulis. Rekognisi pun datang. Ini adalah hasil kerja keras dari gerakan akar rumput. Kampung Wonosari diangkat menjadi kampung tematik. Bukan untuk tujuan wisata, tetapi sebagai bukti bahwa ruang-ruang pinggiran kota pun memiliki makna dan nilai komunitas tersendiri.

Dari perubahan nyata itu, banyak pihak mulai menyadari pentingnya ruang hijau. Bukan hanya “bagus untuk spot foto”, tapi untuk keberlanjutan kota. Ruang hijau dapat menyerap air, menurunkan suhu, dan menjaga udara. Kampung yang dulunya dipinggirkan kini menjadi bagian dari sistem ekologi kota. Rekognisi tidak berhenti dengan kunjungan atau pujian, tapi dengan praktik perlakuan yang adil atas akses terhadap sumber daya, pelibatan dalam perencanaan kota, dan penghormatan atas pengetahuan lokal yang telah terbukti berjalan.

Kampung Wonosari menunjukkan bahwa infrastruktur bukan sekadar perangkat teknis, tetapi alat untuk menuntut keadilan. Warga membuktikan bahwa mereka bisa berpartisipasi dalam membangun kota dari bawah, tanpa harus menunggu instruksi dari atas. Di kampung ini, keadilan sosial terwujud dalam infrastruktur hijau yang berhasil menciptakan kondisi sosial dan ekologis yang tidak hanya layak, namun patut untuk dikagumi. (*)

Hanung Hanandito saat ini adalah mahasiswa Program Studi Sarjana Antropologi Budaya, Universitas Brawijaya. Penerima Hibah Penelitian “Keadilan Infrastruktur” 2025 dari Perkumpulan Peneliti Eutenika.

Leave a Reply