PKL menjadi sasaran kebijakan pemerintah yang represif karena dianggap merusak keindahan kota, dan kini ditambah dengan stigma “penyebab kerumunan”.
ERINA SLAMET SAPUTRI
Suatu hari saya sedang berjalan di trotoar di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dari kejauhan terlihat truk tangki penyemprotan datang dari arah berlawanan. Truk itu bukan menyiram tanaman di pinggir jalan raya, tetapi sedang menyemprotkan disinfektan di sepanjang trotoar. Truk semacam ini mulai dijalankan sejak adanya wabah Covid-19.
Saya bersyukur penyemprotan itu bukan ke arah trotoar yang saya lewati, tetapi ke trotoar di seberang saya. Saya melihat truk tersebut mulai mendekati PKL (pedagang kaki lima) di seberang yang sedang meracik minuman untuk pembelinya. Semua pembelinya dengan cepat berpencar mencari tempat bersembunyi untuk berlindung dari semprotan disinfektan.
Alih-alih ikut menghindar, pedagang itu memilih berdiri menghadap lapaknya, membelakangi arah truk tersebut. Dia berusaha menutupi gelas minuman dengan badan dan kedua tangannya. Disinfektan yang disemprotkan sangat kencang. Usaha pedagang menggunakan tubuhnya untuk melindungi barang dagangannya, tentu saja, sia-sia belaka. Seluruh lapaknya, termasuk makanan dan minuman lain tidak bisa ia lindungi.
Tindakan pedagang ini hanyalah sebagian kecil gambaran kehidupan PKL untuk tetap bisa berjualan, menjaga sumber penghasilan dan menyambung hidupnya selama pandemi Covid-19. Meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia, khususnya di Jakarta, mendorong pemerintah untuk menerapkan PSBB dan peraturan pembatasan kerumunan di tempat publik dengan menerapkan standard atau protokol keamanan dan kesehatan.
Krisis Ganda
Selama ini, kerumunan manusia merupakan sumber pendapatan bagi PKL. Penghasilan PKL sangat bergantung pada jumlah konsumen atau pembeli yang ditemuinya langsung setiap harinya. Artinya, penerapan PSBB dan pembatasan aktivitas atau kerumunan menjadi ancaman baru bagi PKL, selain virus Covid-19 itu sendiri. Jumlah pembeli berkurang dan penghasilan semakin tidak pasti. Terjun di sektor informal, mereka menjalani pekerjaannya tanpa jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, seperti karyawan di sektor formal pada umumnya.
Bagi PKL krisis kala pandemi kali ini bukan hanya krisis kesehatan, melainkan juga krisis ekonomi. PKL dihadapkan pada realitas berkurangnya pendapatan dan semakin terbatasnya ruang yang dapat dimanfaatkan untuk menyambung hidupnya. Beberapa waktu lalu, PKL di beberapa wilayah di Jakarta juga harus menghadapi risiko banjir yang membuat penghasilan berkurang dan menambah pengeluaran untuk pemulihan usahanya. Belum selesai masa pemulihan itu, wabah Covid-19 merebak.
Agar tetap bertahan memenuhi kebutuhan hidupnya, PKL di Ibukota tidak punya pilihan selain tetap berjualan. Hal itu menaruh mereka masuk dalam kelompok yang rentan tertular Covid-19.
PKL pun semakin rentan menghadapi konflik. Seperti yang dialami PKL di Pasar Tanah Abang yang tetap berjualan saat masa PSBB. Hal itu menimbulkan kekecewaan dan kecemburuan dari pedagang resmi yang harus menutup kiosnya karena adanya aturan pemerintah.[1] Ini adalah lanjutan dari konflik perebutan ruang antara PKL dengan negara, yang diwakili Satpol PP, dalam upaya penghapusan ruang kumuh di wilayah perkotaan. PKL dipandang sebagai penyebab ketidakindahan dan kesemrawutan kota yang berlawanan dengan pandangan modern mengenai syarat keindahan kota, yakni keteraturan yang mudah dikontrol.[2]

Saat ini, PKL lagi-lagi ditertibkan dengan alasan menyebabkan kerumunan dan berpotensi meningkatkan penyebaran Covid-19. Ketika kerumunan di wilayah Jakarta masih sangat tinggi, pemerintah seakan melempar kesalahan kepada sektor ini sebagai salah satu upaya menutupi kegagapannya dan kegagalannya dalam menyusun regulasi yang jelas untuk mengendalikan penyebaran wabah Covid-19 dan menjamin warganya.
Keberadaan PKL yang tidak menjalankan protokol keamanan dan kesehatan perlu dilihat bukan soal rendahnya kesadaran atas resiko Covid-19, melainkan tanda bahwa pemerintah belum punya strategi sosialisasi yang efektif untuk sektor ini. Tetap berjualan di masa pandemi adalah satu-satunya sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemerintah belum memiliki program yang jelas dalam menjamin keselamatan warganya menghadapi krisis ganda, kesehatan dan ekonomi.
Hal lain yang juga menarik ialah tentang bagaimana kesiapan dan kemampuan PKL menerapkan protokol keamanan dan kesehatan. Sesuatu yang menjadi semakin rumit khususnya bagi PKL penjual makanan. Mereka dihadapkan dengan standar-standar higinitas yang untuk memenuhinya membutuhkan biaya yang tidak murah. Padahal pada saat yang sama pendapatan mereka berkurang.
Standarisasi Setengah Hati
Ke depannya, standar kesehatan dan higinitas pada usaha makanan bukan sekedar nilai gizi dan kebersihan tetapi bisa menjadi simbol aman/tidak aman dari Covid 19. Ini terkait pada tingkat kepercayaan konsumen. PKL menjadi salah satu kelompok paling rentan dalam beradaptasi pada standard higinitas yang dituntut konsumen.
Saat ini, BPOM[3] dan aplikasi-aplikasi layanan pesan antar makanan[4] mulai memperketat protokol kebersihan makanan dan mengenalkan konsep tentang food safety yang harus dipenuhi mitra. Standar yang diterapkan itu mengadaptasi panduan WHO. Antara lain, mengenakan masker, pengemasan, rutinitas sterilisasi area berjualan dan pengecekan suhu tubuh, penyediaan tempat cuci tangan, sampai penentuan ruang jaga jarak yang cukup bagi pelanggan.
Standar-standar tersebut menjadi tantangan bagi UMKM, termasuk PKL. Pemenuhannya membutuhkan biaya tambahan. Ini persoalan baru ketika PKL tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi biaya tersebut. Sementara itu, belum ada jaminan penuh dari pemerintah yang telah mewajibkan pelaksanaan protokol-protokol tersebut.
Semakin meningkatnya kasus penyebaran Covid-19 membuat konsep-konsep baru, seperti “food safety” dan “makanan higinis” semakin gencar disosialisasikan. Kesadaran akan konsep itu tidak hanya dimiliki kelompok tertentu, tetapi menjadi kesadaran umum dalam masyarakat. Semakin banyak konsumen yang memperhatikan dan membandingkan tempat-tempat dengan standar yang ada.
Tidak semua PKL mampu memenuhi permintaan pasar yang menuntut standar makanan higinis akan semakin termajinalkan. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah terkait protokol kesehatan dan higinitas makanan. Pemerintah, seolah-olah, tidak memperhitungkan kesiapan dan kemampuan PKL dalam memenuhi regulasi tersebut. Bahwa PKL berkutat dalam ketegangan memenuhi kebutuhan hidup di Ibukota yang terus meningkat, pada satu sisi.
Pada sisi lain, bila tidak memenuhi standar higinitas dan protokol kebersihan makanan, PKL dihadapkan pada risiko multidimensi, seperti sanksi sosial, mulai dari penertiban oleh petugas, stigma “penyebar virus”, hilangnya kepercayaan dari pembeli, dan tidak bisa bermitra dengan layanan pesan antar makanan berbasis aplikasi.
Saat ini, semakin banyak konsumen memilih jasa pesan antar untuk mengurangi kontak fisik dan menghindari kerumunan.[5] Ironisnya, standar higinitas tingkat tinggi ini pada akhirnya akan meningkatkan penggunaan plastik. Walaupun semua sektor usaha makanan potensial menyumbang peningkatan produksi sampah plastik, lagi-lagi stigma penyebab lingkungan kumuh tetap lebih dilekatkan pada PKL.
PKL menjadi sasaran kebijakan pemerintah yang represif karena dianggap merusak keindahan lingkungan perkotaan dan kini ditambah dengan stigma penyebab kerumunan. Saya membayangkan, jika terdapat PKL dan rumah makan atau kafe besar yang berdekatan dan sama-sama menyebabkan kerumunan pada masa Covid-19 ini, apakah keduanya mendapat perlakuan yang sama dari petugas penertiban? Ataukah hanya PKL saja yang dirazia secara paksa atau represif?
Ah, semoga ini hanya kekawatiran saya. (*)
Acuan Pustaka
[1] Selfie Miftahul Jannah, “PKL Pasar Tanah Abang Tetap Ramai Pembeli: Bukti PSBB Jakarta Gagal?,” Tirto.id, 19 Mei 2020, https://tirto.id/pkl-pasar-tanah-abang-tetap-ramai-pembeli-bukti-psbb-jakarta-gagal-fx8L.
[2] Nurul Widyaningrum, “Kota dan Pedagang Kaki Lima,” Jurnal Analisis Sosial 14, no. 1 (Mei 2009): 1–18.
[3] Ranti Kartikaningrum, “BPOM Bagi Resep Pangan Aman Selama Masa Pendemi COVID-19,” bnpb.go.id (Jakarta, 3 Juni 2020), https://bnpb.go.id/berita/bpom-bagi-resep-pangan-aman-selama-masa-pandemi-covid19.
[4] Bernadinus Adi Pramudita, “Memasuki Tatanan Normal Baru, GoFood Perketat Protokol Keamanan Makanan,” wartaekonomi.co.id, 3 Juni 2020, https://www.wartaekonomi.co.id/read288377/masuki-tatanan-normal-baru-gofood-perketat-protokol-keamanan-makanan.
[5] SUR dan AR-3, “Tren Konsumsi Pangan Selama Pandemi Berubah, Masyarakat Pilih yang Higienis,” Koran-Jakarta.com, 3 Juni 2020, http://www.koran-jakarta.com/tren-konsumsi-pangan-selama-pandemi-berubah–masyarakat-pilih-yang-higienis/.
Catatan ini merupakan bagian dari etnografi tambal-sulam dalam proyek penelitian “New Marginals, Old Marginals in the Age of COVID-19”. Bila Anda tertarik untuk bergabung, silakan kirim pesan ke info[a]eutenika.org.

Erina Slamet Saputri adalah peneliti di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jakarta.