Menjadi tua adalah bagian dari fase kehidupan manusia. Namun, menjalani masa tua di kala pandemi adalah sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
NUZUL SOLEKHAH
Saya adalah seorang perantau yang baru satu tahun tinggal di Yogyakarta. Saya tinggal di suatu indekos yang letaknya masuk ke dalam sebuah gang kecil di dekat Museum Diponegoro, Tegalrejo, Yogyakarta. Bangunan kamar kos saya menyatu dengan rumah pemiliknya. Bapak kos saya tahun depan pensiun. Saat ini dia tinggal hanya berdua dengan istrinya. Kedua anak mereka sudah berkeluarga dan tinggal dengan keluarganya masing-masing.
Rutinitas Para Renta
Lingkungan tempat tinggal saya sekarang adalah kawasan indekos bagi karyawan. Kebetulan, para pemilik indekos di gang saya tinggal ini masih punya ikatan saudara satu sama lain. Hampir setiap rumah di lingkungan itu memiliki anggota keluarga usia lanjut. Mereka punya cara masing-masing untuk mengisi rutinitas di masa pandemi ini.
Seorang ibu pemilik indekos yang berada di depan tempat saya, misalnya, nyaris tak pernah pergi ke luar rumah selain jalan ke toko depan gang atau sesekali melayat warga yang meninggal. Saat melakukan itu, dia menggunakan masker dan mematuhi protokol kesehatan.
Setiap pagi pukul 06.00 WIB sampai saya berangkat kerja, beliau duduk di teras depan sambil membaca koran dengan memakai daster tuanya. Terlihat tumpukan koran bekas tersusun rapi di bawah meja teras rumahnya. Koran adalah sumber informasi, selain informasi dari keluarga dan berita televisi.
Sang ibu mengetahui perkembangan Covid-19 dari koran yang setiap pagi dia baca. Sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020 lalu, tidak ada perubahan signifikan dari keseharian ibu tersebut, karena memang kesehariannya hanya berada di rumah.
Sebelum wabah Covid-19, beliau sangat jarang keluar rumah. Sesekali dia menghadiri kegiatan rutin keagamaan yang diadakan bersama ibu-ibu lansia di RT/RW. Situasi darurat Covid-19 menyebabkan kegiatan-kegiatan semacam itu dinonaktifkan untuk sementara waktu.
Saat saya pulang pada jam istirahat kantor, beliau sudah memasang selang air, menyirami tanaman bunga di depan rumahnya. Hal ini dilakukannya setiap siang. Sore harinya, saat anak dan cucunya pulang kerja, mereka selalu berkumpul dan mengobrol di teras depan rumah.
Meskipun berada di rumah seharian, anggota keluarga sang ibu tetap bekerja di luar rumah. Mereka tetap mengobrol seperti biasanya saat sudah berada di rumah. Saya pun kadang ikut dalam obrolan mereka. Entah siapa saja yang ditemui anggota keluarganya, dan saya, selama beraktivitas di luar rumah. Yang pasti, sang ibu itu tetap merasa aman jika sudah berada di rumah.
Dia tinggal dalam satu gerbang dengan bangunan indekos. Dia tidak tahu apakah penghuni indekos membawa virus atau tidak. Yang dia tahu hanyalah menjaga jarak dengan tidak keluar rumah dan sebisa mungkin tetap berada di rumah.
Seorang bapak tua yang tinggal persis di sebelah rumah kos saya adalah seorang jamaah Masjid Diponegoro, masjid terdekat dari hunian saya. Saya sering melihatnya berangkat menuju masjid yang letaknya sekitar 100 meter. Saat Covid-19 mewabah, beliau tetap berangkat sholat ke masjid itu. Bedanya, sekarang beliau menggunakan masker dan membawa sajadah pribadi dari rumah.
Menurutnya, mobilitas jarak dekat, dari rumah ke masjid, masih bisa ditoleransi. Beliau tetap melaksanakan sholat jamaah di masjid meskipun ada himbauan dari pemerintah untuk beribadah dari rumah saja. Sang bapak jarang keluar rumah, kecuali ke masjid. Aktivitas kesehariannya adalah menemani cucunya yang masih kecil bermain di rumah, dan pergi ke masjid saat azan berkumandang.
Dua orang lansia itu hanya sebagian kecil potret rutinitas lansia dalam situasi pandemi ini. Rumah dianggap sebagai ruang yang aman dari ancaman Covid-19 ini. Padahal anggota keluarga lain yang masih bekerja atau beraktivitas di luar rumah belum tentu menjamin dia lepas dari ancaman virus.
Kerentanan Sosio-Psikologis
Menurut WHO, lansia merupakan kelompok dengan risiko tinggi terpapar Covid-19. Apalagi saat berbagai kebijakan pembatasan sosial sudah mulai dilonggarkan seiring dengan penerapan new normal.[1] Sulit untuk mengategorikan apakah lansia rentan secara ekonomi dari pandemi ini. Sepertinya indikator ekonomi tidak cukup tepat digunakan untuk melihat kerentanan para lansia. Kita perlu memperluas cakrawala dengan memperhitungkan indikator sosial dan psikologis untuk bisa mengamati kerentanan yang dialami para lansia di kala pandemi.

Sosiolog Jerman Norbert Elias dalam bukunya The Loneliness of the Dying berusaha menggambarkan bagaimana tantangan manusia dalam mempersiapkan kematian sebagai ancaman biososial terbesar bagi kehidupan.[2] Hal tersulit yang dihadapi para lansia adalah terisolasi diam-diam dari penuaan dan sekarat dari komunitasnya, merenggangnya komunikasi secara bertahap dengan orang-orang terdekat dan lingkungan yang memberi makna dan rasa aman dalam hidup mereka.[3]
Secara biologis, lansia semakin rentan terhadap penyakit, mulai pikun, dan tak dapat melakukan aktivitas fisik yang melelahkan. Secara sosiologis, menjadi lansia berarti masuk dalam tahap “kesendirian” (loneliness). Ketika satu persatu teman satu generasinya meninggal, gambaran dan ingatan akan kematian menjadi sesuatu yang semakin nyata dan direproduksi. Reproduksi ingatan akan kematian memunculkan pelbagai tindakan rasional untuk “mempersiapkan kematian”.
Kombinasi keduanya membuat tingkat ketergantungan seseorang terus meningkat seiring bertambahnya usia. Para lansia membutuhkan orang lain untuk mengawasi kondisi biofisik dan menemani hari-hari tuanya sosio-psikologis terus meningkat seiring bertambahnya usia. Tanpa menghadapi pandemi, setiap manusia akan mengalami jarak sosial saat memasuki usia senja.
Mengacu pada pendapat sosiolog Jerman Georg Simmel, jarak sosial perlu dipahami melampaui jarak fisik atau geospasial namun juga soal berkurangnya intimitas dengan individu yang berbeda dalam etnis, ras, agama, pekerjaan atau variabel lainnya.[4] Jarak sosial semakin melebar ketika pasangan hidup, sanak saudara, ataupun teman satu generasi meninggal lebih dahulu. Para lansia semakin kehilangan rasa intimitas ketika konfigurasi lingkungan sosialnya berubah, entah karena kematian, pindah, ataupun perubahan lingkungan sosial. Tidak sedikit dari lansia yang hidup terpisah dari anak-anaknya yang tinggal di tempat lain karena menikah dan/atau merantau.
Menghayati Waktu yang Tersisa
Statistik kependudukan Provinsi DIY menunjukkan bahwa penduduk berusia di atas 65 tahun pada tahun 2020 ini adalah sebesar 379.214 jiwa. Jumlah itu hampir 10 persen dari total jumlah penduduk DIY, 3.882.288 jiwa.[5] Angka ini adalah yang paling tinggi jika dibandingkan data lima tahun sebelumnya.
Kehidupan lansia berbeda dengan kehidupan Kaum Milennial ataupun Gen-Z yang dapat mengisi kebosanan dengan gadget, game, atau media sosial. Pertambahan usia tidak selalu berbanding lurus dengan pemanfaatan teknologi dan sosial media. Lansia membutuhkan pola komunikasi yang mampu menghadirkan makna dan rasa aman.
Apa yang dilakukan dua lansia yang disampaikan di atas hanya beberapa dari sekian kegiatan yang dilakukan lansia dalam rangka mempersiapkan kematian dan memberi makna pada keberadaannya di dunia. Menjalankan ibadah bersama ataupun melayat warga yang meninggal bisa jadi lebih berfungsi secara sosial sebagai penggerak semangat mereka dalam menghayati sisa hidupnya.
Penerapan jaga jarak dan protokol kesehatan tidak banyak membawa perubahan aktivitas para lansia yang saya temui dalam keseharian saya. Jika harus menjaga jarak, dari siapa mereka mengambil jarak apabila ruang geraknya hanya di sekitaran rumahnya? Haruskah mereka juga menjaga jarak dari anggota keluarga mereka sendiri sebagai ancaman terdekat sebagai pembawa virus?
Namun, menyadari diri sebagai perantau yang masih bekerja dan beraktivitas di luar rumah selama pandemi membuat saya berpikir ulang. Bukan tidak mungkin, upaya saya mengurangi kerentanan sosial-psikologis para lansia di sekitar justru menjadi ancaman bagi mereka. (*)
Acuan pustaka
[1] Faorik Pakpahan, “Lansia Rentan Covid-19 Meutia Hatta Sebut Tiga Faktor Ini Harus Dijaga,” sindonews.com, 23 Juni 2020, https://nasional.sindonews.com/read/78818/15/lansia-rentan-covid-19-meutia-hatta-sebut-tiga-faktor-ini-harus-dijaga-1592899575
[2] Norbert Elias, The Loneliness of the Dying (New Haven & London: Continuum, 2001).
[3] Elias, 2.
[4] Dalam Everett M. Rogers, “Georg Simmel’s Concept of the Stranger and Intercultural Communication Research,” Communication Theory 9, no. 1 (1999): 58–74.
[5] http://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/index/361-jumlah-penduduk-diy
Catatan ini merupakan bagian dari etnografi tambal-sulam dalam proyek penelitian “New Marginals, Old Marginals in the Age of COVID-19”. Bila Anda tertarik untuk bergabung, silakan kirim pesan ke info[a]eutenika.org.

Nuzul Solekhah adalah calon peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS), Yogyakarta, Kementerian Sosial RI.