Menjaga pertemanan, kepedulian, keintiman adalah demi bertahan di tengah kejamnya kompetisi pasar bebas.
HATIB ABDUL KADIR
Dua fenomena yang muncul saat wabah korona merambah di Indonesia adalah sulitnya mengatur penjarakan sosial (social distancing). Pada saat yang sama, muncul pula gerakan volunterisme yang dianggap sebagai cerminan gotong-royong. Masyarakat berbondong membuka dapur umum, menyisihkan uang dan barangnya untuk membelikan masker, APD, ventilator.
Pertanyaannya adalah, mengapa penjarakan sosial cukup sulit dilakukan di Indonesia? Apakah gotong royong dan voluntarisme adalah sifat alami dari masyarakat Indonesia? Atau ia reaksi terhadap kondisi politik ekonomi saat ini?
Mengapa Social Distance Sulit Diterapkan
Sulitnya penerapan social distancing bukan karena watak esensial masyarakat kita yang komunal. Kerekatan sosial adalah reaksi terhadap corak pemerintahan kita yang selama ini minim dalam menyediakan sistem kesejahteraan terhadap masyarakatnya. Akibatnya, masyarakat membangun jaringan sosialnya sendiri.
Laporan antropolog Clifford Geertz (Involusi Pertanian, terbit pertama kali 1963), hingga duo ekonom peraih nobel Banerjee dan Duflo (Poor Economics 2011) menunjukkan bahwa masyarakat seperti di Jawa berpopulasi tinggi dikarenakan negara tidak memberikan jaminan perlindungan sosial di hari tua sehingga anak menjadi aset membantu orangtua nanti di saat sudah tidak produktif lagi.
Pada awalnya, saya berasumsi bahwa teori tentang pertukaran atau resiprositas telah usang karena ia hanya dipraktikkan oleh masyarakat primitif. Ternyata pandangan saya keliru.
Di era neoliberalisme ini, ketika negara berperan seperti “bapak yang pelit” karena menjalankan prinsip pasar bebas, dengan cara mengurangi subsidi kesehatan, pendidikan, transportasi publik, dan menerapkan sistem kerja outsourcing. Masyarakat di tingkat bawah harus siap saling mensubsidi satu sama lain. Resiprositas, bahu-membahu saling bantu antar-tetangga dan keluarga justru kembali relevan. Tujuan masyarakat kelas bawah menjaga pertemanan, kepedulian, keintiman adalah agar tetap dapat bertahan di tengah kejamnya kompetisi pasar bebas.
Sejarawan Bambang Purwanto pernah menyampaikan bahwa gotong-royong, gugur-gunung, selametan, hingga sambatan, justru subur ketika liberalisme ekonomi diterapkan pada akhir abad 19. Solidaritas komunal ini menjadi mekanisme masyarakat mengatasi krisis ekonomi dan saling berbagi resiko di masa depan yang sulit ditebak. Gotong royong kemudian dimistifikasi oleh kaum elit bangsawan Jawa agar mereka tetap bisa mengendalikan rakyatnya secara kultural.
Prinsip pasar bebas selama ini telah mengubah peran negara secara signifikan. Jika sebelumnya, sosiolog ternama Max Weber pernah berargumen bahwa negara modern adalah institusi otoritatif yang mempunyai legitimasi untuk mengatur semua urusan publik, bahkan legal menggunakan kekerasan bagi yang melanggarnya. Prinsip tersebut telah berubah.
Negara dengan prinsip neoliberal justru membiarkan warganya secara otonom mengatur hidup-matinya sendiri-sendiri. Seperti peran seorang ayah, negara tidak lagi punya tangan besi, melainkan ia mengharuskan semua warganya untuk berkompetisi atau sebaliknya, berkolaborasi mengatasi semua persoalan publik.
Di titik inilah, ajakan “masyarakat gotong royong” justru merupakan jargon pemerintah untuk menyuruh warganya hidup secara mandiri, sedangkan negara sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi, yang ternyata tidak terbukti berimplikasi pada masyarakat di tingkat bawah.
Politik Gotong Royong, Minimnya Perlindungan Sosial
Paul Burke & Martin Siyaranamual dalam catatannya, “No one left behind in Indonesia?” (2019), menunjukkan bantuan sosial di Indonesia hanya 0,6 persen dari total GDP. Alokasi ini sangat pelit mengingat besarnya ukuran negara Indonesia, dan jika dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Vietnam, Thailand, Afrika Selatan, yang mengalokasikan bantuan sosial di atas 1 persen dari total GPD.

Implikasi dari rendahnya bantuan sosial ini adalah di akar rumput. Anggota keluarga yang mampu dan mempunyai pekerjaan tetap membantu saudara mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Demikian pula, salah satu anggota keluarga yang sehat harus mengorbankan dirinya untuk tidak berpartisipasi dalam sektor pekerjaan formal, karena waktunya tersita merawat yang sakit atau manula. Mereka yang tua, di atas 65 tahun, juga berpotensi menjadi disable.
Data Supas (Survei Penyandang Disable) BPS tahun 2015 menunjukkan jumlah disable di Indonesia mencapai 21,5 juta jiwa. Di sisi lain, negara juga tidak memberi sanksi ketat bagi perusahaan yang tidak mempekerjakan disable meski telah terbit undang-undang yang porsinya harus menempatkan disable antara 1 persen sampai 2 persen.
Berbeda dengan di Barat, masyarakat Indonesia melihat bahwa orangtua adalah tanggung jawab anak untuk diperhatikan hari tuanya. Pandangan kultural seperti ini justru memanjakan negara untuk meminimkan bantuan sosialnya dan membenarkan jargon “gotong-royong” bagi masyarakat.
Rendahnya bantuan sosial juga berimplikasi pada kaum pengangguran (unemployment). Sebelum datangnya pandemik, jumlah pengangguran per-Februari 2019, turun ke 5,1 persen. Hal ini karena banyak tenaga kerja perkotaan yang terserap ke sistem pekerjaan kontrak singkat atau outsourcing. Sedangkan di pedesaan, ada sekitar 22 persen jumlah pekerja tidak dibayar (unpaid labor worker). Rendahnya bantuan sosial tidak hanya menunjukkan manajemen pemerintahan bias jaman normal, namun tidak siap menghadapi krisis dan kemarahan sosial.
Waktunya Mengubah Koordinat Politik
COVID-19 harus memberikan pelajaran kepada pemerintah untuk melakukan reformasi fiskal usai pandemik. Pasca COVID-19 jumlah pengangguran akan meningkat kembali ke dua digit seperti ketika krisis 1998.
Beragam bantuan sosial, seperti Raskin, PKH (Program Keluarga Harapan), dan bantuan pendidikan dan kesehatan perlu ditingkatkan jumlahnya. Namun, sasarannya harus efektif sesuai target, yakni orang yang benar-benar miskin—bukan kelas menengah. Demikian pula, jumlah petani yang mengalami gagal panen perlu ditingkatkan asuransinya agar tidak terlalu menggantungkan hidupnya pada patron, seperti tengkulak, atau lintah darat di desa.
Tak kalah penting, pekerja sektor informal perlu mendapatkan alokasi uang pensiun di usia 65 tahun ke atas. Antisipasi ini perlu dilakukan seiring meningkatnya angka harapan hidup. Persentase penduduk Indonesia di usia 65 tahun terus meningkat dari tahun ke tahun. Masyarakat yang mempunyai pekerjaan tetap dan mendapatkan jatah pensiun hanya sekitar 9 persen. Sisanya adalah orangtua yang bekerja di sektor pertanian dan informal yang tidak mendapatkan pensiun. Mereka inilah yang kemudian melihat anak sebagai aset dalam merawatnya di masa tuanya.
Dari pandemi COVID-19 ini kita belajar bahwa memberikan bantuan sosial jauh lebih bermanfaat daripada membangun infrastruktur, kereta api cepat Jakarta Bandung atau memindahkan ibukota baru yang tanahnya telah dipatok oleh para konglomerat. Setahu saya, tidak ada satu negarapun menyesal pernah mengalokasikan uangnya untuk urusan publik, khususnya kesehatan dan pendidikan.

Terakhir, mengacu pada antropolog James Ferguson (Give a Man a Fish 2014) yang mengkaji politik redistribusi. Ferguson menekankan bahwa negara harus belajar pada masyarakat primitif. Usai berburu, masyarakat mendistribusikan bagian-bagian tubuh binatang kepada anggota kerabat, bukan karena mereka telah bekerja untuk pemburu, tapi karena secara sederhana mereka adalah anggota kerabat.
Laiknya anggota dalam kerabat, setiap warganegara adalah pemegang saham. Mereka berhak mendapatkan perlindungan sosial sebagai bantuan tanpa syarat. Era neoliberal dan pandemi ini adalah waktu yang pas kita bertanya: apa yang telah negara berikan selama ini, setelah kita diperintah untuk terus-terusan bergotong-royong?
CATATAN: Artikel ini dimuat pertama kali di: https://econanthro.wordpress.com/2020/04/25/pandemi-korona-menguak-wajah-pemerintahan-kita/. Dimuat-ulang di sini, dengan beberapa penyesuaian tata-bahasa, untuk tujuan pendidikan atas persetujuan penulis.

Hatib Abdul Kadir, dosen di Prodi Antropologi, FIB, Universitas Brawijaya; co-Founder Perkumpulan Eutenika.