Sistem politik tertutup tidak memungkinkan transparansi dan pemerintah menjadi satu-satunya sumber informasi.
HAKIMUL IKHWAN
Beberapa negara dan lembaga internasional mulai menyuarakan tuntutan pertanggungjawaban Tiongkok atas pandemi COVID-19. Tiongkok dianggap melanggar International Health Regulation karena tidak terbuka tentang kasus infeksi COVID-19 dan potensi penyebarannya di dunia (Lihat Tzeng 2020; Yoo and Stradner 2020; Henderson et al. 2020; Fidler 2020). Langkah hukum, yang berimplikasi pada ekonomi, menandai episode lanjutan pandemi COVID-19.
Sebagaimana diyakini sejak awal, pandemi COVID-19 akan melahirkan efek domino krisis-krisis lain berjangka panjang di tingkat domestik dan global. Pandemi melahirkan krisis ekonomi lalu menjelma menjadi krisis politik. Tidak menutup kemungkinkan muaranya pada pembentukan tatanan baru ekonomi-politik global pasca pandemi COVID-19.
Pandemi Covid-19 menjadi instrumen perang senyap global. “Invisible war, with unseen forces”. Lalu, bagaimana posisi Indonesia di kancah peperangan semacam itu? Seberapa tepat langkah pemerintah berpijak pada kepentingan nasional?
Posisi Tiongkok
Sistem politik Tiongkok yang tertutup, partai tunggal/komunis, dianggap sebagai penyebab wabah ini dapat menjalar ke seluruh penjuru dunia. Sistem politik tertutup tidak memungkinkan transparansi. Pemerintah menjadi satu-satunya sumber informasi. Penangkapan beberapa ilmuwan Tiongkok yang mengungkapkan kasus awal wabah ini menjadi indikasi ketertutupan pemerintah Tiongkok yang harus dipertanggungjawabkan secara global.
Henderson et al. (2020) memperkirakan terdapat jeda waktu tiga minggu sejak kasus pertama teridentifikasi. Bayangkan, dalam sehari ada berapa ribu orang yang bepergian dari Tiongkok ke berbagai negara. Keterlambatan respon pemerintah Tiongkok dalam hitungan hari bisa berdampak penyebaran virus ke berbagai belahan dunia karena besarnya jumlah traveler dari daratan Tiongkok ke penjuru dunia. Henderson et. al mengestimasi 5 juta penduduk telah meninggalkan Wuhan sebelum kebijakan lockdown pada 23 Januari 2020.
Sebaliknya, Pemerintah Tiongkok menuduh Amerika Serikat bertanggung jawab di balik pademi ini. Juru bicara luar negeri Tiongkok menyebut militer Amerika membawa virus korona ke Wuhan pada 2019. Loncatan tajam jumlah korban COVID-19 di Amerika dalam beberapa waktu terakhir, khususnya di beberapa negara bagian seperti New York, menyiratkan indikasi lain beroperasinya perang senyap dengan kekuatan tak tampak.
Bagaimana dengan posisi Indonesia dalam perang senyap di tingkat global tersebut? Besarnya investasi Tiongkok di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tentu memberi pengaruh besar terhadap langkah-langkah pemerintah menghadapi perang senyap abad ke-21.
Pada Juni 2019, Tiongkok adalah investor terbesar ketiga di Indonesia dengan total investasi mencapai US$ 2,3 miliar (Tempo.co 2019). Di penghujung tahun 2019, Tiongkok semakin agresif berinvestasi di Indonesia dengan meningkatkan dua kali lipat nilai investasi menjadi US$ 4.7 miliar. Angka ini setara 20 persen total investasi luar negeri Tiongkok. Dengan nilai investasi tersebut menjadikan Tiongkok sebagai investor kedua terbesar di Indonesia menggantikan Jepang (Asmara 2020).
Sekalipun pemerintah sangat terbuka dengan investasi Tiongkok di Indonesia, tingkat penerimaan dan persepsi warga terhadap investasi Tiongkok tidak seramah pemerintah. Respon warga terhadap masuknya tenaga kerja dari Tiongkok hampir selalu diwarnai nada negatif, bila perlu menolak. Terakhir, di akhir Maret 2020, warga menumpahkan kemarahan melalui berbagai media sosial melihat masuknya banyak tenaga kerja dari Tiongkok di tengah wabah ini (Yunus 2020; CNN Indonesia 2020). Setelah menuai protes dan polemik di tingkat lokal dan nasional, sebanyak 38 orang tenaga kerja asing asal Tiongkok itu dipulangkan pada Kamis, 2 April 2020 (Kompas.com 2020).
Patroli Siber
Selang dua hari, Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan lima Surat Telegram yang diklaim sebagai Pedoman Tangani Pelanggaraan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Salah satu telegram tersebut bernomor: ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 adalah pedoman penanganan kejahatan di ruang siber (Briantika 2020). Secara khusus telegram tersebut menginstruksikan kepolisian untuk melakukan patroli siber menangkal hoaks dan penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintahan lainnya.
Dalam perspektif penanganan COVID-19, instruksi Kapolri untuk melakukan patroli siber menangkal hoaks dan penghinaan presiden dan pejabat tidaklah relevan. Pertama, pendekatan pengaturan dunia siber dengan dalih menangkal hoaks tidak menyasar jantung persoalan sesungguhnya dalam penanganan wabad ini. Masyarakat tidak dalam ancaman keamanan sipil melainkan dalam situasi darurat dan krisis di bidang kesehatan dengan kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi dokter dan tenaga medis serta krisis pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.
Menggunakan terma “hoaks” justru kontraproduktif karena memori warga selama ini merekam hoaks dalam definisi pemerintah. Pejabat menyampaikan informasi salah, keliru, dan palsu hampir dipastikan terbebas dari tuntutan menyebar hoaks. Dalam konteks ini, langkah pemerintah melakukan patroli siber akan mengeskalasi perasaan tidak aman (insecurity) dan ketakutan (fear) yang semakin memuncak di tengah penyebaran virus ini.
Kedua, pendekatan keamanan (policing) akan membuang banyak sumberdaya yang tidak menyasar prioritas kedaruratan COVID-19. Bahkan melebarkan jarak sosial antara pemerintah dengan masyarakat terdampak. Dibandingkan negara lain, Indonesia sangat tertinggal dalam kemampuan melakukan tes. Bahkan, dibandingkan negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand.
Lembaga riset Ourworldindata.org merilis data, per 6 April 2020 Indonesia hanya mampu melakukan tes untuk 42 orang per 1 juta penduduk. Thailand melakukan tes untuk 353 orang per 1 juta penduduk per 4 April 2020. Malaysia bahkan mencapai 1,691 orang per sejuta penduduk. Jangan dibandingkan dengan Korea Selatan yang mampu melakukan tes untuk 9,063 per sejuta penduduk per 06 April 2020. Our World in Data (OWID) adalah publikasi scientifik secara daring yang didirikan oleh ekonom dan sejarawan Max Roser berbasis di University of Oxford, Inggris.
Dengan kemampuan yang sangat terbatas tersebut, artinya, Indonesia perlu bersiap menghadapi ledakan kasus dalam beberapa waktu kedepan. Ledakan tersebut, terdata atau tidak terdata, oleh Kemenkes, d.h.i. Satgas COVID-19, bagaimanapun juga tetaplah ledakan.
Ledakan kasus COVID-19 terjadi bukan karena kesadaran masyarakat rendah untuk melakukan “penjarakan fisik” (physical distancing) atau mempraktekkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Tetapi, ledakan itu terjadi akibat respons kebijakan yang lamban dan tidak tepat sasaran.
Pengaturan Manusia
Terjadinya arus mudik dari DKI Jakarta ke wilayah-wilayah lain, khususnya di Jawa, menunjukkan kegagalan pemerintah merespons secara cepat dan tepat ancaman penyebaran wabah ini. Pemerintah semestinya memiliki otoritas untuk membendung penyebaran wabah. Tetapi itu tidak dilakukan dengan, misalnya, membendung para pemudik. Pemerintah juga tidak melakukan upaya menyediakan jaminan pangan dalam kurun waktu terbatas bagi para pekerja harian dan sektor informal. Kombinasi keduanya menjadikan pandemi ini terus menyebar.
Pemudik sudah berada di kampung halamannya dan pemerintah (pusat) tidak memiliki sistem informasi yang handal dalam memantau persebaran virus ini. Beberapa waktu lalu, misalnya, terjadi disinformasi hasil tes yang dilakukan pada 300 orang di Sekolah Kepolisian di Kota Sukabumi.
Sementara itu di Jakarta, terjadi perbedaan data cukup signifikan antara Gubernur Anies Baswedan dengan Satgas COVID-19. Anies menyebut terdapat 401 orang yang dimakamkan dengan prosedur COVID di Jakarta per 1 April 2020. Sementara data Satgas menyebut korban meninggal positif COVID di Jakarta “hanya” 90 orang.
Jumlah 401 orang yang disampaikan Anies sebenarnya “cukup sopan” jika dibandingkan dengan lonjakan angka pemakaman di Jakarta. Dari 2.459 pada Februari 2020 menjadi 4.377 pada Maret 2020. Rata-rata pemakaman pada 2018 dan 2019 yang secara berturut-turut 2.774 orang dan 2745 orang. Ini berarti, pada Maret 2020 terdapat peningkatan sekitar 1.600 pemakaman.
Meski belum diketahui secara pasti penyebab lonjakan jumlah pemakaman akibat COVID-19, tetapi mengingat tidak ada peristiwa bencana alam besar atau kecelakaan dengan korban jiwa besar maka patut diduga bahwa fenomena ini memiliki kaitan dengan wabah yang tengah berlangsung. Baik itu, secara langsung maupun tidak langsung, seperti kepanikan berlebihan, pelayanan kesehatan yang pincang, dll.
Ketidakmampuan untuk melakukan tes secara masif disertai dengan kelembagaan sistem informasi yang pincang membuat pemerintah tidak sepenuhnya bisa mengontrol laju perkembangan persebaran virus ini. Pemerintah tidak bisa memberikan respons secara tepat dan cepat. Dalam situasi ketidakmampuan mendeteksi ancaman persebaran virus yang tidak kasat mata itu, langkah yang justru diambil adalah menangkap yang “kasat mata”, melalui patroli siber.
Melakukan patroli siber memang jauh lebih mudah dibandingkan membendung virus yang tidak kasat mata. Tetapi, operasi siber tidak bisa membendung penyebaran virus, lonjakan pasien, dan angka kematian. Dalam jangka pendek, patroli siber mungkin akan efektif untuk membungkam para pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah. Pemerintahan Joko Widodo sudah sangat berpengalaman dalam membungkam pers, aktivis, bahkan pihak oposisi pada periode pertama. Pada periode kedua ini, dengan beberapa wajah lama yang berpengalaman tersebut, sangat mungkin keberhasilan itu akan terulang.
Namun, apakah langkah pengawasan siber akan berdampak positif bagi penguatan persatuan nasional dan konsolidasi sumberdaya menghadapi situasi krisis akibat COVID-19 dan krisis turunannya? Tentu tidak! Tidak ada bangsa yang tercerai-berai dapat menang perang, entah itu perang fisik ataupun perang senyap. (*)
Pustaka Acuan
Asmara, Tia. 2020. “China Doubles Investments in Indonesia through ‘Very Aggressive’ Approach, Official Says.” BenarNews. January 29, 2020.https://www.benarnews.org/english/news/indonesian/international-investment-01292020162954.html.
Briantika, Adi. 2020. “Lima Telegram Kapolri Jadi Pedoman Tangani Pelanggaraan PSBB.” tirto.id. April 6, 2020. https://tirto.id/lima-telegram-kapolri-jadi-pedoman-tangani-pelanggaraan-psbb-eLk4.
CNN Indonesia. 2020. “Demo Tolak 49 TKA China Di Kendari Berujung Adu Jotos.” Nasional. March 18, 2020. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200318200118-20-484736/demo-tolak-49-tka-china-di-kendari-berujung-adu-jotos.
Fidler, David. 2020. “COVID-19 and International Law: Must China Compensate Countries for the Damage?” Just Security. March 27, 2020. https://www.justsecurity.org/69394/covid-19-and-international-law-must-china-compensate-countries-for-the-damage-international-health-regulations/.
Henderson, Matthew, Dr Alan Mendoza, Dr Andrew Foxall, James Rogers, and Sam Armstrong. 2020. “Compensation for Coronavirus? Assessing China’s Potential Culpability and Avenues of Legal Response , , , And.” Henry Jackson Society. April 5, 2020. https://henryjacksonsociety.org/publications/coronaviruscompensation/.
Kompas.com. 2020. “39 TKA China yang Masuk Bintan Dipulangkan Via Jakarta.” KOMPAS.com. April 2, 2020. https://medan.kompas.com/read/2020/04/02/10563611/39-tka-china-yang-masuk-bintan-dipulangkan-via-jakarta.
Tempo.co. 2019. “Investasi Cina Semester I 2019 USD 2,3 M, Peringkat 3 Di RI – Bisnis Tempo.Co.” November 16, 2019. https://bisnis.tempo.co/read/1272969/investasi-cina-semester-i-2019-usd-23-m-peringkat-3-di-ri.
Tzeng, Peter. 2020. “Taking China to the International Court of Justice over COVID-19.” EJIL: Talk! (blog). April 2, 2020. https://www.ejiltalk.org/taking-china-to-the-international-court-of-justice-over-covid-19/.
Yoo, John, and Ivana Stradner. 2020. “How to Make China Pay.” National Review (blog). April 6, 2020. https://www.nationalreview.com/2020/04/how-to-make-china-pay/.Yunus, Saiful Rijal. 2020. “Tanpa Karantina, 49 Calon TKA China Masuk Ke Sultra.” Kompas.Id. March 16, 2020. https://kompas.id/baca/nusantara/2020/03/16/tanpa-karantina-49-calon-tka-china-masuk-ke-sultra/.
Catatan: Artikel ini dimuat pertama kali di: https://hakimulikhwan.com/perang-senyap-invisible-war-unseen-forces/. Artikel ini telah melalui beberapa penyesuaian tata-bahasa, sitasi dan subjudul dari versi aslinya. Artikel ini dimuat-ulang di sini untuk tujuan pendidikan dan atas persetujuan penulisnya.

Hakimul Ikhwan, dosen Departemen Sosiologi, UGM.