Bencana dilihat sebagai ancaman serius terhadap akumulasi kapital dan oleh karenanya penyelenggara negara harus bekerja untuk menjamin agar proses akumulasi kapital tidak terganggu oleh kejadian bencana dengan langkah-langkah pengurangan risiko dan dampaknya.
ANTON NOVENANTO
Tulisan ini adalah catatan dari kegiatan Salon Eutenika yang mengundang Fathun Karib, PhD. Kegiatan diselenggarakan dalam dua pertemuan secara virtual melalui platform Zoom. Kegiatan ini diorganisir oleh Perkumpulan Eutenika bekerja sama dengan PoskoKKLuLa; Kelompok Riset Sosiologi Lingkungan dan Bencana, Departemen Sosiologi, Universitas Brawijaya; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI); dan, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dengan dukungan dari American Institute for Indonesian Studies (AIFIS).
Pertemuan pertama, diselenggarakan pada Jumat 1 Juli 2022, membahas tentang operasi struktural dari jejaring-kerja dari banyak aktor yang memunculkan kekuatan-kekuatan geologis di Porong. Pertemuan kedua, pada Jumat 8 Juli 2022 mengulas tentang kondisi-kondisi manusia dalam kehidupan yang dipicu oleh kekuatan-kekuatan geologis tersebut. Pertemuan pertama dimoderatori oleh Lutfi Amiruddin dari Universitas Brawijaya dan hadir sebagai pembahas adalah Rere Christanto dari WALHI. Siti Maemunah dari Universitas Passau hadir sebagai pembahas pada pertemuan kedua yang dimoderatori oleh Bagus dari JATAM.
Bahan-bahan yang digunakan untuk rangkaian Salon kali ini merupakan bagian dari riset doktoral Karib di Department of Sociology, SUNY, Binghamton. Riset itu merupakan kelanjutan dari keterlibatannya dalam melakukan penelitian magisternya di Universitas Passau, Jerman tentang kasus lumpur Lapindo. Pertanyaan utama untuk penelitian doktoral itu bermula dari lontaran seorang narasumber pada riset pada 2011 lalu. Dia tergugah dengan pertanyaan tersebut dan berusaha mencari jawaban atasnya melalui studi doktoralnya ini.
Bingkai analisis yang digunakan Karib adalah kapitalosen (Capitalocene), sebuah konsep atau model pendekatan yang dikembangkan oleh promotornya di SUNY, Jason W. Moore. Moore menawarkan kapitalosen sebagai diskursus-tanding dari antroposen (Anthropocence) yang menjadi narasi dominan di kalangan ilmuwan sosial-humaniora belakangan ini.
Dalam sebuah artikelnya, Moore menyebutkan bahwa para pendukung antroposen menjadikan Revolusi Industri sebagai titik balik bagi kontribusi manusia dalam membentuk kekuatan-kekuatan geologis. Namun, menurut Moore, para pendukung antroposen gagal dalam melihat (atau mengingkari?) faktor pendorong utama dari Revolusi tersebut, yaitu kapital, dan oleh karenanya sebenarnya kita sedang menjalani sebuah era yang digerakkan oleh semangat akumulasi kapital, atau yang disebut Moore sebagai Kapitalosen.
Lumpur Lapindo dan Krisis Akumulasi Kapital
Menggunakan bingkai analisis kapitalosen, Karib membuka diskusi pertemuan pertama dengan mengajak peserta untuk masuk pada penjelasan makro bahwa apa yang dilakukan di Porong, atau Blok Brantas secara keseluruhan, adalah bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak dan gas nasional. Alasannya adalah semakin menipisnya cadangan minyak dan gas yang sudah ada. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi produksi minyak dan gas pada 60an sampai 70an yang melonjak—bahkan, pada 1977 Indonesia melakukan ekspor gas alam cair untuk pertama kalinya. Di Indonesia, gassification paling menguntungkan diselenggarakan oleh Huffington Corporation di Kalimantan Timur dan Exxon Mobile di Aceh.
Dengan demikian, Karib mengajak peserta untuk melihat konteks dan struktur politik ekonomi yang besar. Apa yang terjadi di Porong adalah bagian dari komodifikasi minyak dan gas alam. Usaha eksplorasi gas alam merupakan kelanjutan dari upaya politisasi potensi sumber daya alam di Porong sebagai bagian dari agenda besar: akumulasi kapital. Sebelumnya, politisasi sumber daya alam di Porong menyasar komoditas lain: tebu untuk menjadi gula. Komodifikasi tebu untuk industri gula sudah tidak lagi menguntungkan karena banyak faktor sehingga peralihan pada komoditas lain, d.h.i., industri ekstraktif, adalah sebuah keniscayaan untuk mempertahankan laju akumulasi kapital.
Berkaca pada logika agenda besar itu, segala manajemen atau tata kelola krisis yang ditimbulkan dari semburan dan luapan lumpur Lapindo tidak pernah dilihat sebagai krisis kemanusiaan dari sebuah bencana. Krisis yang terjadi adalah krisis akumulasi kapital. Oleh karenanya, langkah-langkah kunci yang dilakukan oleh pemerintah dan korporasi lebih ditunjukan untuk menjaga kestabilan atau kesinambungan proses akumulasi kapital yang terganggu oleh lumpur Lapindo.
Dalam proses penanganan krisis tersebut, ada keterlibatan ilmuwan, khususnya para geolog, dalam mendefinisikan apa yang sedang terjadi. Mengutip Phillip Drake, Karib menunjukkan bagaimana politik ilmu pengetahuan bekerja dalam kasus lumpur Lapindo. Ilmu pengetahuan bagaimanapun juga adalah proses sosial karena ditempuh melalui kesepakatan-kesepakatan dari para ilmuwan, khususnya yang ditekan oleh kepentingan politik ekonomi dari pemerintah dan korporasi sebagai bagian dari upaya menangani krisis akumulasi kapital akibat lumpur Lapindo.
Karib mencermati dua gerak akumulasi dalam kasus lumpur Lapindo. Pertama adalah gerak akumulasi hidrokarbon yang berhasil ditangkap oleh para ilmuwan. Ilmuwan telah lama melihat keterkaitan spasial antara gunung-lumpur (mud-volcano) dan kandungan hidrokarbon dalam bentuk minyak bumi dan gas alam. Keterkaitan antara keduanya itu dapat diamati di belahan dunia lain. Akumulasi ini terjadi sebagai bagian dari proses alamiah yang dilakukan oleh bumi selama jutaan tahun dan menghasilkan gas alam yang kebetulan terletak di Blok Brantas, yang mana Porong adalah salah satu bagian darinya.
Gerak akumulasi kedua adalah, tentu saja, akumulasi kapital yang ditangkap oleh perusahaan dan pemerintah sebagai bagian dari agenda pembangunan ekonomi. Pertimbangan ekonomis juga menjadi salah satu alasan Lapindo Brantas tidak memasang selubung pengaman untuk sumur pengeboran di Banjarpanji-1. Pertimbangan yang sama juga dijadikan landasan bagi tidak diteruskannya segala upaya penutupan semburan oleh perusahaan pada masa-masa awal semburan. Oleh karenanya, ketika tanggung jawab penanganan semburan dialihkan pada pemerintah, pada April 2007, menutup semburan adalah sesuatu yang sudah tidak mungkin untuk dilakukan.
Krisis akumulasi kapital inilah yang menjadi perhatian utama dalam bagaimana pemerintah membingkai dan menangani segala dampak dari semburan dan luapan lumpur Lapindo. Menurut Karib, model penanganan semacam ini bukanlah hal baru karena manajemen penanganan bencana yang selama ini diterapkan adalah sebenarnya manajemen krisis akumulasi kapital. Bencana dilihat sebagai ancaman serius terhadap akumulasi kapital dan oleh karenanya penyelenggara negara harus bekerja untuk menjamin agar proses akumulasi kapital tidak terganggu oleh kejadian bencana dengan langkah-langkah pengurangan risiko dan dampaknya.
Semburan lumpur Lapindo, dengan demikian, merupakan gangguan luar biasa terhadap akumulasi kapital yang sedang terjadi di Jawa Timur. Gas alam digunakan untuk kepentingan energi, khususnya listrik, bagi industri-industri di Jawa Timur. Gangguan terhadap rerantai produksi dan distribusi gas alam itu adalah gangguan terhadap akumulasi kapital di Jawa Timur dan wilayah yang lebih luas. Dalam konteks lumpur Lapindo di Porong, langkah yang diambil pemerintah adalah melakukan manajemen tata ruang sebagai upaya agar krisis akumulasi kapital akibat lumpur Lapindo tidak meluas dan berdampak pada proses akumulasi kapital yang lain di Porong dan sekitarnya.
Karib menyebutkan bahwa tidak pernah ada perhatian dan penanganan serius atas krisis ekologis yang terjadi. Hal itu bisa dilacak dari regulasi yang diterbitkan terkait penanganan krisis di Porong. Selain manajemen tata ruang, pemerintah juga melakukan manajemen penduduk yang diterjemahkan menjadi proses pemindahan penduduk yang tinggal di sekitar pusat semburan lumpur. Pemindahan penduduk itu dilakukan pada tahun-tahun awal semburan dan luapan lumpur. Belakangan, pemerintah mulai membiarkan penduduk yang masih tinggal di seputar pusat semburan untuk bertahan tanpa dampingan dengan lingkungan alam dan kehidupan sosial.
Reruntuhan Kapitalisme dan Sentimen Anti-Kolonial
Diskusi kedua dibuka dengan pembahasan tentang akumulasi penderitaan. Mengutip Marx, Karib menyebutkan bahwa berbarengan dengan akumulasi kapital adalah akumulasi penderitaan. Karib mendefinisikan penderitaan (misery) sebagai “sebuah situasi atau perasaan rasa sakit luar biasa secara mental (pikiran) dan tubuh (fisik) yang terhubung pada kondisi kehidupan manusia.”
Apabila fokus perhatian pada pertemuan pertama adalah pada struktur sosial yang berkontribusi untuk menghasilkan kekuatan-kekuatan geologis, pertemuan kedua mengambil fokus pada tubuh manusia. Mengikuti pendekatan John Kasson, Karib masuk pada sebuah pembahasan tentang tubuh manusia sebagai bagian dari sejarah akumulasi kapital dengan melihat tubuh manusia sebagai laman batas (frontier), atau zona perjumpaan antara kapitalis, disiplin, akumulasi kehancuran, dan resistensi. Menurut Karib, reruntuhan yang ada merupakan sebuah proses penghancuran yang masih terus berjalan dan itu yang membuat bagaimana proses hidup bersama reruntuhan dari bencana kapitalisme lumpur Lapindo.
Karib menyampaikan empat narasi yang biasa muncul tentang perubahan iklim: 1) narasi teknologis atau pasar, 2) narasi darurat iklim, 3) narasi keadilan iklim, dan 4) narasi transformasi struktural. Di antara empat narasi tersebut, Karib fokus pada narasi pertama dan ketiga yang cenderung berada dalam posisi vis-à-vis karena keduanya bersifat ideologis.
Narasi pertama dibangun oleh mereka yang mendukung kasus lumpur Lapindo sebagai krisis akumulasi kapital. Narasi yang dimunculkan adalah tentang bagaimana memanfaatkan reruntuhan yang ada di Porong untuk melakukan akumulasi kapital. Proses akumulasi kapital kembali dilakukan dengan mulai dimunculkan beberapa komoditas yang potensial digarap untuk kepentingan pasar, seperti gas metan, lumpur menjadi batu bata, kandungan logam tanah jarang, dan lain sebagainya.
Sementara itu, narasi ketiga berakar dari pemahaman bahwa krisis lingkungan dan perubahan iklim adalah krisis ruang kehidupan masyarakat setempat. Pada titik paling radikal, krisis itu terjadi pada tubuh manusia, secara fisik ataupun mental sekaligus. Karib mengangkat narasi dari tiga subjek yang ditemuinya dalam melakukan penelitian lapang.
Subjek pertama, Pak Adi yang sebenarnya tidak mau menjual tanahnya. “Saya tidak mau kembali ke sana dan emosi lagi.” Adi diintimdasi oleh aparatur negara dan dianggap berkhianat oleh anggota masyarakat lain. Penderitaan yang dialami pak Adi terakumulasi tidak hanya secara fisik, tapi secara mental.
Subjek kedua, Mbak Rachma yang sebelumnya adalah ibu rumah tangga biasa tapi sekarang menjadi aktivis yang berjuang untuk para korban Lapindo lainnya, khususnya di bidang kesehatan. Rachma mengalami diskriminasi saat suaminya dan dirinya menghadapi masalah kesehatan dan statusnya sebagai “korban lumpur”. Saat ini, dia berjuang agar apa yang pernah dialaminya itu tidak dialami oleh korban lainnya, atau setidaknya berkurang.
Subjek ketiga, Cak Untung memunculkan imajinasi anti-kolonial dalam caranya memaknai apa yang terjadi. Karib melihat imajinasi anti-kolonial itu merupakan konsekuensi dari apa yang disebut dengan memori fraktal (fractal memory). Sentimen anti-kolonial yang terjadi pada masa lalu terpanggil kembali dalam pengalaman menghadapi lumpur Lapindo. Dalam proses menghadapi krisis dari lumpur Lapindo, muncul aktor-aktor yang memainkan peran yang sama sebagai pelayan perusahaan dan negara dalam bernegosiasi dengan rakyat.
Peran itu disebut dengan londo blankon, atau pribumi yang membawa kepentingan penjajah Kulit Putih. Pengetahuan tentang peran tersebut didapatkan Untung dari pertunjukkan ludruk, khususnya tentang lakon Untung Surapati. Karib menemukan bahwa memori kolektif tentang Untung Surapati direproduksi tidak hanya dalam lakon ludruk tapi juga dalam budaya populer lain, khususnya novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Untung Surapati hadir dalam sebuah percakapan antara Nyi Ontosoroh dan Minke tentang keberadaan seorang ‘pahlawan’ setempat yang membela kepentingan rakyat yang ditindas oleh pemerintah kolonial.
Dengan demikian, kehidupan warga bersama reruntuhan kapitalisme yang bernama lumpur Lapindo menghadirkan relasi antara penduduk dan pendatang. Kehadiran pendatang dari Barat diterima secara ambigu sebagai kaum terdidik tapi juga membawa kegelapan bagi penduduk setempat dengan melakukan pendudukan tidak hanya pada ruang hidup penduduk setempat tapi juga pada memori mereka. Persoalannya, memori-memori tersebut tersebar dalam suatu tatanan yang bersifat fraktal, berlapis-lapis dan tersebar dalam fragmen-fragmen, sehingga butuh waktu yang tidak sedikit untuk bisa mendapatkan gambaran utuh dari penggalan-penggalan memori yang terfragmentasi.
Refleksi
Dari apa yang disampaikan oleh Karib dalam dua pertemuan itu, mungkin saya menangkap ada satu poin refleksi yang bisa dijadikan acuan bagi agenda perjuangan untuk gerakan mewujudkan keadilan lingkungan/ekologi. Agenda itu bukan sekadar memperjuangkan pencapaian kemerdekaan untuk mengelola ruang hidup rakyat melainkan juga perjuangan untuk mencapai kemerdekaan untuk memproduksi pengetahuan tentang ruang hidup dan bagaimana kita mengelolanya dengan cara kita. Tantangannya, tentu saja, agenda tersebut merupakan hasil dari proses abstraksi yang masih butuh waktu lagi agar kita bisa membaca konfigurasi besarnya—sementara itu, pada saat yang sama, proses akumulasi kapital (dan itu berarti juga proses akumulasi penderitaan) masih terus berlangsung dan semakin tak terhentikan. (*)
Anton Novenanto, pengajar di Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya; peneliti di Eutenika.
Catatan: Rekaman Salon Eutenika dapat dilihat dilihat di kanal YouTube Perkumpulan Eutenika.