Lingkungan Songgoriti bermula dari keresahan para pemuda di Songgoriti terkait stigma negatif yang dilekatkan banyak orang pada kampungnya. Salah satu upaya melawan stigma tersebut adalah memproduksi narasi alternatif tentang kampungnya dari sudut pandang berbeda.
ANDHIKA KRISNALOKA
Selasa, 6 Februari 2024 lalu tim penelitian dan pengabdian masyarakat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya (FISIP UB) menggelar penayangan perdana serial dokumenter Lingkungan Songgoriti di Gedung St. Simon Stock, Kota Batu. Produksi serial dokumenter ini merupakan kerja kolaborasi tim dari FISIP UB dengan Karang Taruna ORSES Songgoriti, Inside Songgoriti, Southeast Asian Neighborhood Network (SEANNET), dan Perkumpulan Peneliti Eutenika.
Diskusi “Lingkungan Songgoriti”
Setelah penayangan, kegiatan berlanjut dengan diskusi yang menghadirkan tiga pembicara, yaitu Agung Shinta, tokoh masyarakat Songgoriti, Taufan Agustyan, sutradara film dokumenter, dan Franciscus Apriwan, dosen di Prodi Antropologi Universitas Brawijaya. Kegiatan dihadiri oleh tokoh masyarakat Songgoriti, mahasiswa, perwakilan media, dan beberapa komunitas seni yang ada di Batu.
Lingkungan Songgoriti merekam aktivitas sosial dan budaya warga yang tinggal di salah satu destinasi wisata paling bersejarah di Batu, bahkan di Jawa Timur. Pada sesi diskusi, Franciscus mengatakan bahwa menonton serial ini mengingatkannya pada sejarah awal film pertama kali dibuat. Penonton diajak untuk melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh mata telanjang manusia. Episode-episode dalam serial ini merekam keseharian di sebuah kampung yang hidup dari ekonomi pariwisata.
Shinta mengatakan bahwa tidak mudah mengubah pandangan negatif terhadap Songgoriti. Salah satunya adalah banyak warga Songgoriti yang terlilit hutang bank dan menyewakan kamar adalah sumber penghasilan utama mereka. Pada sisi lain, tingkat pendidikan mayoritas warga Songgoriti masih kurang.
Taufan sangat mengapresiasi produksi serial dokumenter ini. Dalam waktu yang relatif singkat dan dengan sumber daya yang terbatas tim produksi mampu membuat enam episode film dokumenter. Itu saja sudah luar biasa.
“Pemutaran kedua, kalau bisa, di Songgoriti. Selain fungsi pencatatan, [film] juga sebagai cermin bagi masyarakat Songgoriti untuk melihat wajahnya,” ucap Taufan. Film dokumenter berpotensi sebagai sarana edukasi bagi masyarakat setempat. Film dapat memicu pembahasan persoalan yang dihadapi warga.
Seorang peserta Herman Arga menyebutkan beberapa potensi yang dimiliki Songgoriti. Salah satunya adalah menggelar festival yang meletakkan atraksi budaya sebagai pusat kegiatannya. Dengan demikian, para peserta bisa tinggal di vila-vila di sana.
“Aktivitas budaya, atraksi budaya, diperlukan. Songgoriti perlu branding Kampung Budaya Songgoriti,” sambut Taufan.
Shinta menyambut hangat tawaran-tawaran yang disampaikan. “Tapi jangan lupa melibatkan pemerintah. Saya lihat pemerintah kurang perhatiannya ke Songgoriti. Padahal Songgoriti itu salah satu ikon Kota Batu,” tambahnya.
Serial Dokumenter
Baik peserta maupun pembicara sadar bahwa gerakan ini tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan butuh kolaborasi banyak pihak, baik itu pemangku kepentingan, akademisi, maupun warga Songgoriti sendiri. Sejak 2022 lalu, para pemuda Songgoriti berkolaborasi dengan tim dosen dan mahasiswa dari FISIP Universitas Brawijaya yang bekerja dalam skema SEANNET untuk melawan citra negatif tentang kampungnya dengan menawarkan perspektif “orang dalam”. Serial dokumenter Lingkungan Songgoriti adalah sebagian dari usaha tersebut.
Lingkungan Songgoriti diproduksi selama enam bulan, sejak Juni sampai Desember 2023. Ada enam episode dalam serial ini: Gang Macan, Batu Bersejarah, Ekonomi Villa, Kelompok Seni dan Tradisi, Kelompok Sosial, dan ORSES. Serial tersebut dapat dilihat di Kanal YouTube Inside Songgoriti.
Episode pertama, Gang Macan, membahas asal-usul dan pemaknaan salah satu tengara yang ikonis dari Songgoriti. Batu Bersejarah bertutur tentang berbagai penanda sejarah peradaban masa lalu yang ada di Songgoriti dan bagaimana masyarakat berinteraksi serta menjaga situs-situs bersejarah tersebut. Ekonomi Villa memotret dinamika dan paradoks pariwisata yang menjadi jantung perekonomian warga Songgoriti.
Kelompok Seni dan Tradisi mengangkat beberapa kelompok kesenian tradisional yang menjadi ruang pemberdayaan pemuda Songgoriti di tengah modernisasi dan globalisasi. Kelompok Sosial berkisah tentang dinamika kelompok-kelompok sosial, dengan keunikannya masing-masing. Episode terakhir, ORSES, membahas kegelisahan para pemuda Songgoriti tentang masa depan kampungnya di tengah berbagai tekanan dan tantangan dari luar dan dari dalam.
Dalam penutupan, produser dan sutradara Lingkungan Songgoriti Anton Novenanto mengutip pendapat filsuf Prancis Roland Barthes bahwa “pengarang sudah mati”. Begitu film ini selesai dibuat, seluruh interpretasi berada di tangan penonton.
Setelah ruangan ditutup, masih terlihat peserta yang kebanyakan anak-anak muda bertahan di halaman gedung. Mereka berdiskusi hangat di tengah dinginnya udara malam di Kota Batu. (*)
Andhika Krisnaloka, ketua Karang Taruna Songgokerto, Batu; peneliti di Perkumpulan Peneliti Eutenika