Kerahasiaan COVID-19 di Indonesia: Antara Ekonomi dan Harga Diri Hampa Pemerintah

Ketidakjelasan pemerintah Indonesia tentang situasi COVID-19 bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Itu mungkin berasal dari ketidaktahuan tentang cara mengelola pandemi ini.

GEGER RIYANTO

Pernyataan Angela Merkel pada 11 Maret 2020 bahwa COVID-19 dapat menyerang hampir 70 persen penduduk Jerman terasa brutal. Menjadi perhatian banyak kanal berita Indonesia, saya bisa membayangkan bagaimana pernyataan Merkel itu mengguncang khalayak. Menariknya, sebagai seseorang yang harus menyaksikan kesenyapan pemerintah Indonesia yang memperparah ketidakpastian akibat COVID-19 di Indonesia, saya justru iri dengan penduduk Jerman yang punya seorang pemimpin negara yang sedemikian blak-blakan.

Di Indonesia, kasus pertama dan kedua positif COVID-19 diumumkan pada 2 Maret. Majalah Tempo melaporkan bahwa sebelumnya Menteri Kesehatan sempat berusaha menutupi kasus tersebut. Kala itu, para pejabat bersikeras menampik fakta bahwa Indonesia rentan terkena wabah tersebut. Menteri Kesehatan, misalnya, merasa tersinggung dengan temuan seorang ahli epidemiologi dari Harvard yang memperkirakan bahwa pada awal Februari wabah telah menyebar di Indonesia. “Itu namanya menghina,” kata sang menteri (Rahayu 2020). Dia mengatakan, si peneliti Harvard harus datang untuk melihat sendiri bahwa Indonesia sudah melakukan pemeriksaan yang layak pada siapa saja yang datang ke negaranya. Ketika seorang warga Jepang menemukan dirinya terinfeksi SARS Cov-2 setelah kembali dari Indonesia, seorang pejabat di Kementerian Kesehatan bersikeras bahwa itu bukan COVID-19. “Virus Covid-19 yang selama ini menyebabkan sakit itu ada perbedaan hampir 70 persen dengan virus SARS CoV-2,” kata pejabat itu (Nugraheny 2020). Pada saat itu, beredar cerita dari warga yang menyaksikan bagaimana tim medis mengenakan pakaian pelindung lengkap menerima pasien melalui pintu belakang sebuah rumah sakit.

Bahkan setelah pengumuman kasus baru positif COVID-19 dan kematian menjadi ritual harian Kementerian Kesehatan pada awal Maret, pemerintah masih dituduh menutupi beberapa fakta yang lebih menakutkan tentang wabah ini. Bersamaan dengan itu, seiring mereka terus-menerus membuat pernyataan yang menyederhanakan kegawatan situasi yang dihadapi, seperti menyatakan virus ini tidak tahan cuaca panas, pertumbuhan jumlah kasus positif anehnya jauh lebih rendah dibandingkan negara Asia Tenggara lain (yang berpenduduk lebih sedikit). Suatu ketika bahkan, Presiden Joko Widodo membandingkan jumlah kasus dan kematian di Indonesia dengan negara-negara lain dan menekankan bahwa nasib Indonesia jauh lebih baik dalam menghadapi pandemi ini, hal yang absurd mengingat Indonesia termasuk negara dengan jumlah tes COVID-19 terendah.

Gambar 1: Presiden Joko Widodo (berbicara) dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (di sisi kanan) mengumumkan kasus positif pertama dan kedua pada 2 Maret 2020. Sumber: Situs Kementrian Kesekretariatan Negara, diakses terakhir 26 Mei 2020.

Terlalu banyak yang dipertaruhkan?

Ketidakjelasan pemerintah Indonesia tentang situasi COVID-19 di negaranya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sejak terpilih kembali pada 2019, Presiden Joko Widodo sudah jelas-jelas berfokus pada penanggulangan dampak resesi ekonomi yang akan datang. Dia terlena dengan ramalan-ramalan ekonomi yang memprediksi bahwa dunia akan mengalami hambatan ekonomi dalam waktu dekat. Dengan keras kepala, pemerintah mengusulkan sebuah draf “UU omnibus” yang kontroversial, yang akan menurunkan upah minimum dan menghapus banyak kewajiban korporasi terhadap buruhnya dan lingkungan dengan harapan dapat menarik lebih banyak investasi asing. RUU itu disambut dengan protes serikat buruh yang meluas, tapi pemerintah bergeming.

Pemerintah baru mulai serius untuk mengatasi situasi COVID-19 ketika sektor pariwisata terdampak meskipun pada saat itu telah banyak yang menyampaikan keprihatinan tentang ancaman kesehatan dari virus tersebut. Instruksi Joko Widodo pada jajarannya dalam rapat pertama tentang COVID-19 adalah mempercepat pengeluaran negara, mengurangi defisit anggaran, memelihara stabilitas ekonomi dan persaingan, dan mempromosikan pariwisata pada mereka yang mencari tujuan wisata alternatif dari Tiongkok, Korea Selatan atau Jepang. Instruksi untuk mempromosikan pariwisata Indonesia itu, secara khusus, membangkitkan amarah warga karena mengindikasikan bahwa pemerintah tidak punya niat mengantisipasi masuknya turis yang potensial membawa COVID-19 ke Indonesia dan lebih mengutamakan ekonomi daripada kesehatan rakyatnya. Hal lain yang memicu ketidakpuasan ialah pemerintah berencana mengeluarkan dana Rp298 miliar untuk menanggulangi dampak pandemi terhadap industri pariwisata dan Rp72 miliar untuk membayar influencer media sosial mempromosikan tujuan-tujuan wisata unggulan.

Dengan menahan informasi tentang wabah COVID-19 di Indonesia ditambah dengan banyaknya candaan tentang kekebalan orang Indonesia terhadap COVID-19, tampaknya pemerintah berharap menyajikan citra Indonesia sebagai sebuah negara yang bebas-COVID dan hal itu akan mendorong sektor pariwisata. Lalu, ketika mereka menyadari bahwa industri pariwisata terdampak parah akibat pandemi, sikap tertutup tetap dipertahankan sebisa mungkin untuk menjaga rakyat terus bekerja, dengan demikian ekonomi terus bergulir.

Dibutuhkan banyak reaksi dari warga sebelum pemerintah akhirnya memutuskan untuk melarang rakyat pulang kampung merayakan Idul Fitri, sebuah momen tradisional ketika uang bergeser dari ibukota ke kota-kota lain. Walikota dan gubernur harus turun tangan sendiri dan secara sepihak mengancam mengisolasi daerahnya sebelum menteri terkait merinci aturan hukum. Penjelasan ilustratif Joko Widodo itu menunjukkan posisi pemerintah pusat saat dia menyampaikan alasannya untuk senyap dalam penanganan krisis COVID-19 pada 13 Maret. Dia menyampaikan bahwa kepanikan lebih berbahaya bagi ekonomi dan stabilitas daripada virus itu sendiri dan, karenanya, dia tidak ingin semua orang tahu langkah-langkah yang dilakukannya untuk mengendalikan pandemi di Indonesia agar warga tidak perlu khawatir tentang apa yang terjadi.

Meskipun begitu, cukup beralasan untuk berasumsi bahwa kesenyapan itu mungkin berasal dari ketidaktahuan pemerintah tentang bagaimana cara mengelola pandemi ini. Pemerintahan Joko Widodo berulang kali mengubah sikap dan kebijakan seiring dengan situasi yang bergulir cepat. Sementara pada awal-awal wabah transportasi antar-kota masih diperbolehkan untuk beroperasi, keputusan itu dikaji ulang seiring munculnya protes serta terus meningkatnya jumlah penyebaran dan kematian. Keputusan seorang menteri bahkan dapat diubah dalam hitungan jam oleh menteri lain yang lebih berkuasa. Ketidaktahuan semacam ini tidak hanya mencirikan respons pemerintahan Joko Widodo, namun juga pemerintah di seluruh dunia saat dihadapkan pada wabah COVID-19 sebagai suatu keadaan yang belum pernah merebak sebelumnya. Namun, dalam pandangan saya, sangat mencolok bagaimana pemerintahan Joko Widodo berusaha begitu keras mempertahankan citra bahwa mereka bisa mengendalikan situasi. Alih-alih menyampaikan secara transparan pada warga bahwa perlu ada evaluasi dan penyesuaian terus-menerus atas segala tindakan merespons wabah COVID-19, yang tersampaikan adalah semua bekerja dengan cara tidak semua rakyat dapat melihatnya.

Penelitian menunjukkan bahwa salah satu pandangan-dunia yang mayoritas di Indonesia berorientasi pada nilai alus dan kasar (Geertz 1976). Ini berarti, memelihara ketenangan dianggap penting dan kebenaran boleh disembunyikan jika dipandang dapat memicu konflik dan disharmoni. Selain itu, hubungan-hubungan birokratis dan profesional biasanya diperlakukan tak ayalnya hubungan ayah-anak—di mana atasan butuh selalu merasa berkuasa dan keutuhan keluarga adalah yang utama (van Langenberg 1986; Shiraishi 1997). Ini dapat menjelaskan sebagian mengapa anggapan pemerintah kurang memiliki pengetahuan yang tepat tentang COVID-19 dan rencana komprehensif untuk mengatasi pandemi ini dianggap sangat riskan bagi mereka yang berkuasa. Pemerintahan Joko Widodo tampaknya berpikir bahwa transparansi tidak hanya mempertaruhkan ekonomi tapi juga martabat pemerintah. Ketika Menteri Kesehatan merasa terhina oleh perhitungan seorang ahli epidemiologi pada awal Februari bahwa telah terjadi penyebaran COVID-19 di Indonesia, tanggapannya itu tampaknya berasal dari perasaan bahwa otoritasnya dikangkangi.

Harga kesenyapan

Pada masa bergolak seperti sekarang, ketika teori konspirasi menyebar cepat dan ketidakpastian menghantui pikiran setiap orang, operasi senyap pemerintahan Joko Widodo tidak banyak membantu sebagaimana diharapkan. Sebaliknya, hal itu memicu kecurigaan rakyat terhadap pemerintah begitu juga dengan ketidakberesannya dalam menangani virus ini. Pelbagai spekulasi tentang situasi sebenarnya dari wabah COVID-19 di Indonesia meliar seiring ketidakpercayaan menjadi norma untuk merespons penanganan pemerintah terhadap krisis ini. Di Jakarta, Pemprov mengabarkan tentang situasi COVID-19 terkini, termasuk jumlah jenazah yang dimakamkan sesuai protokol COVID-19.[1] Jumlah pemakaman ini mencapai empat kali lipat dari angka kematian positif COVID-19 seperti yang diumumkan Menteri Kesehatan. Terlepas kesenjangan yang mungkin membingungkan itu disebabkan oleh rendahnya kapasitas kementerian untuk melakukan tes, tidak semua yang dimakamkan dipastikan positif COVID-19. Meskipun demikian, banyak orang menafsirkan ini sebagai bukti bahwa pemerintah pusat, d.h.i. Kementerian Kesehatan, secara diam-diam terus melakukan manipulasi angka sebenarnya jumlah kematian akibat COVID-19.

Kebijakan mengumumkan jumlah jenazah yang dimakamkan menurut protokol COVID-19 di Jakarta dibuka di tengah rivalitas politik antara Joko Widodo dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Anies dianggap sebagai rival politik utama Joko Widodo dan dikenal tidak disukai oleh pemerintah pusat. Kebijakan dan manuvernya menunjukkan dia dari waktu ke waktu secara terbuka menentang kebijakan dan sikap politik pemerintah pusat. Saat Anies pertama kali mengumumkan jumlah jenazah dikubur sesuai protokol COVID-19 di Jakarta, para influencer dan pendukung pemerintah pusat mengkritiknya karena telah menakut-nakuti rakyat.[2] Menariknya, strategi komunikasi semacam ini terbukti lebih meyakinkan bagi warga. Bukan hanya Anies yang terus mengumumkan jumlah pemakaman sesuai protokol itu, beberapa provinsi mengikuti untuk menyampaikan perkembangan situasi COVID-19. Menyadari bahwa rakyat semakin bertanya-tanya tentang kondisi riil pandemi di Indonesia, kanal-kanal berita mulai turun tangan tentang spekulasi berapa jumlah orang yang benar-benar terinfeksi oleh virus ini. Jurnalis Reuters, misalnya, melakukan wawancara dengan pembuat peti mati di Jakarta dan menemukan bahwa beban kerja mereka meningkat selama wabah. “Biasanya kami menjual antara lima sampai tujuh peti sehari, tapi sekarang sampai 20 sampai 30 peti per hari,” ujar seorang pembuat peti mati. Pada saat yang sama, beberapa hasil penelitian tentang perkiraan peningkatan kasus positif COVID-19 mendapat ruang di media.

Gambar 2: Gubernur Jakarta Anies Baswedan dalam konferensi pers tentang virus korona pada 13 April 2020.
Sumber: Laman Facebook Pemprov DKI, terakhir diakses pada 26 Mei 2020.

Setelah tekanan pada pemerintah pusat untuk membuka data COVID-19 terus meningkat, Joko Widodo, yang sebelumnya menjelaskan bahwa dia ingin merahasiakan cara menangani krisis ini, akhirnya menyerah. Pada 14 April, pemerintah mengumumkan jumlah orang dan pasien yang diduga COVID-19. Tetap saja, hal itu tidak menghilangkan kecurigaan warga bahwa pemerintah masih menyimpan informasi penting lainnya. Pemerintah mungkin, pikir mereka,[3] mempermainkan hasil tes mengingat fakta bahwa setiap tes COVID-19 di Indonesia harus disampaikan kepada Kementerian Kesehatan sebelum diumumkan pada pasien. Fakta bahwa seorang menteri yang diyakini sebagai pendukung dan penasihat terdekat Joko Widodo mengharapkan wisatawan dapat kembali lebih cepat dari yang dibayangkan dan, saat ini, ketua Gugus Tugas COVID-19 meminta penduduk berusia di bawah 45 tahun untuk kembali bekerja dirasa membuktikan lebih jauh bahwa pemerintah punya kepentingan mempertahankan kesan tentang Indonesia berhasil mengatasi krisis COVID-19.

Sekarang, pemerintah lebih terang-terangan mengenai prospek berurusan dengan COVID-19 untuk waktu yang lama. “Kita harus hidup berdamai dengan COVID untuk beberapa waktu ke depan,” pesan Joko Widodo pada 7 Mei. Ketua Gugus Tugas COVID-19 juga telah memperingatkan warga untuk bersiap-siap menghadapi gelombang kedua pandemi. Akan tetapi, transparansi ini (atau usaha untuk terlihat transparan) mungkin sudah terlambat. Pemerintahan Joko Widodo berpegang teguh pada apa yang dianggap sebagai harga diri hampa terlalu lama. Penduduk Indonesia masih ingat pada operasi senyap yang sebelumnya dilakukan pemerintah, meminta pertanggungjawaban atas setiap kerugian yang ditanggung akibat COVID-19, dan mencurigai adanya usaha menyembunyikan kebenaran tentang wabah COVID-19 serta niat jahat terhadap rakyat.

Mengingat pelbagai pertimbangan ini, dan untuk kembali pada perbandingan yang disebutkan di awal tulisan ini, saya memahami mengapa selama krisis kesehatan ini, dukungan warga Jerman pada pemerintahan koalisi melonjak ke titik tertinggi dalam 23 tahun. Kejujuran brutal Merkel dan upaya pemerintah untuk bergantung pada rencana pandemi nasional[4] dan lembaga-lembaga ilmiah memberi rasa aman pada warga, bahkan ketika awal-awal wabah COVID-19 di Jerman, pemerintah juga mengabaikan bahayanya dan butuh beberapa minggu sebelum mereka memulai langkah-langkah penanganan skala besar. Jenis kepemimpinan politik yang diterapkan di Indonesia selama pandemi memicu ketakutan bahwa pemerintah sedang menyembunyikan sesuatu yang dapat membahayakan hidup kita atau orang yang paling kita sayangi.(*)


Catatan:

[1] Singkatnya, protokol tersebut memerintahkan mereka untuk melakukan pemakaman untuk mengenakan alat pelindung lengkap. Jenazah harus dibungkus dengan kantong tertutup, dibawa oleh mobil jenazah khusus, dan dimakamkan tidak lebih dari empat jam setelah kematian.

[2] Situs Seword dikenal sebagai pendukung Joko Widodo dan secara terus-menerus menyerang lawan politiknya. Artikel tersebut mengkritik Anies karena menggunakan pandemi untuk menarik perhatian warga. 

[3] Ini adalah tautan ke sebuah postingan Twitter dari sebuah laporan bahwa pemerintah tidak melakukan manipulasi data COVID-19. Pengguna Twitter membalas postingan itu dengan menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada pernyataan pemerintah itu.

[4] Salah satu instruksinya adalah menyediakan informasi yang dapat diandalkan dan akurat bagi para pengambil-keputusan, pekerja medis, media dan warga.


Pustaka Acuan

Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.

Nugraheny, Dian Erika. 2020. “Tak Ikuti WHO, Kemenkes Sebut SARS CoV-2 Beda dengan Covid-19.” Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2020/02/24/19212121/tak-ikuti-who-kemenkes-sebut-sars-cov-2-beda-dengan-covid-19. Diakses terakhir: 28/05/2020.

Rahayu, Lisye Sri. 2020. “‘Harvard’ Sebut Corona Seharusnya Sudah Masuk RI, Menkes: Itu Menghina.” Detik. https://news.detik.com/berita/d-4894445/harvard-sebut-corona-seharusnya-sudah-masuk-ri-menkes-itu-menghina. Diakses terakhir: 28/05/2020.

Shiraishi, Saya Sasaki. 1997. Young Heroes: The Indonesian Family in Politics. Ithaca, New York: Southeast Asia Program Publications.

Tempo. 2020. “Blunder Tangani Corona.” Tempo. https://majalah.tempo.co/read/opini/159883/editorial-salah-strategi-menteri-kesehatan-terawan-soal-corona?hidden=login. Diakses terakhir: 28/05/2020.

van Langenberg, Michael. 1986. “Analysing Indonesia’s New Order state: A Keyword Approach,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs Vol. 20(2):1–47.


Catatan penerjemah: Beberapa gagasan dalam tulisan ini telah disampaikan pada Seri Diskusi Daring #3 Eutenika “Respons Kultural atas Pandemi” (Selasa, 5 Mei 2020). Tulisan ini diindonesiakan oleh Anton Novenanto dan direvisi akhir oleh Geger Riyanto. Versi asli dari tulisan ini telah diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai bagian dari #WitnessingCorona, sebuah seri blog kolaboratif oleh Blog Medical Anthropology/Medizinethnologie; Curare: Journal of Medical Anthropology; the Global South Studies Center Cologne; dan boasblogs (https://www.medizinethnologie.net/covid-19-secrecy-in-indonesia-witnessing-corona/https://boasblogs.org/witnessingcorona/covid-19-secrecy-in-indonesia/).

Geger Riyanto, mahasiswa doktoral di Institut Antropologi, Universitas Heidelberg.


Leave a Reply