Melalui etnografi, konsep dan teori filsafati yang susah dicerna dapat dijelaskan dengan bukti empirik. Narasi gamblang mengungkap krisis lingkungan akibat prinsip ekonomi neoliberalisme.
HATIB ABDUL KADIR
Sepuluh buku antropologi ekologi progresif ini, tujuh penulisnya adalah perempuan. Delapan dari sepuluh buku ini menggunakan pendekatan etnografi. Melalui etnografi, konsep dan teori filsafati yang susah dicerna dapat dijelaskan dengan bukti empirik. Mengapa progresif? Karena narasinya dengan gamblang mengungkapkan krisis lingkungan yang diakibatkan oleh prinsip ekonomi neoliberalisme, kerakusan para investor bermodal besar dan didukung oleh birokrasi pemerintahan. Krisis lingkungan ini merugikan perempuan, petani gurem, nelayan, masyarakat adat, ras/etnis minoritas, dan alam itu sendiri yang seharusnya juga punya hak asasi untuk hidup.
10. Syahlih Muehlmann, Where the River Ends

Buku ini tentang konflik akses air. Bagian hulu Amerika Serikat dengan arogannya mereka “mengatur air”, sedangkan masyarakat native Cucapa di hilir Meksiko memandang air secara ontologis. Airlah yang mengatur mereka, khususnya untuk pertanian, irigasi, dan memancing. Ketika tidak ada air, tidak ada pekerjaan. Ekonomi mati dan identitas orang Cucapa berubah.
Paling utama, perempuan yang dirugikan. Mereka adalah mayoritas nelayan sungai. Perempuan menjadi komando dalam serangkaian negosiasi terhadap proyek pemetaan komunitas nelayan.
Sungai Colorado memanjang hingga Meksiko 2.300an km. Namun apa yang ada di peta tidak sesuai dengan realitas. Sungai ini dibelokkan (divert) tepat di perbatasan Amerika-Meksiko. Alirannya untuk semua kepentingan industri privatisasi air dan bendungan di Amerika. Akibatnya masyarakat native di sepanjang bantaran sungai Colorado bagian Meksiko hanya mendapatkan aliran air sekitar 10 persen.
Penulis menawarkan konsep “artikulasi” sebagai suara kolektif dalam mengidentifikasikan diri dalam mengklaim hak atas akses sumber daya. Untuk mendapatkan haknya mengakses air, perempuan mengartikulasikan beragam cara, mulai bukti peta, survei, bukti legenda dan sumpah tetua.
Krisis air juga menyebabkan anak muda Cucapa tidak punya mata pencaharian. Mereka kehilangan pekerjaan subsisten nelayan dan pertanian di sepanjang sungai. Dibanding mengikuti upaya konservasi yang ditawarkan karena juga tetap mengucilkan, native Cucapa terlibat perdagangan narkotika di Amerika. Narko ekonomi adalah artikulasi untuk menunjukkan krisis lingkungan di Meksiko, yang sebenarnya juga bagian dari perlawanan!
9. Sarah Besky, The Darjeeling Distinction: Labor and Justice on Fair-Trade Tea Plantations in India
Buku ini saya pilih di urutan ke 9. Teh adalah bagian jenis keluarga rerumputan yang dibawa dari para pedagang Cina kemudian dikembangkan di Darjeeling. Kualitas tanah di kawasan antara India dan West Bengal ini cocok untuk teh berkualitas tinggi.
Dalam sejarahnya, sistem kerja perkebunan nantinya menginspirasi sistem kerja buruh. Disiplin waktu dan memproduksi komoditas secara masal tapi tidak dikonsumsi sendiri. Bedanya, pemetik teh di Darjeeling tinggal menetap di dalam kawasan perkebunan. Hal ini memungkinkan relasi pekerja dengan daun teh demikian kuat.
Besky mengembangkan konsep tripartite moral economy, yakni ekonomi moral yang dikembangkan antara pemetik teh, mandor perkebunan dan teh itu sendiri. Berbeda dengan perkebunan kopi atau tebu yang dikerjakan oleh laki-laki, mayoritas pemetik teh adalah perempuan. Memetik daun teh memerlukan kehati-hatian ekstra. Pemetik teh membangun relasi “quasi kinship“ dengan tanaman yang mereka rawat. Mereka percaya bahwa hasil panen buruk akibat dari perawatan dan pemangkasan pohon yang tidak baik.
Seiring waktu, perkebunan berubah menjadi objek fair trade. Kapitalisme Amerika menggunakan standar mereka dalam melihat perkebunan di dunia Selatan, persis dalam gambaran Edward Said mengenai orientalisme. Pemetik teh disertifikasi agar kualitasnya baik.
Fair trade memaksa pemetik teh menjadi hired workers (pekerja sewaan) dan farmer (petani skala besar) model Amerika. Memotong relasi tripartite moral economy dan menjadi bisnis murni. Fair trade hanya peduli pada harga komoditas, tapi tidak mempertimbangkan relasi sosial lainnya.
Fair trade memotong ongkos produksi dengan menghilangkan middlemen dan menghubungkan langsung pemetik teh dengan pembeli dari dunia utara. Namun, tujuan fair trade adalah menaikkan saham pembeli teh besar, seperti Starbuck dan Nestle, yang dibeli oleh investor bermodal besar (capitalist venture).
Buku ini menyadarkan kita bahwa dunia Utara dan Selatan masih sangatlah timpang, dan contoh nyatanya ada dalam perkebunan Darjeeling.
8. Nancy Pelusso, Hutan Kaya, Rakyat Melarat
Jika anda ingin melihat versi etnografi dari buku babonnya E.P Thompson, Whigs and Hunters: The Origin of the Black Act, maka buku Nancy Pelusso inilah jawabnya.
Nancy mengoperasikan konsep “enclosure” yakni tanah berpagar yang diciptakan bangsawan Inggris dan kemudian mendefinisikan makna kriminal bagi mereka yang melanggar batas pagar seperti mengambil ranting kayu bakar di dalamnya. Studi Pelusso menunjukkan hutan di Jawa pun demikian.
Kehutanan (forestry) muncul seiring dengan berdirinya negara di tahun 1950 awal. Definisi kehutanan membuat warga tidak serta-merta dapat mengeksplor hutan “milik negara”.
Hutan kaya yang dikontrol negara ini berlawanan dengan kondisi jutaan petani Jawa yang hidup berdampingan dengan hutan tersebut. Karena akses hukum dan hak adat mereka terhadap hutan sangat terbatas, para petani ini didorong ke arah pemanfaatan sumber daya hutan secara ilegal.
Buku ini menunjukkan secara telanjang bahwa ketimpangan antara yang kaya dan miskin bukan hanya di kawasan perkotaan. Rumah-rumah gedong yang dikelilingi perkampungan kumuh yang padat. Jawa adalah daerah pertanian terpadat di dunia dan tak heran banyak petani frustasi karena tidak dapat memanfaatkan lahan. Negara membatasi akses masyarakat dengan menggunakan “ideologi konservasi”.
Saya curiga, buku ini seperti menjadi rekomendasi untuk program Jokowi dalam bagi-bagi sertifikat tanah. Objek tanah yang dibagikan kali ini adalah tanah milik perhutanan negara yang sudah lama tidak difungsikan. Caranya berbeda dengan reforma agraria tahun 1960an. Tidak mengherankan, karena penulis buku ini, Nancy Pelusso, adalah profesor dari Noer Fauzi, yang sempat duduk sebagai Staf Khusus Kepresidenan dan Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Kajian Agraria.
7. David Biggs, Quagmire, Nation Building and Nature in the Mekong Delta
Delta Mekong disebut juga dengan Quagmire, yang artinya daerah rawa dengan permukaan tanah lunak dan dapat dilewati berjalan kaki. Quagmire secara metaforis juga berarti situasi yang kacau dan bahaya.
Delta yang terletak di Vietnam Selatan dan berbatasan dengan Kamboja ini digunakan untuk irigasi pertanian sejak abad 17. Airnya mengalir dari kawasan pesisir bakau hingga ke hilir perkotaan dan digunakan memenuhi kebutuhan populasi lebih dari 25 juta orang.
Kawasan delta yang kaya ini merupakan monumen rebutan sejak kerajaan Vietnam, kolonialisme Perancis, kaum nasionalis kiri seperti Partai Komunis Indocina, invasi Amerika pada perang Vietnam, hingga berbagai agen pembangunan yang digerakkan oleh NGO internasional saat ini.
Desain sebuah negara terletak pada dinamika ekologinya di mana para teknisi, tentara, berebutan untuk membangun rencana mereka masing-masing. Di awal abad 20, para teknisi hidrolis Perancis melakukan reklamasi Delta Mekong dengan memperluas kanal agar muncul pemukiman baru dan pembukaan perkebunan di darat. Namun berakhir kacau.
Lantas, para kader partai komunis menanami daerah rawa ini dengan makanan pokok. Pada medio 1960an, di tengah-tengah tanggul yang rusak dan ladang berlumpur, kawasan delta ini menjadi medan perang Indocina antara tentara Amerika, Perancis melawan fron nasionalis Kiri dari utara.
Buku ini luar biasa karena menunjukkan bagaimana lumpur, got, rawa-rawa, sungai keruh mampu menciptakan karakter bangsa. Buku ini menawarkan cara pandang sejarah yang tidak konvensional dengan melihat konstruksi identitas negara-bangsa melalui lokasi ekologis yang diperebutkan. Dari buku ini kita tahu bahwa nasib sebuah bangsa sangatlah terikat dengan nasib alamnya.
6. Tania Li, Land’s End, Capitalist Relations on an Indigenous Frontier
Kapitalisme ternyata muncul dari bawah. Itulah pesan buku ini.
Sebagai respon dari melonjaknya harga kakao, banyak petani yang menjual tanahnya yang juga melompat tinggi. Petani yang menjual tanahnya akhirnya justru menjadi miskin dan sebaliknya, mereka yang mampu memperluas kepemilikan tanah semakin kaya. Sejak tahun 1990an, perbedaan kelas di pedesaan makin kentara.
Privatisasi mengakibatkan apa yang disebut dalam buku ini sebagai Lands End. Setiap orang mengubah tanahnya ke tanaman kakao hingga tidak ada lagi sisa untuk menanam jagung, umbi-umbian dan tanaman pangan lainnya, dan tidak ada lagi hutan tersisa. Lands end adalah bencana karena petani menyerahkan otonomi pangan mereka seperti jagung, umbi-umbian, dll ke ketergantungan dengan komoditas global yang harganya mereka tidak dapat kontrol.
Pesan yang ingin disampaikan buku ini bahwa harapan akan kemakmuran dengan mengandalkan penjualan komoditas tanaman global pada awalnya terlihat seperti kesempatan bagus namun hanya sedikit yang sukses dan lebih banyak yang gagal. Kita tidak bisa berharap pada kapitalisme itu sendiri yang akan menjadi mesin penyejahtera masyarakat.
Roda kapitalisme global secara anarkis berjalan di luar kendali petani. Namun roda itu telah menghancurkan resiprositas sosial dan memunculkan kerentanan baru pada pangan. Membaca buku ini membuatmu berhenti tepuk tangan, karena apa yang terlihat seperti harapan baru, justru menjadi bumerang yang menghantam balik orang-orang pedesaan yang mempercayainya.
5. Laura Bear, Navigating Austerity: Currents of Debt along a South Asian River

Bagaimana hutang mampu mengubah lanskap ekologi? Jawabnya ada di buku ini.
Laura Bear melakukan riset di Sungai Hooghly, anak sungai Gangga yang mengalir ke Teluk Bengal dan Samudra Hindia. Pengetatan belanja negara (austerity) karena desakan sistem neoliberal menyebabkan banyaknya infrastruktur publik di sekitar sungai rusak dan terabaikan.
Bear menjelaskan logika muasal hutang negara (sovereign debt). Untuk membangun infrastruktur publik, pemerintah tidak lagi mencetak uang dari bank sentral. Melainkan, pemerintah mulai mengeluarkan surat hutang (bond) plus dengan bunganya kepada berbagai bank sejak 1990. Bank-bank ini kemudian melepaskan surat hutang ke pasar finansial sehingga menjadi spekulasi sepenuhnya. Akibatnya pemerintah harus benar-benar melihat sentimen pasar. Hutang pemerintah plus bunga ini yang menyebabkan infrastruktur publik dan lingkungan terabaikan.
Bab paling menarik di buku ini pada pembahasan bahwa austerity turut pula mengubah lanskap sungai. Dalam upayanya membayar hutang ke pemerintah, negara bagian Kalkuta mengurangi pembelanjaan publik dan menciptakan pekerja outsourcing. Sungai Hoogly jarang dikeruk sehingga terjadi sedimentasi dan menyulitkan kapal-kapal kontainer masuk ke pelabuhan.
Pemerintah hanya menyewa para penggali pasir secara manual. Mereka menyelam tanpa menggunakan pengaman dan menaikkan pasir di atas perahu-perahu kayu. Kapten kapal kontainer bukan hanya harus hati-hati dalam menavigasi kapalnya karena meningkatnya lumpur dasar sungai Hoogly, tapi juga harus seksama dalam menavigasi austerity-nya neoliberalisme.
4. Eduardo Kohn, How Forest Think

Kohn melakukan risetnya di hutan tropis Ekuador. Ia tidak mempertanyakan apakah hutan memang dapat berpikir, tapi bagaimana hutan berpikir?
Untuk menangkap bagaimana hutan berpikir, Kohn menggunakan pisau analisis semiotika Charles Sanders Peirce: ikon, indeks dan simbol. Ada banyak komunikasi manusia dengan alam yang tidak dapat disampaikan melalui bahasa. Itu kenapa Kohn menggunakan Peirce daripada Saussure.
Relasi antar manusia dan alam bersifat semiotik. Selama perjalanan ke dalam hutan, Kohn mengikuti orang-orang Runa yang mengucapkan bahasa-bahasa ikonik menyerupai dengan aslinya, seperti ta ta ta…bom boom bom, daun patah atau suara gergaji mesin.
Binatang mampu membaca ikon, yakni kemiripan dengan suara asli yang dibunyikan oleh orang-orang Runa. Monyet bereaksi membaca tanda tersebut dan membedakan mana yang mengancamnya dan tidak. Kohn juga diminta untuk tidak tidur telungkup, agar jaguar tidak melihatnya sebagai mangsa. Sedangkan jika ia menengadah, maka jaguar akan melihat Kohn sebagai spesies jaguar lain.
Buku ini penting dalam dua hal. Pertama, alam atau hutan mempunyai hak untuk hidup, seperti manusia. Alam juga mempunyai kesadaran. Kedua, manusia bukan sebagai pusat dari alam seperti argumen Cartesian atau kesombongan Yuval Noah Harari, melainkan manusia terhubung dengan dunia kosmos lainnya dan saling membagi tanda semiotika.
Pembangunan modern tidak memahami cara berpikir seperti ini. Alam, bagi pembangunan, adalah entitas terpisah dari manusia sehingga ia harus ditaklukkan bahkan diberangus keberagamannya demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
3. Gaston Gordilo, Rubble: The Afterlife of Destruction

Buku ini sangat revelan saat sekarang. Modernitas dan semua infrastruktur yang dibangun pemerintahan Jokowi akan banyak mengalami pengabaian dan runtuh menjadi puing.
Kita seringkali berbicara tentang disrupsi teknologi, tapi infrastruktur juga mengalami disrupsi. Infrastruktur menjadi puing karena sejarah tidak selalu berjalan linear, tapi ia membentuk tumpukan sedimentasi. Hasrat manusia untuk selalu membangun dan mengejar peradaban besar selalu mengalami disrupsi di tengahnya.
Sejarah modern menunjukkan banyak bendungan, jalan tol, pompa bensin, hotel, terabaikan karena beragam alasan. Wabah, bencana, perang, gerakan anti imperialisme atau revisi lainnya adalah alasan manusia meninggalkan infrastruktur lama.
Reruntuhan (rubble) bukan hal negatif. Ia memancarkan cahaya untuk kita berefleksi. Puing menunjukkan ada pembangunan yang perlu diabaikan atau direvisi karena sudah tidak relevan dengan kebutuhan manusia.
Jika Anda ingin tahu bagaimana pemikiran Mazhab Frankfurt diterapkan dalam etnografi, buku ini jawabannya. Gaston menerapkan metode “konstelasi” dari Theodor Adorno dan konsep “phantasmagoria” dari Walter Benjamin.
Gaston berjalan dari satu titik ke titik yang lain (multiple nodes), berawal dari Kota Salta di utara Argentina menuju ke bagian selatan. Ia melihat ada saling keterkaitan puing di satu titik dengan titik wilayah lainnya. Dari kuburan masal, gereja kosong hingga lanskap pertanian kedelai yang menandai penerapan neoliberalisme pangan. Ia membentuk konstelasi seperti phantasmagoria, yakni serangkaian perpaduan gambar horor, suasana gelap, tengkorak, tongkat sihir, burung hantu, dan rumah kosong.
Reruntuhan menunjukkan sedimentasi peristiwa, pengabaian, perlawanan, revisi dan fragmentasi dari sejarah yang linear. Selain Mazhab Franfkfurt, buku ini menampilkan teoretikus semacam Slavoj Zizek dan Alain Badiou dalam menggambarkan kekosongan dan absensi yang justru menunjukkan sesuatu.
Kekosongan membuka horizon baru. Dari monumen reruntuhan, ia menjadi tempat baru yang dimaknai sebagai kawasan ziarah, monumen anti imperialisme, juga munculnya spesies baru yang tidak terduga sebelumnya.
2. Anna Tsing, The Mushroom at the end of the World

Buku ini menjadi etnografi menakjubkan karena dukungan riset kolaborasi dengan rekan kerja di berbagai wilayah, Cina, Jepang, Taiwan, Oregon, Kanada, Finlandia. Pendekatannya tidak biasa.
Jamur merupakan organisme yang unik. Sangat sulit menemukan jamur berkecambah melalui spora. Uniknya, jamur bergabung dengan tubuh induknya dan membentuk beragam variabel genetik di dalam tubuh induknya.
Anna bercerita tentang rantai suplai Matsukate, salah satu jenis jamur liar dipanen dengan keriangan oleh para pemetiknya. Di Oregon, pemetik-pemetik Matsutake adalah orang-orang merdeka. Padahal, dibanding jamur liar lainnya, harga Matsutake di pasaran sangat naik turun (volatile). Hal ini tergantung pada kemauan pemetik memproduksinya.
Di Jepang, Anna menyebutnya sebagai “peasant forest”. Mereka menanam skala kecil dengan tidak menggunakan pupuk dari kotoran binatang melainkan dengan dedaunan dan kayu dari hutan. Jamur tidak dihasilkan dari panen buruh perkebunan yang kerjanya harus disiplin. Namun demikian, ketika Matsutake sampai di pasaran menjadi komoditas.
Ketika sampai di konsumen Jepang, Matsutake menjadi pemberian (gift) yang menunjukkan keinginan serius si pemberi untuk membangun relasi. Anna hendak menunjukkan bahwa tidak semua komoditas dunia harus diawali dengan eksploitasi pekerja perkebunan, semacam kopi, teh, dan tebu yang penuh dengan cerita perbudakan berdarah-darah.
Buku ini menawarkan metode baru. Manusia adalah makhluk yang rentan. Anna mengajukan konsep multispecies world. Manusia bukan pusat dunia, tanpa pohon kita tidak mampu menghirup oksigen, tanpa bakteria manusia tidak mampu mencerna makanan. Dalam dunia multispesies, ada keterikatan (entanglement) antara manusia dengan unsur-unsur bukan manusia, sepeti air, tanaman, binatang.
Salah satu cara mengamati reruntuhan dalam krisis lingkungan adalah dengan seni memperhatikan, arts of noticing. Melihat keterikatan subjek manusia dengan benda-benda non-manusia, spesies dan apa saja perubahan yang telah terjadi akibat kerusakan lingkungan tersebut.
1. Rachel Carson, Silent Spring

Dalam suatu wawancara, antropolog dan ilmuan politik, James C Scott menyebutkan bahwa ada dua buku yang paling mempengaruhi cara ia bercerita dan menempatkan posisi ideologisnya. Pertama, Jane Jacobs, The Death and Life of American Cities. Kedua, Rachel Carson, Silent Spring. Kedua buku ini ditulis dengan gaya naratif jurnalistik sehingga dapat dicerna oleh publik luas.
Buku Rachel Carson memang tidak berangkat dari disiplin ilmu antropologi secara ketat, namun buku ini menjadi bacaan wajib. Kalau saya katakan sebagai “kitab suci” bagi ilmu humaniora dan ilmu sosial, biologi, oseanografi, entomology, ornithology, yang hendak belajar mengamati dan menulis tentang perubahan lingkungan.
Carson mengkritik penyemprotan pestisida dan insektisida. Efeknya merusak serangga, burung, dan semua jenis tanaman, apel, kapas, jagung, bunga, merusak jaringan syaraf dan liver manusia. Dengan gaya penulisannya yang puitis, Carson mampu membahasakan ilmu biologi hingga data statistik dengan sederhana. Buku ini membuat pemilik pabrik-pabrik kimia raksasa dan para ilmuwan yang bekerja di dalamnya marah besar.
Rachel Carson seperti menyadarkan saya bahwa ilmu biologi sama seperti ilmu humaniora dengan perspektif feminis. Ia memandang kemanusiaan dari unsur-unsur yang bukan saja manusia, binatang, tumbuhan, alam, rawa-rawa, hingga alga di lautan. Sebaliknya, kimia adalah ilmu yang sangat maskulin. Ruang-ruang praktik laboratoriumnya dipenuhi dengan laki-laki bermantel putih yang dengan arogan percaya bahwa pestisida dan insektisida yang mereka teliti akan membawa manusia selangkah ke peradaban modern selanjutnya. Padahal takhyul!
CATATAN: Artikel ini dimuat pertama kali di: https://econanthro.wordpress.com/2020/05/30/10-buku-terbaik-antropologi-ekologi-progresif/. Dimuat-ulang di sini, dengan beberapa penyesuaian tata-bahasa, untuk tujuan pendidikan atas persetujuan penulis.

Hatib Abdul Kadir, dosen di Prodi Antropologi, FIB, Universitas Brawijaya; co-Founder Perkumpulan Eutenika.