Indeks Pembangunan Manusia, tidak berbeda dari PDB, merupakan indeks defisit; indeks tersebut secara hierarkis memilah negara-negara ke dalam berbagai golongan, dan maka dari itu menciptakan asumsi bahwa hanya ada satu jenis evolusi sosial. Beginilah bagaimana cara berpikir ala pembangunan menguak rahasianya: dia hidup dari sistem kediktatoran perbandingan kuantitatif.
WOLFGANG SACHS
“Ide tentang pembangunan mirip seperti reruntuhan dalam lanskap intelektual.” Begitulah kami menulis dalam Pengantar buku Development Dictionary sekitar dua puluh lima tahun lalu (1993). Senang dan agak naif, sembari duduk di beranda rumah Barbara Duden di dekat Pennsylvania State University pada musim gugur 1988, kami memproklamirkan berakhirnya “era pembangunan”. Ditemani pasta, anggur merah, dan onion rings; di antara kantong tidur, satu atau dua komputer pribadi serta tumpukan buku, kami mulai membuat rancangan buku saku yang akan mengekspos ide tentang pembangunan.
Mari kita segarkan ingatan: pada paruh kedua abad ke-20, gagasan tentang pembangunan memiliki pengaruh yang amat kuat layaknya sesosok penguasa yang mengendalikan banyak negara. Pembangunan adalah program geopolitik era pasca-kolonial. Karena kami semua, yakni tujuh belas penulis yang berasal dari empat benua, dibesarkan dengan konsep pembangunan, kami ingin membersihkan diri dari keyakinan yang sangat melekat pada para pendahulu kami, yang berasal dari era pasca-perang. Kami paham bahwa konsep pembangunan telah memberi jalan bagi kekuasaan imperial Barat atas dunia. Selain itu, kami dapat merasakan—lebih dari kami mengetahui—bahwa pembangunan pada akhirnya mengantarkan kami ke sebuah kuldesak, konsekuensi yang akan menghantam kami dalam bentuk ketidakadilan, kekacauan budaya, dan kemerosotan ekologis.
Singkat kata, kami menyadari bahwa ide pembangunan telah mengambil jalan yang bisa dikatakan lazim dalam sejarah ide-ide: apa yang pada awalnya merupakan inovasi sejarah lambat laun berubah menjadi sebuah konvensi, sesuatu yang akan berujung pada rasa frustrasi yang awam. Mentor penyemangat kami, Ivan Illich, yang berada di tengah-tengah kami ketika itu, berkomentar bahwa ide tersebut betul-betul serasi dengan gagasannya tentang arkeologi modernitas—gagasan yang sedang direncanakannya untuk ditulis. Pada saat itu pun ia berpendapat bahwa harus ada pembahasan mengenai pembangunan yang disampaikan seperti layaknya sebuah obituari.
Kilas Balik
Kapan era pembangunan dimulai? Dalam Development Dictionary, kami mengidentifikasi Presiden Harry S. Truman sebagai biang keroknya. Pada 20 Januari 1949, dalam pidato pelantikannya, dia mengatakan bahwa lebih dari separuh populasi dunia berasal dari “wilayah yang terbelakang”. Itulah untuk kali pertama istilah “terbelakang” (underdeveloped), yang kemudian menjadi istilah kunci untuk menjustifikasi kekuasaan, baik secara nasional maupun internasional, diumumkan dari panggung politik utama. Pidato tersebut merupakan gong pembuka era pembangunan—suatu periode sejarah dunia, yang menjadi penerus era kolonial, hanya untuk digantikan oleh epos globalisasi sekitar empat puluh tahun kemudian. Sekarang, terlihat jelas bahwa era globalisasi bisa saja digantikan oleh era nasionalisme populis.
Apa saja yang tercakup dalam ide pembangunan? Kita harus mempertimbangkan empat aspek. Dari segi kronologi politik, semua bangsa tampaknya menuju ke arah yang sama. Waktu yang dibayangkan bersifat linier, hanya bergerak ke depan dan ke belakang; tapi tujuan dari perkembangan teknis dan ekonominya bergerak dengan cepat. Dari segi geopolitik, para pemimpin jalur ini, yakni bangsa-bangsa maju, menunjukkan pada bangsa-bangsa yang tengah berjuang ke mana jalan yang harus ditempuh. Beraneka ragam orang di dunia ini kini ditandai dengan peringkat sederhana sebagai bangsa kaya dan miskin.
Dari segi sosial politik, pembangunan sebuah bangsa diukur melalui kinerja ekonomi, berdasar pada produk domestik bruto. Masyarakat yang baru saja keluar dari genggaman penguasa kolonial diharuskan untuk menempa diri dalam momongan “ekonomi”. Pada akhirnya, para aktor utama yang mendorong pembangunan adalah para ahli dari sektor pemerintah, bank multinasional, dan perusahaan. Sebelumnya, pada masa Marx atau Schumpeter, pembangunan digunakan sebagai subjek intransitif, layaknya bunga yang hendak mekar. Sekarang istilah tersebut digunakan secara transitif, merujuk pada penataan ulang tatanan masyarakat yang dilakukan secara aktif, yang harus dituntaskan dalam hitungan dekade, jika bukan tahun.
Ketika kami siap menyanyikan lagu selamat tinggal pada era pembangunan, sejarah dunia tidaklah demikian. Sebaliknya, gagasan mengenai pembangunan mendapatkan sokongan lebih lanjut. Pada November 1989, ketika draf pertama buku Development Dictionary baru saja beres, Tembok Berlin runtuh. Perang Dingin selesai dan epos globalisasi pun dimulai. Gerbang bagi kekuatan pasar transnasional untuk menjamah sudut-sudut Bumi yang paling terpelosok pun terbuka lebar. Negara-negara menjadi keropos; ekonomi dan budaya semakin dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan global. Pembangunan, yang sebelumnya merupakan tugas (wilayah kekuasaan) negara, sekarang dibuat tidak lagi mengidahkan wilayah kekuasaan (de-territorialized).
Perusahaan transnasional bertebaran dan gaya hidup di setiap benua menjadi serupa satu dengan yang lain: SUV menggantikan becak; telepon seluler meniadakan pertemuan komunitas; pengatur suhu udara menghapuskan waktu yang diperuntukkan untuk tidur siang. Globalisasi dapat dipahami sebagai pembangunan tanpa negara. Kelas menengah global—baik kulit hitam atau putih, kulit kuning maupun coklat—mengambil manfaat yang paling besar. Mereka berbelanja di mal-mal yang sama, membeli barang-barang elektronik berteknologi tinggi, serta menonton film dan serial televisi yang sama. Sebagai turis, mereka dengan leluasa menghamburkan uang, suatu medium mutlak yang menyatukan mereka semua. Secara hitungan kasar, pada 2010, komposisinya sudah separuh-separuh: separuh dari kelas menengah global tinggal di Dunia Utara dan selebihnya di Dunia Selatan. Tak diragukan lagi, hal ini merupakan keberhasilan besar dari “cara berpikir ala pembangunan”; namun begitu, hal ini adalah sebuah kegagalan yang tinggal menunggu waktu.
Keruntuhan
“Pembangunan” adalah sebuah kata bersifat plastik, sebuah istilah kosong dengan signifikansi positif. Namun, kata tersebut berhasil mempertahankan statusnya sebagai sebuah perspektif, karena kata tersebut disisipkan dalam jaringan internasional berbagai lembaga, mulai dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) sampai organisasi nonpemerintah (ornop). Terlebih lagi, miliaran orang juga sudah menggunakan “hak mereka atas pembangunan”, sebagaimana tercantum dalam resolusi Sidang Paripurna UN pada 1986. Kami, para penulis Development Dictionary, saat itu tak sabar untuk memproklamirkan berakhirnya era pembangunan; kami tidak mengantisipasi bahwa koma politik tersebut akan berlangsung selama puluhan tahun. Tetapi, kami tetap saja benar—meskipun rentetan kejadiannya berbeda dari perkiraan kami sebelumnya.
Runtuhnya ide pembangunan kini tampak nyata dalam program Agenda UN 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Masa ketika pembangunan diartikan sebagai “janji” telah lama berlalu. Dahulu, subyek pembicaraan dalam gagasan pembangunan adalah bangsa-bangsa muda yang bergairah untuk bergerak mengikuti jalur kemajuan. Wacana pembangunan memang memberikan janji sejarah yang monumental: bahwa pada akhirnya semua masyarakat akan mengakhiri kesenjangan antara mereka dengan yang kaya dan menikmati hasil dari peradaban industrial. Era tersebut telah berakhir: kehidupan sehari-hari kini lebih sering menjadi upaya bertahan hidup, bukan kemajuan.
Meski politik perlawanan terhadap kemiskinan telah berhasil di beberapa tempat, harga yang harus dibayar adalah ketimpangan yang makin besar di mana-mana; dan kerusakan lingkungan yang tak dapat diperbaiki. Belum lagi pemanasan global dan penyusutan keanekaragaman hayati yang membuat kita ragu pada kepercayaan yang menyatakan bahwa bangsa-bangsa maju adalah puncak dari evolusi sosial. Sebaliknya, apa yang tadinya dianggap sebagai kemajuan sekarang terungkap sebagai kemunduran, karena logika kapitalistik Dunia Utara memang mengharuskannya mengeksploitasi alam. Dari buku Limits to Growth yang diterbitkan pada tahun 1972 hingga Planetary Boundaries pada tahun 2009, analisis yang disuguhkan jelas: pembangunan-sebagai-pertumbuhan akan mengantarkan kita pada ketidakberlanjutan (unsustainability) planet Bumi bagi manusia. TPB, yang di dalamnya memuat kata ‘pembangunan’, merupakan pengelabuan secara semantik. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mestinya diganti menjadi Tujuan Bertahan Hidup Berkelanjutan.
Geopolitik pembangunan juga telah porak-poranda. Apa yang terjadi pada dorongan imperatif untuk “mengejar ketertinggalan”—sesuatu yang sangat mendasar dalam gagasan mengenai pembangunan? Di sini ada gunanya mengutip potongan teks dari dokumen yang mengumumkan tentang TPB: “Ini adalah Agenda yang cakupan dan nilai pentingnya tak terbayangkan sebelumnya … Ini adalah tujuan dan target universal yang mencakup dunia secara keseluruhan, baik negara maju maupun berkembang”. Tidak ada cara yang lebih gamblang untuk menyatakan bahwa sebuah pergeseran pemikiran telah terjadi: “geopolitik pembangunan”, yang selama ini mendasari pemikiran bahwa bangsa-bangsa industrial selayaknya menjadi panutan bagi negara-negara miskin, telah disingkirkan. Seperti halnya Perang Dingin yang mulai berakhir pada 1989, mitos mengenai mengejar ketertinggalan pun menguap pada 2015. Jarang sekali sebuah mitos dikubur sedemikian senyap.
Apa artinya pembangunan jika tidak ada satu pun negara yang mengalami “pembangunan yang berkelanjutan” (sustainably developed)? Di luar itu, geografi ekonomi di tingkat dunia telah berubah. Dari segi geopolitik, melesatnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Bumi sangatlah spektakuler. Kekuatan ekonomi dari tujuh negara industri baru terdepan saat ini lebih besar daripada ekonomi negara-negara industri tradisional, meski G-7 tetap berlagak sebagai hegemon. Globalisasi nyaris membuyarkan skema Utara-Selatan yang sebelumnya terbentuk.
Terlebih lagi, pembangunan adalah sebuah konstruksi statistik. Tanpa adanya angka-angka sakti berupa Produk Domestik Bruto (PDB), peringkat bangsa-bangsa di dunia ini tak mungkin diciptakan. Membandingkan pendapatan adalah inti dari cara berpikir ala pembangunan. Hanya dengan cara inilah kemiskinan atau kesejahteraan relatif dari sebuah negara dapat ditentukan. Namun, sejak 1970-an, muncul dikotomi dalam wacana pembangunan di mana ide pembangunan-sebagai-pertumbuhan disandingkan dengan ide pembangunan-sebagai-kebijakan sosial. Lembaga-lembaga seperti World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO) terus-menerus mengusung ide pembangunan-sebagai-pertumbuhan, sementara United Nations Development Programme (UNDP), United Nations Environment Programme (UNEP), dan sebagian besar ornop menekankan pada ide pembangunan-sebagai-kebijakan sosial. Karena itu, makna dari istilah ‘pembangunan’ melebar kemana-mana. TPB muncul dari tradisi semacam ini.
Pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjadi tujuan, tapi sifat reduksionisme dari cara berpikir ala pembangunan tidak hilang sedemikian mudahnya. Tidak lagi berpatokan pada angka-angka PDB, kita sekarang memiliki indikator-indikator sosial—nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan—untuk memetakan kinerja sebuah negara. Data tersebut memungkinkan dilakukannya perbandingan, dan perbandingan ini mengkonstruksi defisit berdasarkan linimasa, sama seperti ketika membandingkan kelompok dan bangsa yang berbeda-beda. Mengurangi defisit di dunia telah menjadi tujuan pembangunan selama tujuh puluh tahun terakhir. Dalam hal ini, Indeks Pembangunan Manusia, tidak berbeda dari PDB, merupakan indeks defisit; indeks tersebut secara hierarkis memilah negara-negara ke dalam berbagai golongan, dan maka dari itu menciptakan asumsi bahwa hanya ada satu jenis evolusi sosial. Beginilah bagaimana cara berpikir ala pembangunan menguak rahasianya: dia hidup dari sistem kediktatoran perbandingan kuantitatif.
Harapan
Pada tahun yang sama ketika Development Dictionary terbit, muncul buku lain yang masyhur: The End of History karya Francis Fukuyama. Ini menandai atmosfer pada masa itu: kedigdayaan Barat dengan demokrasi dan kondisi hidup mereka yang terindustrialisasi. Dua puluh lima tahun kemudian, pada 2018, tak satu pun dari harapan-harapan itu terwujud. Sebaliknya, ketidakteraturan, bahkan kekacau-balauan, merajalela; ketakutan dan kemarahan meluas hingga berkebalikan tajam dengan kedigdayaan Barat pada 1990-an. Jika kita mesti mencari kata untuk menggambarkan atmosfer di Dunia Utara serta beberapa bagian dari Dunia Selatan saat ini, mungkin kata tersebut adalah: ketakutan akan masa depan; sebuah ketakutan akan peluang hidup yang semakin menciut serta ketakutan bahwa anak-anak dan cucu-cucu kita kelak tidak sejahtera. Rasa waswas menyebar di antara kelas menengah global bahwa berbagai ekspektasi yang disulut oleh pembangunan tak akan dapat terpenuhi. Inilah takdir yang dialami sedemikian banyak orang, dan bukan hanya di negara-negara miskin: teralienasi dari tradisi sendiri, sadar akan gaya hidup Barat berkat adanya telepon pintar, tapi terkucilkan dari dunia modern. Karena itu, gegar budaya dan krisis ekologis memicu ketakutan akan masa depan.
Dalam hal ini, zaman modern yang ekspansif telah mengalami kebuntuan dan inilah waktu yang tepat untuk keluar. Secara ringkas, tiga narasi dapat diidentifikasi untuk merespons ketakutan akan masa depan: narasi tentang “benteng”, “globalisme”, dan “solidaritas”. “Cara berpikir seperti benteng” yang terekspresikan melalui neo-nasionalisme membangkitkan kejayaan orang-orang khayalan di masa lalu. Para pemimpin otoriter di Bumi Utara mengusung kembali rasa kebanggaan; sementara yang lain dikambinghitamkan, mulai dari kaum Muslim hingga UN. Hal ini membimbing kita ke kebencian pada orang asing, kadang dilengkapi dengan fundamentalisme agama. Sebentuk “chauvinisme kemakmuran” menyebar luas, khususnya di antara kelas menengah baru yang merasa perlu menjaga barang-barang miliknya dari serangan kaum miskin.
Sebaliknya, dalam “globalisme”, kita mendapati potret planet ini sebagai simbol arketipal. Para globalis tidak mempromosikan merkantilisme benteng semacam “America first”, melainkan dunia perdagangan bebas yang idealnya diregulasi, yang bertujuan untuk mengantarkan kesejahteraan dan kemakmuran kepada korporasi dan konsumen di mana pun berada. Mungkin saja kaum liberal elit yang semakin terglobalisasi juga merasakan ketakutan akan masa depan, tapi kesulitan-kesulitan yang mereka alami agaknya bisa diatasi dengan “pertumbuhan yang inklusif dan hijau” serta berbagai teknologi pintar.
Lain halnya dengan narasi ketiga, yakni “solidaritas”. Ketakutan akan masa depan mengundang tindakan perlawanan terhadap mereka yang berkuasa, mereka yang menjamin keberlangsungan masyarakat yang berwatak “setiap-orang-untuk-dirinya-sendiri” dan keberlangsungan hasrat kapitalis atas laba. Sebaliknya, hak asasi manusia–baik kolektif maupun individual—serta prinsip-prinsip ekologis dihargai; kekuatan pasar bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan cara untuk mencapai suatu tujuan. Sebagaimana terungkap dalam slogan “berpikir global, bertindak lokal”, lokalisme kosmopolitan harus dipelihara, sedangkan politik lokal harus juga mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Ini berarti keluar secara bertahap dari cara hidup imperial yang dituntut oleh peradaban industrial, dan mendefinisikan ulang bentuk-bentuk kemakmuran yang sederhana. Seperti yang dikatakan Paus Francis, yang saat ini merupakan salah satu penyiar kabar mengenai solidaritas paling penting dengan surat ensikliknya, Laudato Si’:
Kita tahu betapa tak berkelanjutannya perilaku mereka yang secara ajek mengonsumsi dan merusak, sementara orang lain belum bisa hidup layak sesuai dengan harga diri mereka sebagai manusia. Karena itu, sudah saatnya kita menerima degrowth (kebalikan dari pertumbuhan ekonomi) di beberapa bagian dunia ini, dengan tujuan memberi sumber daya kepada tempat-tempat lain sehingga tempat-tempat tersebut bisa mengalami pertumbuhan yang sehat (§193 Laudato Si’).
Saya merasa bahwa Kamus Pasca-Pembangunan ini mengakar secara kuat pada narasi solidaritas. Seratusan entri yang ada di sini menggambarkan banyaknya jalan ke arah transformasi sosial yang mengutamakan empati baik antar sesama manusia dan dengan non-manusia . Visi ini sangatlah berlawanan dengan nasionalisme xenofobik dan globalisme teknokratik. Sungguh sesuatu yang membesarkan hati melihat teori dan praktik solidaritas–sebagaimana dapat disaksikan dari beragamnya asal wilayah geografis para penulis Kamus Pasca-Pembangunan ini–telah menjangkau seluruh penjuru dunia.
Diterjemahkan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris oleh Ulrich Oslender
Bacaan lanjutan
Paus Fransiscus (2015) Laudato Si’: On Care for Our Common Home. http://w2.vatican.va/content/francesco/en/encyclicals/documents/papafrancesco_20150524_enciclica-laudato-si.html.
Illich, Ivan (1993) Tools for Conviviality. New York: Harper & Row.
Mishra, Pankaj (2017) Age of Anger: A History of the Present. London: Allen Lane.
Raskin, Paul (2016) Journey to Earthland: The Great Transition to Planetary Civilization. Cambridge: Tellus Institute.
Sachs, Wolfgang (ed.) (2010 [1992]) The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London dan New York: Zed Books.
Speich-Chassè, Daniel (2013) Die Erfindung des Bruttosozialprodukts: Globale Ungleichheit in der Wissensgeschichte der Ökonomie. Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht.

Wolfgang Sachs, penyunting buku The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power (1992); peneliti senior di Wuppertal Institute for Climate, Environment and Energy, Jerman.
Artikel ini diterjemahkan dari bab berjudul “Foreword: The Development Dictionary Revisited” yang dimuat dalam buku Pluriverse: A Post-Development Dictionary (Editor: Ashish Kothari, Ariel Salleh, Arturo Escobar, Federico Demaria, dan Alberto Acosta) Tulika Books, 2019.
Artikel ini diterjemahkan oleh Lubabun Ni’am dan disunting oleh Intan Suwandi.