Sebagian besar dunia berjalan tanpa ingatan, seolah-olah ruang yang kita huni adalah geografi yang kosong, dan karenanya tersedia untuk konsumsi dan pembangunan. Biaya lingkungan dan spiritual manusia dari pelupaan kolektif ini terbukti dalam penghapusan budaya, melalui eksploitasi berlebihan atas karunia bumi, dan melalui kecerobohan yang dianggap sebagai pilihan bebas dalam masyarakat kita yang konsumtif.
KARIN AMIMOTO INGERSOLL
Masyarakat bahari memiliki pengetahuan dan cara hidup spesifik yang menawarkan perspektif unik untuk membahas pembangunan. Penduduk asli Hawaii kontemporer, misalnya, memiliki pengetahuan navigasi non-instrumental tentang samudra, angin, pasang surut, arus, pasir, rumput laut, ikan, burung-burung, dan benda-benda langit sebagai sebuah sistem yang saling terhubung yang memungkinkan cara yang khas untuk bergerak di dunia. Dalam literasi bahari ini, tubuh dan bentang laut berinteraksi dalam sebuah wacana yang kompleks saat mata, telinga, otot, dan kulit seorang navigator membaca gerak lautan melalui hubungan yang dinamis dan murni dengan ruang dan tempat. Literasi bahari menciptakan sebuah politik dan etika yang mengutamakan keterhubungan sebagai alternatif dari narasi besar dunia pemikiran Barat yang menjaga “diri” kita terpisah dari darat dan laut, bepergian mengarungi samudra alih-alih melakukan perjalanan di dalamnya.
Literasi dan ontologi bahari ini dapat diilustrasikan dengan pelayaran Hōkūleʻa, kano berlambung ganda sepanjang 62 kaki, melintasi ribuan mil samudra terbuka.[i] Navigator asli Hawaii, Bruce Blankenfeld, harus memperluas rasa “diri”-nya untuk membaca bentang laut yang cair di sekelilingnya. “Bintang-bintang itu harus menjadi bagian dari dirimu,” ungkapnya.[ii] Blankenfeld menjadi subjek estetika yang pergerakannya di lautan mengartikulasikan sebuah ontologi dan epistemologi Hawaii melalui rangsangan indera: penglihatan, penciuman, perasa, pendengaran, dan sentuhan. Tubuh kinestetik termasuk dalam literasi bahari melalui keterlibatan aktif, dan “tempat” mendapatkan makna yang terkait dengan identitas asli, yang memiliki asal-usul di laut yang selalu berubah.[iii] Blankenfeld membayangkan keberadaannya sebagai bagian dari polip koral dan hiu pasir di bawah kanonya. Angin utara yang dingin berhembus di wajahnya dan dentuman ritmis ombak yang bergulung di telinganya menghubungkan pikiran dan tubuhnya pada sebuah identitas yang dalam yang tertambat pada rasa memiliki.
Memahami diri sendiri sebagai bagian yang terkait dengan dunia sekitar memupuk kesadaran spiritual yang mendalam yang dapat membawa sukacita dan pemberdayaan sekaligus—kekuatan yang didefinisikan melalui hubungan dan tujuan. Contohnya, Blankenfeld bisa “melihat” pulau tujuannya “sebelum” dia berangkat berlayar. Dia merasakan pulau itu di dalam tulang dan darahnya, sehingga dia menjadi bagian dari ekspresi tubuhnya saat melakukan perjalanan ke sana. Penglihatan menjadi menubuh:kaki, hidung, dan mata semua memiliki cara pandang tertentu, yang kemudian membangkitkan emosi yang terbakar ke dalam otot dan ditafsirkan oleh pikiran. Interaksi konstan antara tubuh dan pikiran ini menghasilkan konteks epistemologis dan ontologis yang spesifik.
Melihat dengan demikian menjadi sebuah proses politik: seiring penglihatan navigator meluas melalui literasi bahari, demikian pula kemampuan untuk berpikir melampaui pola pikir yang statis dan realitas yang tunggal. Blankenfeld menemukan arahnya dengan memperluas pandangannya ke dalam imajinasinya, dari sanalah dia dengan sengaja menciptakan sebuah rute perjalanan. Jika dia tidak membayangkan rute ini, maka rute tersebut tidak akan pernah ada. Jika kita tidak membayangkan hubungan kita dengan bumi, maka hubungan tersebut juga tidak akan pernah ada. Dengan cara ini, literasi bahari memungkinkan sebuah perjalanan dalam sirkulasi kekuatan baru yang etis daripada politis, geografis, atau ekonomis.
Meleburkan tubuh dengan bentang laut memungkinkan pembacaan atas seluruh ingatan dan pengetahuan yang dipelajari dalam ruang dan waktu bahari, tetapi yang telah terhapus oleh konstruksi kolonial yang kaku atas identitas, tempat, dan kekuasaan. Nama-nama tempat di Hawaii, baik di darat maupun di laut, telah dinamai ulang sebagai akibat dari kolonisasi. Pantai Kaluahole di pantai selatan O’ahu, misalnya, kini dikenal sebagai Tonggs atau Pantai Diamond Head,[iv] dari nama pengusaha Tongg yang membeli rumah di tepi pantai di lokasi selancar yang kini terkenal itu. Namun, ruang bahari ini dinamai Kaluahole oleh penduduk asli Hawaii karena sejarah lisan menceritakan keberadaan sebuah gua yang diisi oleh Ai’ai, putra dewa nelayan Hawaii, dengan ikan aholehole di lepas pantai ini. Pengetahuan tentang gua penangkapan ikan yang spesifik ini dan signifikansi kultural tempat ini adalah bagian dari apa yang dapat muncul kembali melalui keterlibatan dengan literasi bahari.
Sebagian besar dunia berjalan tanpa ingatan, seolah-olah ruang yang kita huni adalah geografi yang kosong, dan karenanya tersedia untuk konsumsi dan pembangunan. Biaya lingkungan dan spiritual manusia dari pelupaan kolektif ini terbukti dalam penghapusan budaya, melalui eksploitasi berlebihan atas karunia bumi, dan melalui kecerobohan yang dianggap sebagai pilihan bebas dalam masyarakat kita yang konsumtif. Dalam realitas modern kita yang sarat dengan kapitalisme, militerisme, dan pembangunan yang menantang secara ekologis, literasi bahari menjadi sebuah hubungan etis yang sarat dengan dalam kesadaran seluler dan spiritual tentang hubungan intim kita dengan tempat. Kemanusiaan ditemukan di dalam lautan. Pelayaran penduduk asli Hawaii memupuk sebuah cara mengada dan bergerak yang berpotensi membangkitkan kembali kesadaran ini, yang dapat membawa kita melampaui “lingkunganisme” atau “konservasi”, menuju hubungan hidup yang penuh belas kasih dan timbal balik. Mengakui dan menata ulang imaji hubungan kita dapat mengubah cara kita bergerak bersama di dunia ini.
Bacaan lanjutan
Paus FClark, John. (1977), The Beaches of O‘ahu. Honolulu: University of Hawaii Press.
Finney, Ben (1994), Voyage of Rediscovery. Berkeley: University of California Press.
Ingersoll, Karin Amimoto (2016), Waves of Knowing: A Seascape Epistemology. Durham: Duke University Press.
Lewis, David (1994), We, The Navigators: The Ancient Art of Landfinding in the Pacific. Honolulu: University of Hawaii Press.
Sullivan, Robert (1999), Star Waka. Chicago: Independent Publishers Group.
Catatan:
[i] Hōkūleʻa pertama kali dicetuskan pada 1973 oleh para pelaut asli Hawaii Herb Kawainui Kane dan Tommy Holmes, serta antropolog Ben Finney, sebagai suatu cara untuk membuktikan bahwa masyarakat Kepulauan Pasifik mampu melakukan perjalanan melintasi jarak yang sangat jauh lebih dari 800 tahun lalu, dengan sengaja menduduki pulau-pulau di Segitiga Polinesia, dan menemukan jalan pulang hanya dengan menggunakan metode navigasi laut. Pada tahun 1976, pelayaran laut dalam pertama Hōkūleʻa dari Hawaii ke Tahiti berhasil. Untuk sejarah lengkap Hōkūleʻa, lihat buku Finney (1994).
[ii] Wawancara oleh penulis, 20 Maret 2008, Honolulu, Hawaii.
[iii] Kisah penciptaan Hawaii yang paling utama adalah sebuah nyanyian berjudul He Kumulipo, yang digubah oleh seorang pendeta asli Hawaii sekitar abad kedelapan belas. Nyanyian ini menceritakan bahwa kegelapan secara spontan melahirkan seorang putra dan seorang putri, yang pada gilirannya melahirkan karang di laut, dan banyak mahluk lain menyusul—pertama di laut dan kemudian di darat. Dengan demikian, asal-usul orang Hawaii berada di lautan.
[iv] “Diamond Head” adalah nama yang diberikan pada kawah tersebut pada 1825 oleh pelaut Inggris yang menjelajahi gunung itu ketika mereka mengira telah menemukan berlian, yang sebenarnya adalah kristal kalsit. Orang asli Hawaii menamai gunung berapi yang kini sudah punah itu Le’ahi atau Lae’ahi; makna asli nama tersebut tidak pasti sehingga ejaannya pun tidak pernah disepakati. Untuk informasi lebih lanjut tentang Pantai Kaluahole dan nama-nama tempat di Hawaii, lihat buku John R.K. Clark, The Beaches of O’ahu (1977).

Karin Amimoto Ingersoll adalah seorang penulis dan akademisi independen dari O’ahu, Hawaii. Dia meraih gelar BA dari Brown University, gelar MA dan PhD dari University of Hawaii at Månoa, dan pernah mendapatkan Hawaii-Mellon Postdoctoral Fellow. Dia baru-baru ini menerbitkan buku pertamanya, Waves of Knowing: A Seascape Epistemology (Gelombang Pengetahuan: Sebuah Epistemologi Lanskap Bahari).
Artikel ini diterjemahkan dari bab berjudul “Sea Ontology” yang dimuat dalam buku Pluriverse: A Post-Development Dictionary (Editor: Ashish Kothari, Ariel Salleh, Arturo Escobar, Federico Demaria, dan Alberto Acosta) Tulika Books, 2019.
Artikel ini diterjemahkan oleh Lingga Danu Febrinilla dan disunting oleh Anton Novenanto.