Jimat dan Lelucon Covid-19

Jimat bukanlah lelucon. Lelucon yang sebenarnya justru dimunculkan oleh pejabat dan tokoh masyarakat kita.

LUTFI AMIRUDDIN

Saya hanya bisa tertawa ketika adik saya mengirim foto melalui aplikasi perpesanan pada 18 Maret 2020 lalu. Foto itu adalah foto lengan seseorang yang tersematkan sebuah gelang. Di bawah foto itu, adik saya berkomentar: “Jare gawe nolak balak. Wkwkwkwk” [Katanya untuk menolak petaka. Wkwkwkwk].

Lengan dengan gelang jimat.
(Foto: I. D. Maslakhah)

Pada saat itu, orang-orang di desa asal saya di Jombang, Jawa Timur sedang beramai-ramai memakai “gelang jimat”. Gelang itu terbuat dari anyaman daun janur, ada pula yang berasal dari anyaman gedebog pohon pisang, yang dirangkai sedemikian rupa dan telah diberi doa oleh kyai pondok pesantren. Bahan untuk jimat ini berbeda-beda bergantung pada pondok pesantren dan kyai mana yang memberikan. Konon, gelang ini berfungsi untuk menolak segala macam musibah, termasuk wabah virus korona.

Awalnya, saya tidak menganggap “gelang jimat” itu ada sangkut-paut dengan penanggulangan Covid-19. Saya bahkan menertawakan tetangga-tetangga dan saudara-saudara saya yang memakai jimat itu. Saya menganggapnya sebagai lelucon di tengah pandemi Covid-19. Tetapi menertawakan praktik sosial semacam itu justru tidak menyelesaikan masalah. Beberapa hari setelah obrolan kami di aplikasi perpesanan itu, saya mulai mencari tahu, mengapa orang-orang desa beramai-ramai menggunakan jimat? Mengapa harus jimat? Apa latar pengetahuan yang mereka pahami terkait pandemi ini?

Pagebluk sebagai Memori Kolektif

Berbeda dengan pandangan romantis tentang desa-desa di Jawa pada umumnya, penduduk di desa asal saya tidak mengandalkan ekonomi dari sektor pertanian, melainkan perdagangan. Kami memiliki pasar desa yang selalu ramai tiap pagi. Tak hanya pedagang, banyak pula petani dari desa sekitar yang menjual hasil kebunnya ke pasar desa itu. Lokasi desa berada persis di pinggir jalan provinsi yang menghubungkan Kabupaten Jombang dengan ibukota provinsi, Surabaya, menjadikan pasar itu berada dalam wilayah penyangga penting bagi wilayah-wilayah sekitarnya. Setiap tiap pagi buta, saya bisa melihat para buruh pabrik atau industri lainnya berangkat dari Jombang menuju ke wilayah Surabaya, Mojokerto dan Sidoarjo menggunakan sepeda motor. Mereka adalah para pekerja yang melaju setiap hari. Berangkat pagi dan pulang sore. Desa ini menjadi titik simpul ekonomi, baik ekonomi non-formal maupun para pekerja formal yang menglaju setiap hari.

Setelah saya menelusuri usul-asal gelang jimat itu, saya mendapati bahwa orang-orang di desa saya sedang mengingat apa yang pernah terjadi bertahun-tahun lalu. Mereka mengingat kejadian pagebluk (wabah) yang pernah dialami orangtua mereka. Ingatan itu mengarah pada wabah sampar (pes) yang melanda Jawa Timur sekitar 1911. Penyakit ini menular melalui gigitan tikus yang membawa bakteri Yersinia pestis yang menyebar ketika diberlakukannya impor beras oleh Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu.

Warga yang terkena penyakit ini memiliki gejala mirip flu, seperti demam, kejang, pendarahan, batuk darah, dan benjolan pada ketiak atau leher. Beras-beras yang berasal dari Burma, yang datang pertama kali di Pelabuhan Perak Surabaya, didistribusikan ke beberapa wilayah lain, seperti Turen, Malang, termasuk Blitar dan Tulungagung (Janti, t.thn.). Sepertinya, wilayah Jombang juga menjadi titik lokasi persebarannya.

Wabah sampar itu menjadi kejadian yang diingat warga desa. Kejadian ini menjadi rujukan, lalu menjadi memori kolektif warga. Untuk menangkalnya, diciptakanlah jimat yang telah didoakan. Jimat yang berupa gelang itu diyakini sebagai obat penangkal yang akan membebaskan masyarakat dari segala macam penyakit. Lalu, apakah gelang ini bisa menyembuhkan orang yang terkena wabah pes dan terinfeksi virus korona? Jelas tidak!

Meski tidak ada hubungannya dengan proses pencegahan dan penyembuhan pasien terinfeksi Covid-19, namun bagaimana warga desa memahami wabah dan pola penangannya merupakan bagian dari definisi lokal. Definisi lokal, bagi Ahimsa-Putra, merupakan definisi dari masyarakat setempat mengenai bahaya tertentu. Dari definisi ini, dapat diketahui lebih dalam pandangan masyarakat tentang hal yang dianggap ancaman bagi kehidupan mereka (Ahimsa-Putra, 2012, hal. 16).

Kebingungan di tengah Banjir Informasi

Sebelum orang-orang sibuk dengan jimat, beredar berita berisi pandangan pejabat publik dan tokoh masyarakat tentang virus ini. Kebanyakan berisi anjuran untuk tenang, tetapi banyak pula berisi penyangkalan yang justru menciptakan kebingungan-kebingungan di tengah warga desa. Misalnya, ajakan Menteri Kesehatan untuk “enjoy aja” dengan virus ini (Satria, 2020). Atau, pernyataan seorang menteri yang menyatakan bahwa orang Indonesia memiliki kekebalan tubuh yang tinggi karena sering makan nasi kucing sehingga terhindar dari infeksi virus korona (Saubani, 2020). Juga pernyataan salah satu tokoh agama tentang “tentara Allah” (Nafi’an, 2020). Munculnya berita tentang diskon tiket pesawat untuk memberikan insentif bagi industri pariwisata, meski waktu itu telah ditemukan dua orang pertama yang terinfeksi Covid-19 (CNN-Indonesia, 2020), nyatanya justru menciptakan kebingungan di tengah masyarakat.


Lalu apa hubungannya dengan jimat orang-orang desa ini? Ketika diterjang banjir, masyarakat akan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri. Tidak peduli hanya berpegang pada rumput kecil di bibir sungai, mereka harus mencari pegangan sebisa dan semampunya agar tak terseret arus. Pun demikian yang terjadi ketika terjadi banjir informasi. Masyarakat akan menafsirkan semampu dan sebisa mereka. Permasalahannya, tidak semua orang mampu memilah informasi yang tepat dan lalu menjadikannya sebagai petunjuk untuk menghadapi pandemi Covid-19.

Latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi memegang peranan penting dalam proses ini. Di lain pihak, informasi yang akurat, tidak mengandung hoaks dan disinformasi mampu menjadi petunjuk penting saat muncul ancaman kesehatan. Akan tetapi, perangai pejabat publik dan tokoh masyarakat lebih sibuk memberikan penyangkalan di awal pandemi, alih-alih memberikan petunjuk awal tentang virus, bagaimana cara penyebaran, dan bagaimana cara menghadapinya. Dari proses ini, pengetahuan mereka terbawa pada memori kolektif tentang bagaimana menghadapi pagebluk di masa lalu. Jimat kemudian dianggap sebagai solusinya.

Penggunaan jimat menjadi tafsir budaya atas wabah penyakit dan bagaimana cara melindungi diri dari pandemi Covid-19. Cara masyarakat desa asal saya memahami dan menghadapi pandemi Covid-19 mirip-mirip dengan penggambaran Huet tentang bagaimana masyarakat Eropa menghadapi Flu Spanyol. Huet menunjukkan bahwa kosakata “plague” merupakan gambaran dari penyebab suatu penyakit tertentu tetapi dianggap sebagai penyebab semua penyakit. Wabah juga dianggap sebagai pengingat kuat bahwa betapa rapuhnya kehidupan dan terbatasnya pengetahuan manusia (Huet, 2012, hal. 25). Dengan segala keterbatasan informasi yang ada, penggunaan jimat gelang berfungsi sebagai media yang memberikan ketenangan bagi warga desa dari ancaman yang tak kasatmata. Dengan mengenakan jimat, orang masih bisa tenang pergi ke pasar untuk berjualan dan berbelanja. Jimat ini menunjukkan bagaimana orang-orang desa ini mencari penjelasan atas apa yang terjadi sekaligus mencari jalan keselamatan bagi dirinya.

Ketika tulisan ini diselesaikan (akhir Juni), orang-orang di desa saya mulai menyadari bahwa gelang jimat saja tidak cukup. Sejak bulan April, dengan bergotong royong mereka membuat padasan, timba yang diberi lubang di bagian bawahnya, untuk kemudian diisi air dan ditutup di atasnya. Sabun cuci diletakkan bersanding dengan padasan itu. Padasan dipasang di depan tiap rumah, di depan masjid dan langgar, serta sudut-sudut pasar desa. Penggunaan masker ketika beraktivitas di luar rumah juga bukan hal yang asing lagi saat ini. Perilaku hidup bersih dan sehat, seperti mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun serta menggunakan masker, mulai dibiasakan.

Saya baru sadar, jimat bukanlah lelucon. Lelucon yang sebenarnya justru dimunculkan oleh pejabat dan tokoh masyarakat kita. (*)

Acuan Pustaka

Ahimsa-Putra, H. S. (2012). “Etnosains untuk Kajian Bencana, Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya.” Dalam A. I. Kuswanjono (ed), Respons Masyarakat Lokal atas Bencana (hal. 7-23). Yogyakarta: Mizan dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya.

CNN-Indonesia. (2020, Maret 2). Diambil dari: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200302155558-532-479794/dua-pasien-positif-corona-jokowi-tetap-diskon-tiket-pesawat

Huet, M.-H. (2012). The Culture of Disaster. Chicago: The University of Chicago Press.

Janti, N. (t.thn.). Diambil dari: https://historia.id/sains/articles/impor-beras-burma-sebabkan-wabah-pes-di-jawa-vgX1V

Nafi’an, M. I. (2020, Maret 1). Diambil dari: https://news.detik.com/berita/d-4920843/ustaz-somad-beri-penjelasan-soal-anggapan-virus-corona-tentara-allah

Satria, J. N. (2020, Januari 27). Diambil dari: https://news.detik.com/berita/d-4874858/minta-masyarakat-tak-panik-soal-penyebaran-virus-corona-menkes-enjoy-saja

Saubani, A. (2020, Februari 17). Diambil dari: https://republika.co.id/berita/q5ul4k409/kelakar-menhub-kita-kebal-corona-karena-doyan-nasi-kucing


Catatan ini merupakan bagian dari etnografi tambal-sulam dalam proyek penelitian “New Marginals, Old Marginals in the Age of COVID-19”. Bila Anda tertarik untuk bergabung, silakan kirim pesan ke info[a]eutenika.org.

Lutfi Amiruddin adalah dosen Prodi S1 Sosiologi, Universitas Brawijaya.

Leave a Reply