Menatap Layar di Rumah, Mempelajari Ketimpangan Pembangunan

Tuntutan melakukan perubahan mendadak membuka mata kita terhadap beragam fakta tentang pembangunan yang timpang. Sesuatu yang mungkin baru disadari dampaknya saat kita beralih dari tatap muka ke tatap layar.

LAILA AZKIA

Pandemi Covid-19 telah mengubah berbagai tatanan sosial. Tulisan ini mencoba menyoroti salah satu tatanan yang berubah itu, yaitu tatanan pendidikan dengan mengambil situasi di Kalimantan Selatan sebagai bahan refleksinya.

Covid-19 telah memaksa kita mengubah metode belajar-mengajar yang sebelumnya berlangsung secara konvensional atau “tatap muka” di ruang-ruang kelas berubah menjadi daring atau “tatap layar” di ruang-ruang maya. Tuntutan melakukan perubahan mendadak ini membuka mata kita terhadap beragam fakta tentang pembangunan yang timpang. Ketimpangan itu bukan hanya soal pembangunan sumberdaya manusia tapi juga soal infrastruktur, sarana dan prasarana, pendukung sistem pendidikan.

Pada masa pandemi, peserta didik di berbagai level pendidikan mulai dari pra sekolah sampai perguruan tinggi dituntut untuk siap dan mampu bertahan dengan mengikuti proses pendidikan dengan metode tatap layar. Metode daring tidak hanya membutuhkan alat bantu seperti komputer, laptop atau hape tetapi juga jaringan Internet yang kuat dan stabil.

Bagi mereka yang tinggal di desa persoalan menjadi lebih kompleks daripada sekedar kepemilikan terhadap alat bantu oleh semua keluarga tetapi juga aksesibilitas terhadap jaringan internet ke segala penjuru desa. Bahkan Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), kaget bahwa ternyata masih ada sejumlah daerah di Indonesia yang tidak hanya mengalami keterbatasan sinyal internet tapi juga bahkan masih ada yang belum dialiri listrik (Republika, Mei 2020).

Beberapa sekolah dan kampus di kota-kota besar mewajibkan murid dan mahasiswa untuk belajar secara daring di setiap jadwal pelajaran atau perkuliahan yang sudah ditentukan sebelumnya. Mereka bersama-sama mendengarkan penjelasan dari guru atau dosen tentang sebuah materi pelajaran tertentu. Diskusi kelompok bersama teman-teman satu kelas juga dilakukan secara virtual. Pembelajaran dibayangkan dapat berlangsung dengan aman dan nyaman di rumah masing-masing. Tugas bisa diberikan, dikerjakan dan dikirimkan sesuai batas waktu yang telah ditentukan.

Bayangan ideal semacam itu tidak berlaku di desa-desa di Kalimantan Selatan. Slogan pemerintah tentang kita tidak sedang libur, kita hanya diminta belajar di rumah tidak berlaku bagi murid-murid yang tinggal di daerah pinggiran.

Murid-murid sekolah dasar menganggap ini memang sedang libur sekolah. Mereka sama sekali tidak mendapatkan pelajaran daring atau tugas khusus dari guru. Sebuah SD di Desa Balawaian, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, misalnya, sama sekali tidak melaksanakan kegiatan pembelajaran daring. Di sebuah Madrasah Ibtidaiyah di Desa Dalam Pagar, Kabupaten Banjar, seluruh murid dari kelas 1 sampai 6 tidak mendapat pelajaran daring dari guru. Mereka benar-benar mendapat “libur sekolah”. Keterbatasan setiap keluarga memiliki alat bantu belajar daring dan keterbatasan kapasitas guru dalam mengelola materi ajar daring membuat model pembelajaran tatap layar tidak berlangsung semudah yang dibayangkan.

Untuk murid SMP, mendapat tugas setiap dua minggu sekali. Guru menjadwalkan kapan tugas akan diberikan dan kapan tugas akan dikumpul. Pilihan dua mingguan itu diambil karena murid-murid perlu menempuh perjalanan kurang lebih satu jam keluar dari desanya menuju tempat-tempat yang di sana mereka mendapatkan akses internet. Guru hanya memberi tugas dua minggu sekali. Dengan metode ini pun, hanya lima persen dari murid yang mengerjakan. Kebanyakan orangtua tidak mengizinkan anak-anaknya berjalan satu jam keluar dari desa di kala banjir informasi tentang pandemi yang menakutkan ini.

Untuk tingkat SMA yang letak sekolahnya sudah dekat kota membuat murid-muridnya jauh lebih baik dalam hal kepemilikan alat bantu pembelajaran daring dan juga akses internet karena tempat tinggal mereka dekat dengan kota. Walau begitu murid yang tempat tinggalnya jauh dari kota harus tetap berjalan satu jam menuju pusat-pusat akses internet pada Senin sampai Jumat untuk bisa terus mengikuti pembelajaran.

Bagaimana dengan mahasiswa? Beberapa mahasiswa memilih “terjebak” untuk terus tinggal di kost-kostan di dekat kampusnya agar tetap bisa mendapatkan akses internet yang lancar. Beberapa yang lain memilih “terjebak” di kampung halaman karena alasan ekonomi. Mahasiswa yang terjebak di kampung halaman membuat dosen harus sering mentolerir berbagai macam alasan yang ada. “Maaf, tadi di rumah mati lampu.” “Maaf, saya telat ngumpul tugas karena di sini hujan lebat sehingga saya tidak bisa jalan mencari sinyal.” “Maaf, kuota internet saya habis.” Dan masih banyak kalimat-kalimat maaf lainnya.

Belajar dari pengalaman belajar-mengajar di masa pandemi seperti di atas. Saya yang bekerja di dunia pendidikan merasakan betul bagaimana pemerataan pembangunan di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Sesuatu yang mungkin baru disadari dampaknya saat kita beralih dari tatap muka ke tatap layar. (*)


Catatan ini merupakan bagian dari etnografi tambal-sulam dalam proyek penelitian “New Marginals, Old Marginals in the Age of COVID-19”. Bila Anda tertarik untuk bergabung, silakan kirim pesan ke info[a]eutenika.org.

Laila Azkia adalah dosen Prodi Pendidikan Sosiologi & Antropologi, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Leave a Reply