Tenaga kesehatan menjadi garda terdepan melawan pandemi. Berita tentang para pejuang di garda depan yang gugur karena Covid-19 membawa ketakutan.
BASWARA YUA KRISTAMA, YUNI KURNIAWATY
Pemberitaan Covid-19 membuat masyarakat Indonesia menjadi resah. Informasi yang digelontorkan melalui media sosial maupun media massa menjadikan pandemi ini sebagai bencana baru. Tenaga kesehatan, mulai dokter, perawat, apoteker, rekam medis dan para pendukungnya menjadi garda terdepan melawan pandemi. Sayang, tidak semua rumah sakit yang menjadi rujukan penanganan Covid-19 siap menghadapi situasi ini.
Di awal masa pandemi, sebuah rumah sakit swasta rujukan Covid-19, misalnya, tenaga kesehatan yang bertugas di garda depan, di bagian instalasi gawat darurat (IGD) tidak dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD) yang laik. Pihak rumah sakit hanya membekali para perawat itu dengan sarung tangan dan masker medis. APD yang disarankan untuk tenaga kesehatan, seperti baju hazmat, face shield, hair cap, tidak pernah siap sejak awal. Memasuki bulan Juni, sudah mulai tampak fasilitas baju hazmat, face shield, hair cap, masker, sarung tangan bagi perawat yang berdinas di IGD.
Meskipun media menyampaikan sanjungan dan motivasi pada para tenaga medis tersebut untuk berjuang melawan Covid-19, tidak sedikit perawat bekerja dalam suasana ketakutan. Tidak ada jaminan bagi kesehatan mereka terlindung dari resiko penularan Covid-19. Lemahnya pemahaman masyarakat atas bahaya yang mungkin muncul mengakibatkan tenaga kesehatan berada dalam posisi rentan. Beberapa perawat bahkan menolak ditugaskan di ruang isolasi pasien Covid-19.
Bersamaan dengan itu, lembaga pendidikan keperawatan mengalami degradasi kepercayaan. Para orangtua yang menyekolahkan anaknya pada lembaga tersebut menyesalkan nasib anaknya pasca lulus. Seorang mahasiswi tingkat akhir D3 Keperawatan yang kami jumpai berada dalam situasi dilematis. Pada satu sisi, suasana hati sangat senang karena telah menyelesaikan tugas akhir; namun, pada sisi lain, tampak kegelisahan dalam raut wajahnya.
Si mahasiswi adalah salah satu lulusan berprestasi. Dia memiliki kemampuan kognitif di atas rata rata teman-temannya se-angkatannya. Dia masuk dalam lima besar murid terbaik. Dia menyampaikan beberapa kendala yang dihadapinya untuk bisa bekerja di sebuah rumah sakit yang sudah dikenal bagus dalam hal kualitas dan jaminan pekerjaan. Kendala justru datang dari orangtua mahasiswa. Dia bercerita, ibunya tidak mengizinkannya untuk menerima tawaran pekerjaan dari rumah sakit tersebut. Alasan yang dilontarkan, sang ibu belum siap memasukkan anaknya masuk ke “gua singa” saat masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Ceritanya itu cukup mengejutkan kami. Perlu diketahui bahwa dalam situasi normal beberapa lulusan vokasi keperawatan (D3) mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Rumah sakit cenderung membuka lowongan pekerjaan pada lulusan sarjana keperawatan (S1). Selain itu, muncul peraturan baru dari pemerintah terkait uji kompetensi bagi perawat. Lulusan pendidikan keperawatan hanya bisa bekerja bila mereka sudah dinyatakan lulus uji sertifikasi kompetensi nasional dan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai perawat.
Memasuki tahun pandemi ini ada kabar baik bagi alumni dan mahasiswa D3 keperawatan. Salah satu rumah sakit bereputasi di Surabaya membuka peluang kerja bagi mereka, bahkan pada saat mereka belum benar-benar lulus. Namun, tidak semua alumni menyambut dengan baik kesempatan itu, bahkan mereka yang berprestasi sekalipun. Ditambah lagi, orangtua memiliki cara pandang berbeda mengenai kesempatan emas bagi anaknya untuk bisa tetap bekerja dan berkarir di masa pandemi ini.
Sejenak kami terhenyak mendengar situasi yang bahkan tidak pernah kami pikirkan itu. Pada satu sisi, banyak berita tentang para pejuang Covid-19 di garda terdepan. Salah satunya adalah perawat terpapar Covid-19, bahkan ada yang gugur karena Covid-19. Hal itu membawa ketakutan luar biasa. Informasi yang kami dapatkan terkait gugurnya dua perawat di Surabaya beberapa waktu lalu adalah justru mereka yang tidak secara langsung menangani pasien Covid-19. Perawat yang menangani pasien Covid-19 justru memiliki prosedur dan protokol yang jelas, dalam penggunaan APD dan perawatannya. Dari informasi yang kami kumpulkan dari beberapa rekan perawat, salah satu perawat yang gugur tersebut mengalami ketakutan dan kekhawatiran berlebihan. Kecemasan berlebihan tanpa penanganan ahli kesehatan mental yang mumpuni berdampak pada kondisi fisik yang bersangkutan. Menambah jumlah korban jiwa akibat pandemi ini. (*)
Catatan ini merupakan bagian dari etnografi tambal-sulam dalam proyek penelitian “New Marginals, Old Marginals in the Age of COVID-19”. Bila Anda tertarik untuk bergabung, silakan kirim pesan ke info[a]eutenika.org.
Baswara Yua Kristama adalah peneliti di LPPM, Universitas Ciputra, Surabaya.
Yuni Kurniawaty adalah pengajar di STIKES Vincentius a Paulo, Surabaya.