Pandemi memperburuk kondisi kelompok yang sebelumnya sudah termarjinalkan, bahkan menyeret anak muda, yang sedang memperlihatkan kegagahan mereka sebagai perantau, menjadi kelompok rentan.
FITRI WIDOWATI
Tepat dua minggu setelah kedatangan saya di Lombok, pada 2 Maret 2020, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan Kasus 01 dan 02 terjangkit Covid-19 di Indonesia. Sejak itu, kami, para perantau dan kawan lain dari Lombok yang dipertemukan di sebuah lembaga penelitian di Kota Mataram, mulai menerapkan jaga jarak di kantor. Sedikit-sedikit cuci tangan. Bahkan sampai menahan bersin dan batuk karena tidak ingin dicurigai terpapar Covid-19.
Kekhawatiran di kantor mulai muncul ketika pemerintah pusat secara terbuka mengungkapkan ada sejumlah informasi mengenai Covid-19 yang tidak diungkapkan karena takut menimbulkan keresahan dan kepanikan di masyarakat. Pada awal kasus Covid-19 ditemukan di Indonesia di bulan Maret, Presiden Joko Widodo secara terbuka mengatakan ada informasi yang sengaja tidak disampaikan karena dianggap bakal menimbulkan keresahan dan kepanikan di masyarakat. Banyak berita lain mengatakan pemerintah Indonesia tidak transparan mengenai data pasien Covid-19.
Pada tanggal 23 Maret 2020, kantor tempat saya bekerja akhirnya menerapkan kebijakan “kerja dari rumah (work from home) dan bergantian “kerja dari kantor” (work from office). Disusul kemudian dengan jalan-jalan kampung di sekitar kos yang menerapkan lockdown menutup area masuk gang dengan portal yang sengaja dibuat untuk Covid-19. Para lelaki, mungkin seumuran anak SMP secara bergerombol tanpa memakai masker berada di sekitar portal memantau orang yang hendak masuk melalui jalan yang ditutup portal itu. Mereka memastikan setiap orang yang masuk gang harus cuci tangan terlebih dahulu di tempat yang telah disediakan.
Himbauan “tidak keluar rumah jika tidak penting” mulai diumumkan melalui Toa masjid di lingkungan tempat tinggal saya. Hal yang membuat saya ngeri, pada kurun waktu bulan April hampir setiap hari saya mendengar pengumuman dari masjid di lingkungan kos saya bahwa ada warga yang meninggal. Saya tidak tahu apakah banyaknya orang meninggal pada bulan itu di sekitar kos saya berhubungan dengan Covid-19. Tapi mendengar kabar duka dalam situasi pandemi tentu saja membuat saya cukup gelisah.
Awalnya, bagi kawan-kawan rantau lain, pandemi tidak terlalu meresahkan karena belum berpengaruh pada kondisi finansial mereka. Namun begitu beberapa rantau harus menerima fakta bahwa kontrak kerja tidak diperpanjang dengan alasan kondisi keuangan kantor yang sedang tidak stabil akibat Covid-19, keresahan itu mulai muncul. Seorang rantau dari Sumatera, misalnya, selama ini mengirimkan setidaknya separuh gajinya setiap bulan untuk orangtua yang tidak bisa lagi berdagang sejak pandemi Covid-19. Tanpa kontrak kerja dan gaji bulanan, dia tidak bisa mengirim uang untuk orang tuanya. Dia juga belum bisa pulang ke Sumatera. Bukan karena tidak mampu, tapi lebih karena dilarang pulang oleh keluarga besarnya dengan alasan akan membawa virus. Hidup di masa pandemi bagi perantau menempatkan diri pada dua situasi paradoks. Pada satu sisi, bertahan di tanah rantau dan hidup dalam anggapan sebagai pembawa virus. Pada sisi lain, memilih untuk pulang juga tetap dianggap sebagai “pembawa virus”.
Lombok bukanlah pulau besar. Perjalanan ke provinsi lain hanya bisa ditempuh melalui dua pilihan moda transportasi: laut dan udara. Pada masa pandemi, mengikuti Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, protokol perjalanan keluar-masuk daerah telah diperketat. Terutama jalur udara yang menjadi pilihan bagi banyak orang untuk menempuh perjalanan jauh dari/ke Lombok. Selain memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, dibutuhkan hasil tes Covid-19. Jika di daerah tempat tinggal tidak ada fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas tes untuk Covid-19, maka diganti dengan surat keterangan “bebas gejala seperti Influenza”.
Syarat kebebasan mobilitas individu pada masa PSBB transisi, atau yang sering digaungkan sebagai “New Normal”, ditentukan salah satunya oleh “surat keterangan negatif Covid-19”. Jika ingin menempuh transportasi udara penumpang harus memiliki hasil reaktif negatif Covid-19 dari hasil Rapid Test atau PCR/Swab Test, tergantung pada daerah penerbangan yang dituju. Sementara itu, tidak semua tempat menyediakan kedua tes tersebut secara gratis.
Di Lombok, biaya Rapid Test mencapai sekitar Rp400.000 berlaku untuk 3 hari, dan biaya PCR (Swab) Test sekitar Rp1.000.000 berlaku untuk 7 hari. Ini adalah biaya yang cukup mahal bagi perantau yang baru saja kena PHK. Belum lagi, menebus tiket pesawat yang harganya melonjak akibat adanya pembatasan jumlah penumpang untuk setiap perjalanan. Sementara itu, maskapai penerbangan sewaktu-waktu bisa membatalkan jadwal penerbangan karena pembatasan jumlah penumpang itu tadi. Artinya, jika penundaan penerbangan melampaui masa berlaku tes yang sudah diambil (3 hari untuk Rapid Test dan 7 hari untuk PCR/Swab Test) setelah pemesanan tiket pertama, maka calon penumpang harus mengeluarkan biaya untuk melakukan tes lagi. Belum lagi, stigma sebagai “pembawa virus” yang masih melekat bahkan setelah mereka mengeluarkan seluruh biaya tersebut begitu mereka tiba di negeri asalnya.
Hidup di tanah rantau di kala pandemi membuat kehidupan orang rantau (outlander) semakin menjadi orang aneh (outlandish).(*)
Catatan ini merupakan bagian dari etnografi tambal-sulam dalam proyek penelitian “New Marginals, Old Marginals in the Age of COVID-19”. Bila Anda tertarik untuk bergabung, silakan kirim pesan ke info[a]eutenika.org.

Fitri Widowati adalah asisten peneliti di sebuah lembaga penelitian di Mataram, Lombok.