Ketika Air Mengalir Tidak Merata: Kelangkaan Infrastruktur di Perdesaan

Modal awal yang dibutuhkan untuk menyediakan akses cukup besar dan tidak semua warga memiliki kemampuan tersebut. Akses air tidak lagi menjadi hal universal, melainkan privilese yang diperoleh melalui kemampuan finansial. Infrastruktur menjadi alat distribusi air sekaligus alat produksi (dan reproduksi) ketimpangan.

LUDVIA

Suatu hari saya bertemu dengan Imam. Dia merupakan teknisi (pekerja perbaikan air) di salah satu kelompok air di Dusun Embel, Pandansari, Paguyangan, Brebes. Perjumpaan itu cukup berkesan karena menjadi titik awal refleksi saya terhadap dinamika pertumbuhan dan perkembangan pipa di dusun itu. Melalui pengalaman ini, saya mencoba memahami bagaimana distribusi pipa di pedesaan dapat mencerminkan keadilan, atau justru memperburuk ketimpangan sosial dalam masyarakat.

Imam dan Toni mengajak saya ke tempat bernama Suling, sebuah bukit yang lebih tinggi dari pemukiman. Kami pergi ke sana karena di sebagian wilayah dusun air tidak mengalir. Tidak ada air mengalir ke bak-bak penampungan dalam rumah dan toren (menara tandon air). Bak pembagi juga kering kerontang. Laju air dalam pipa paralon juga berhenti. Memang, kegiatan domestik masih dapat berjalan karena bak dan toren di setiap rumah masih menyimpan air. Tetapi itu tidak akan tahan lebih dari tiga hari. Pada saat inilah, peran teknisi menjadi krusial.

Begitu sampai di Suling, saya menjumpai pipa-pipa besar dan kecil merambat. Kami berjalan sedikit lebih jauh di lereng bukit dan menemui dua titik kerusakan pipa. Pertama, pipa umum di bawah jembatan tertindih gerombolan pipa yang lebih kecil dan batang pohon tumbang. Beban itu mengakibatkan pipa melengkung dan sambungannya lepas. Air mengalir keluar dari pipa dengan sangat deras.

Kami lanjut menyusuri jalur pipa umum dan menemukan sambungan pipa yang bergeser. Air yang mengucur tak kalah deras dibandingkan titik kerusakan pertama. Selama hampir empat jam, Imam dan Toni memperbaiki kerusakan tersebut dengan alat-alat yang telah mereka bawa dari rumah: sebilah golok, gergaji pipa, ban dalam motor bekas, dan selang air.

Infrastruktur Air Kolektif: Tata Kelola Mandiri, Mewariskan Ketimpangan 

Warga dusun mengenal dua istilah infrastruktur air: air swadaya dan air pribadi. Keduanya sama-sama diusahakan oleh masyarakat secara mandiri dan kolektif, tanpa bantuan dari pemerintah. Air swadaya merupakan air untuk keperluan rumah tangga yang diusahakan sebagian besar warga dusun pada akhir 1990-an. Sumber air swadaya ada tiga titik: Ketingkrang, Capit Urang, dan Surawangsa. Sumber Ketingkrang untuk wilayah RT 1, 3, 4, dan 5 dan sebagian RT 6 dan 7 (Embel Utara), sumber Capit Urang untuk wilayah RT 6 sampai 12 (Embel Selatan), dan sumber Surawangsa untuk wilayah RT 2.

Air swadaya dibangun warga Embel setelah kegagalan berbagai proyek pemerintah untuk menyediakan akses air bersih. Dari ingatan kolektif warga, saya mengetahui bahwa proyek pertama air swadaya adalah di sumber mata air Ketingkrang sekitar 1980-an. Pemerintah provinsi membangun bak dan mengalirkan air melalui pipa besi dari Dusun Embel hingga ke Desa Cipetung, yang berbatasan langsung dengan Pandansari di sebelah barat. Bak-bak penampungan air dibangun di setiap RT. Setiap harinya warga harus berjalan menuju bak-bak tersebut untuk mengambil air dengan kendi dan jeriken. Namun, keberadaan bak-bak ini juga tidak dapat memenuhi kebutuhan air bagi seluruh warga. Tidak sedikit warga yang harus kembali menuju curug-curug di bawah kumpulan pohon bambu, yang mereka sebut “cekdam”.

Cek dam di lembah bambu. (©Ludvia, 2024)
Sketsa ilustrasi jalur “air swadaya”. (©Ludvia, 2025)

Secara garis besar, bentuk infrastruktur air swadaya seperti sketsa di samping. Di sumber mata air, bak penampungan air dibangun. Dari situ dipasang pipa induk seukuran 4-6 dim yang mengalirkan air menuju bak induk. Air dari bak induk disalurkan ke sejumlah RT melalui pipa-pipa berukuran 3-4 dim menuju bak-bak pembagi. Air dari bak pembagi disalurkan ke rumah-rumah warga menggunakan pipa sebesar 0,5 dim. Setiap rumah memberikan kontribusi uang di awal untuk pemasangan pipa-pipa itu. Pengaturan debit dan volume air tidak menggunakan valve (katup), melainkan menggunakan bak induk dan bak pembagi.

Secara tidak tertulis, warga menyepakati aturan bahwa air swadaya hanya untuk keperluan rumah tangga. Itu artinya air tidak boleh diperjualbelikan. Hanya para “pemodal”, mereka yang berkontribusi dengan iuran pembangunan, yang boleh mendapatkan air melalui pipa. Para pemilik modal dapat menggunakan air sesuai dengan kebutuhan mereka, tanpa ada pembatasan volume air. Aturan semacam ini dibuat dengan pertimbangan untuk menjaga ketersediaan air hingga anak-cucu.

Modal untuk mengalirkan air dari sumber mata air tidak sedikit. Tidak semua warga mampu mengaksesnya. Pada akhir 1990-an, setiap rumah tangga harus berkontribusi sejumlah 500,000 rupiah. Nilai rupiah pada waktu itu setara dengan harga satu ton beras. Jika memakai data inflasi yang ada, pada 2024 jumlahnya kurang lebih sebesar 6,8 juta rupiah. Besarnya modal yang dibutuhkan, membuat tidak semua warga bisa turut andil bagi penyediaan air swadaya. Ada sebagian warga yang karena tidak punya andil, mereka tidak mendapatkan titik air swadaya. Salah satunya adalah Warid yang saya jumpai pada 26 Februari 2025.

Namun, seiring dengan pertambahan penduduk dan perubahan pola ekonomi, debit sumber mata air tidak bertambah. Air swadaya mengalami gangguan dan tantangan. Dulu, satu titik dapat dimanfaatkan untuk satu rumah, tetapi ketika satu keluarga memiliki anak dan berkeluarga, titik yang sama tersebut harus dibagi sejumlah anaknya. Keluarga Isna, misalnya, adalah salah satu contohnya. Sebelum dia dan saudaranya menikah, mereka menggunakan air dari titik yang mengalir ke rumah orang tuanya (Wawancara, 29 Oktober 2025). Setelah Isna dan saudaranya menikah dan membangun rumah sendiri yang jaraknya berdekatan, titik air dari orang tuanya itu dialirkan untuk empat rumah. Mereka harus menerapkan jadwal pengisian toren air setiap 3 hari sekali.

Bagi sebagian warga, air pribadi merupakan air irigasi yang diusahakan oleh kelompok-kelompok kecil petani untuk pengairan lahan. Kelompok petani itu biasanya terdiri atas 10-30 orang. Air pribadi juga dijadikan sebagai tambahan air swadaya bagi warga. Air pribadi mulai gencar dibangun sejak 2015, khususnya pasca kegagalan proyek irigasi P3A dari pemerintah. Tujuan utamanya adalah untuk pengairan ladang (ngincir) saat musim kering. Air irigasi diusahakan oleh kelompok-kelompok petani, yang rata-rata beranggotakan 10 sampai 30 orang. Rata-rata modal yang harus dikeluarkan oleh setiap petani pada waktu itu adalah sebesar 25-50 juta rupiah.

Sebelum 2012, petani sayur di desa bergantung pada musim. Pada musim hujan, para petani akan segera menanam kentang, wortel, kol dan/atau daun bawang. Selama musim kemarau, mereka akan membiarkan tanahnya menganggur. Banyak lelaki pergi ke kota menjadi buruh bangunan. Sebagian warga yang tidak merantau merumput untuk ternak atau menyiapkan lahan untuk musim hujan.

“Kalau kemarau nggak nanam. Pokoknya, seingat saya itu. Karo (musim kemarau) kita bikin lahan aja. Lahan yang belum digarap, digarap. Ntar pas musim hujan nanam semua. Itu dulu. Pokoknya [saat musim] kemarau, kita cuman bikin lahan. Kalau sudah selesai, nggak ngapa-ngapain. Paling makan/tidur.” (Wawancara Anto, 26 Februari 2025)

Begitu sistem pengairan dari pemerintah masuk pada 2012, warga berebut air untuk mengairi lahan mereka. Sumber yang diambil berasal dari Capit Urang, sumber mata air terbesar di dekat Desa Pandansari. Air tersebut juga dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga dan perusahaan jamur. Saat musim kemarau, Capit Urang tidak mampu memenuhi kebutuhan air untuk rumah tangga, perusahaan, dan lahan pertanian sekaligus. Padahal, musim kemarau merupakan waktu terbaik untuk menanam sayuran, terutama kentang. Risiko serangan hama yang lebih kecil sehingga margin keuntungan petani lebih besar (Ajis dan Handoko, 2010).

Tak lama berselang, program irigasi dari pemerintah dihentikan. Menurut salah satu perangkat desa, Ikhsan (wawancara 26 Oktober 2024) alasannya adalah debit air Capit Urang tidak cukup untuk kebutuhan irigasi. Air dari Capit Urang lebih difokuskan untuk air bersih rumah tangga dan perusahaan. Untuk irigasi, pemerintah membiarkan warga mengambil dari sumber lain.

Keberadaan air pribadi tidak lantas menyelesaikan masalah ketimpangan akses air. Lagi-lagi, hanya warga yang memiliki modal besar dan ladang luas (dengan demikian penghasilan yang lebih banyak lebih besar pula) yang mampu mengakses air pribadi. Sebagian orang akan mendapatkan keberlimpahan air dari dua sistem itu: air swadaya dan air pribadi. Sedangkan sebagian lain hanya mengandalkan air swadaya untuk keluarga dan harus berbagi.

Pamsimas: Antara Pesimisme dan Optimisme Keadilan Akses Air

Pada 2019, pemerintah desa mengenalkan sistem distribusi dan pengaturan air yang baru, bernama Pamsimas—kependekan dari “Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat”. Program ini bertujuan untuk menyediakan air pada wilayah desa yang masih mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih. Program ini dianggap lebih modern dan efisien karena menggunakan meteran air dan keran. Dengan demikian, warga dapat lebih bertanggung jawab dalam menggunakan air.

Dengan keberadaan Pamsimas ini, pemerintah desa juga berharap agar warga bisa mendapatkan akses terhadap air yang lebih adil. Harapan ini muncul mengingat air swadaya dan air pribadi seiring waktu telah menjadi alat produksi ketimpangan dalam masyarakat.

Kepala Desa Pandansari, Irwan Susanto, menyampaikan dalam satu wawancara (26 Oktober 2024), bahwa salah satu visi-misinya adalah mewujudkan keadilan bagi warga dalam hal mendapatkan air bersih. Hal itu dimunculkannya karena banyak keluhan dari warga tentang persoalan air bersih yang belum merata. Selama ini, distribusi air lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan pihak lain.

Di dusun lain di desa Pandansari, warga menerima Pamsimas. Seperti di dusun Kalikidang, Taman, dan Igir Pandan. Akan tetapi, warga Dusun Embel cenderung kontra terhadap program ini. Alasan tidak hanya berbicara hal teknis—penggunaan sumber mata air yang telah dimanfaatkan warga untuk air swadaya dan desain instalasi pipa satu jalur pada topografi perbukitan. Dengan demikian, Pamsimas bukan solusi bagi keadilan akses air bersih untuk warga di lereng gunung. Instalasi Pamsimas hanya akan menambah ketidakadilan akses air di Dusun Embel.

Kelangkaan Infrastruktur dan Keadilan Akses Air di Dusun Embel

Dalam usahanya mewujudkan keadilan akses air bersih, pemerintah melakukan pelbagai pengubahan tata kelola sumber mata air. Namun, janji teknologi Pamsimas untuk menyelesaikan masalah dari pemerintah datang terlambat. Di Dusun Embel, warga telah membangun sistem air mandiri karena negara tidak hadir dalam penyediaan air bersih.

Air swadaya dan air pribadi mengutamakan hak memperoleh akses air dari sumber mata air didasarkan pada kepemilikan modal individual atau keluarga. Seperti yang telah dibahas di atas, modal awal yang dibutuhkan untuk menyediakan akses cukup besar dan tidak semua warga memiliki kemampuan tersebut. Air pun menjadi sumber daya yang mahal, bernilai ekonomi tinggi karena diperoleh melalui investasi pribadi. Dalam kondisi ini, akses air tidak lagi menjadi hal universal, melainkan privilese yang diperoleh melalui kemampuan finansial.

Kehadiran Pamsimas berusaha mengubah sistem modal semacam itu dengan cara memberi akses air kepada seluruh warga. Melalui meteran air dan keran, Pamsimas menerapkan sistem tarif dan pembayaran bulanan yang seragam. Namun, sistem semacam ini mengganggu tatanan sosial yang telah mapan dalam masyarakat. Bagi warga, hanya mereka yang telah berkontribusi dalam pembangunan yang memiliki akses dan kontrol terhadap air.

Pamsimas seharusnya berbasis masyarakat, melibatkan masyarakat dari perencanaan hingga perawatan. Dalam praktiknya, pembangunan Pamsimas di Dusun Embel seharusnya minim partisipasi warga. Warga hanya diminta menerima bantuan dari pemerintah. Tidak ada kerja bersama yang dilakukan seperti dalam memori beberapa orang saat memulai pembukaan air bersih tahun 1990-an. Tidak ada rasa kepemilikan infrastruktur air seperti yang terjadi pada air swadaya.

Partisipasi warga yang minim ini juga menimbulkan aspirasi warga tidak tersampaikan, terutama dalam hal desain infrastruktur yang sesuai dengan kondisi topografis. Menurut warga, sistem distribusi dengan bak pembagi merupakan cara yang paling ideal untuk memberikan keadilan akses terhadap air. Air dapat mengalir secara kontinu dan merata melalui  sistem distribusi air swadaya yang menerapkan distribusi berjenjang. Sementara sistem satu jalur dalam Pamsimas, yang didesain oleh pihak ketiga, menyebabkan air melaju ke pemukiman bawah. Pemukiman atas akan mengalami kekurangan air.

Kelangkaan air yang terjadi di Dusun Embel bukan semata disebabkan oleh minim atau ketiadaan sumber daya alam, melainkan merupakan bentuk dari apa yang saya sebut “kelangkaan infrastruktur” (infrastructure scarcity)—kelangkaan yang diproduksi dan diperkuat oleh sistem infrastruktur yang tidak adil secara desain, akses, maupun tata kelola. Dalam konteks ini, infrastruktur adalah alat distribusi air sekaligus alat produksi (dan reproduksi) ketimpangan.

Kelangkaan infrastruktural merupakan hasil interpretasi kritis dari sejumlah literatur tentang infrastruktur, keadilan distribusi, dan kelangkaan yang diproduksi secara sosial. Dalam Anand (2017), akses terhadap air tidak dibagikan secara merata, melainkan dinegosiasikan melalui relasi kuasa dalam kehidupan sehari-hari. Ramakrishnan dkk. (2021), menekankan bahwa infrastruktur tidak pernah stabil, setiap fase kehidupannya selalu mereproduksi bentuk-bentuk ketimpangan dan kelangkaan akses. Studi distribusi air yang dilakukan Alda-Vidal dkk. (2018) menunjukkan bahwa ketidakadilan struktural bukan semata masalah teknis, tetapi juga bentuk dari keputusan sehari-hari, seperti pengalihan aliran, prioritas perbaikan, dan penanganan keluhan yang bias politik dan kelas.

Saya memahami keadilan sebagai suatu kondisi ketika “setiap orang berhak diperlakukan secara adil oleh otoritas publik (dan privat) dalam bentuk apapun” (Taylor, 2017, hlm. 3). Maka, keadilan terkait infrastruktur bukan hanya tentang siapa yang mendapat akses, tetapi juga siapa yang menanggung beban, siapa yang menikmati manfaat, dan bagaimana struktur insentif dan tanggung jawab dibentuk (Shrimpton dkk, 2021; Ramakrishnan, 2021). Dengan demikian, kita dapat memeriksa derajat keadilan pembangunan infrastruktur. (*)

Daftar Pustaka

Ajis, R. H., & Handoko, I. (2010). Hubungan Antara Waktu Tanam dengan Hasil dan Profitabilitas Budidaya Kentang (Solanum tuberosum l.) di Cikajang, Garut (Relationships between Planting Time and Yield as Well as Profitability of Growing Potato). Agromet, 24(1), 9-13.

Alda-Vidal, C., Kooy, M., & Rusca, M. (2018). Mapping operation and maintenance: An everyday urbanism analysis of inequalities within piped water supply in Lilongwe, Malawi. Urban Geography, 39(1), 104-121.

Anand, N. (2017). Hydraulic City: Water and the Infrastructures of Citizenship in Mumbai. Duke University Press.

Shrimpton, E. A., Hunt, D. V., & Rogers, C. D. (2021). Justice in (English) water infrastructure: a systematic review. Sustainability, 13(6), 3363.

Ramakrishnan, K., O’Reilly, K., & Budds, J. (2021). The temporal fragility of infrastructure: Theorizing decay, maintenance, and repair. Environment and Planning E: Nature and Space, 4(3), 674-695.

Taylor, L. (2017). What is data justice? The case for connecting digital rights and freedoms globally. Big Data & Society, 4(2), doi.org/10.1177/2053951717736335.


Ludvia saat ini adalah mahasiswa Program Studi Sarjana Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Penerima Hibah Penelitian “Keadilan Infrastruktur” 2025 dari Perkumpulan Peneliti Eutenika.

Leave a Reply