Infodemi dan Pandemi di Masyarakat

Ketidakpercayaan kelompok rentan pada dunia medis meneguhkan struktur yang timpang dan inaksesibilitas layanan kesehatan.

DANIA NUR SHABRINA

Rabu, 15 Juli 2020 pukul 13.30 – 17.00 WIB Perkumpulan Peneliti Eutenika bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Brawijaya, Pusat Studi Budaya dan Laman Batas (CCFS), LPPM, Universitas Brawijaya mengadakan Webinar “Infodemi: Struktur dan Kultur” via Zoom sebagai upaya untuk mencari penjelasan atas apa yang terjadi di masyarakat.

Acara dimoderatori oleh Desi Dwi Prianti dari Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Brawijaya. Menggandeng pembicara dengan latar belakang pendidikan yang berbeda namun masih memiliki kaitan erat dengan topik pembicaraan. Sambutan pembuka acara yang dilakukan oleh I Wayan Suyadnya sebagai perwakilan dari Pusat Studi Budaya dan Laman Batas (CCFS).

Pembicara pertama yaitu Dyah Pitaloka. Beliau tidak hanya aktif sebagai akademisi, namun juga merupakan aktivis dan peneliti sosial tentang health communication serta saat ini tergabung dalam Ronin Institute for Independent Scholarship di Monclair, New Jersey.

Menurut Ita, relasi kuasa dalam membangun wacana terkait Covid19 sampai pada suatu titik masyarakat tidak mampu lagi memahami dan mengontrol apa yang sedang dan akan terjadi.

Ada beberapa faktor yang memicu munculnya infodemi. Kebijakan penanganan Covid-19, inkonsistensi informasi, transparansi informasi, kekhawatiran dan harapan pada pemerintah serta harapan untuk pencegahan dan pengobatan. Dampak dari infodemi seperti kondisi fisik kesehatan, kehilangan pekerjaan, menambah kebingungan dan ketidakpastian, meningkatkan stigma dan prasangka, dan semakin sulit untuk mengimplementasikan kebijakan kesehatan.

Dampak paling parah, menurut Ita, adalah munculnya medical mistrust. Yaitu ketidakpercayaan kelompok rentan pada dunia medis yang menciptakan keadaan yang semakin meneguhkan struktur ketidaksetaraan dan aksesibilitas layanan kesehatan.

Pembicara kedua Aris Kurniawan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Aris yang aktif dalam program pemberdayaan publik menyampaikan pentingnya literasi digital berangkat dari fakta tentang hoaks.

Kemenkominfo melakukan pendekatan teknologi, seperti membentuk “Cyber Drone.” Pendekatan sosial-budaya dilakukan dengan kampanye digital literasi. Lebih lanjut, dijelaskan juga tentang manajemen penanganan konten internet negatif. Kemenkominfo telah bekerjasama dengan kementerian/lembaga dan juga sektor swasta untuk mengatasi infodemi ini.

Pembicara ketiga adalah Eriyanto dari Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Indonesia yang juga tergabung di banyak lembaga riset sekaligus juga menjabat sebagai direktur riset di LSI. Eriyanto menjelaskan infodemi dari perspektif berita palsu dan bagaimana penyebarluasan berita palsu, yang salah satunya karena adanya peran dari algoritma media sosial.

Eri mengutip teori bias konfirmasi, yaitu bagaimana orang memilih informasi yang sesuai dengan keyakinannya. Dengan demikian, orang cenderung berada dalam echo chamber di media sosial.

Ada beberapa model penyebaran infodemi yang ternyata istilah-istilah mirip dengan pandemi. Antara lain: model SI (suscept-infected), model SIR (suscept-infected-recovered), model SIRS (suscept-infected-recovered-suscept), model SIS (suscept-infected-suscept), model ambang batas (threshold), model stokastik, model jaringan acak, model Skala Bebas, model Dunia Kecil.

Pembicara yang terakhir adalah Anton Novenanto yang menyampaikan beberapa narasi etnografi tentang kehidupan seputar pandemi Covid-19. Dampak dari infodemi, menurutnya, adalah meningkatnya kerentanan sosial atau hilangnya kepercayaan dari warganegara pada aparatur negara, dari “awam” pada “ahli”, dan antar anggota masyarakat.

Informasi telah menjadi komoditas. Organisasi media juga merupakan lembaga bisnis dimana pasar sebagai “donatur” terbesar dari produksi informasi. Di Indonesia belum ada regulasi yang menjamin warga negara untuk mendapatkan informasi berkualitas dan mudah diakses. karena regulasi yang ada cenderung mendorong privatisasi ruang-ruang publik. Termasuk juga privatisasi jaminan sosial yang mempertajam polarisasi kesenjangan dalam masyarakat.

Warisan budaya politk otoritarianisme Orde Baru telah menambah kompleksitas persoalan di lapangan. (*)

Dania Nur Shabrina adalah mahasiswa program studi S1 Sosiologi, Universitas Brawijaya yang sedang magang di Perkumpulan Peneliti Eutenika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *