Magang dan Sebuah Pengalaman Diskusi Terbatas

Magang di Eutenika mengajarkan saya banyak hal. Mulai dari pengalaman di bidang akademis dan juga beretika terhadap klien.

RAHMA NUZULA

Sesuai pembagian job desk yang disepakati pada pertemuan awal, saya mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam sebuah diskusi terbatas. Temanya “Marjinalisasi dan De-Marjinalisasi Papua”. Diskusi itu membahas isu-isu yang muncul dari salah satu bagian Timur Indonesia, yaitu Papua. Model roundtable discussion yang dipandu oleh tiga orang, Riwanto Tirtosudarmo, Rita Padawangi dan Anton Novenanto, membuat diskusi ini diharapkan untuk sejujur mungkin dalam segala isu di Papua. Sifat kepesertaan diskusi adalah sukarela.

Dalam satu bulan mengikuti penuh pelaksanaan dikusi, saya berkesempatan mengerjakan notulensi dan transkrip. Tidak hanya itu, saya juga berkesempatan untuk menindaklanjuti peserta dari berbagai kalangan dengan banyak pengalaman. Ada akademisi hingga aparatur pemerintah setempat di Papua. Pengalaman itu membuat ilmu dan pikiran saya terbuka luas tentang Papua.

Awalnya, saya mengira bahwa Papua adalah provinsi di Indonesia yang sangat terbatas dan sulit dijangkau. Melihat secara geografis Papua dan Jakarta yang berjauhan. Namun karena peserta diskusi terdiri dari beberapa kalangan dengan perasaan yang sama dalam melihat bahwa Papua ini harus diperjuangkan, saya jadi banyak mengetahui permasalahan dan keinginan orang asli Papua terhadap pemerintah pusat.

Pertemuan awal membahas tema yang akan diusung tiap minggunya dan menyepakati tema. Diskusi dimulai pada minggu kedua. Saya pun mengikuti diskusi tersebut. Saya sudah mulai mengetahui bahwa masyarakat Papua bukan tidak bisa mengikuti tata kelola perekonomian yang diusung pemerintah pusat, namun ada sebagian besar dari mereka yang masih memegang teguh adat nenek moyangnya. Sejujurnya, hal yang dianggap tradisional tidak selalu buruk, melainkan agak sedikit lama dalam melihat keinginan rezim yang diusung sekarang, tentang percepatan pembangunan.

Dibahas juga tentang pendidikan yang terjadi selama ini. Membuat saya penasaran bagaimana perjuangan seorang tenaga pendidik di tanah Papua. Bagaimana ketidakcocokan pada sistem pusat karena menggeneralisasi sistem. Papua dirasa belum cukup mampu akan hal tersebut. Padahal yang dibutuhkan adalah praktik nyata dari pendidikan, bukan hanya teori semata. Selain itu, tenaga medis masih kurang dan akomodasi lebih banyak diberikan pada sektor “keamanan”.

Ada beberapa keinginan orang asli Papua atas tanah mereka sebelum atau sesudah berintegrasi dengan NKRI. Sebagian dari mereka dengan mengatasnamakan kelompok pro merdeka, merdeka menjadi negara sendiri. Keinginan tersebut juga berlandaskan bahwa mereka berbeda dengan orang Indoensia pada umumnya. Mereka lebih senang dianggap sebagai orang Papua keturunan Melanesia dibandingkan dianggap sebagai orang Indonesia yang ujung-ujungnya juga mendapat diskriminasi.

Ada banyak hal yang sangat sensitif dikemukakan, namun tetap jujur. Mereka yang ada di dalam kelompok tersebut mempunyai keresahan terhadap apa yang akan terjadi di Papua di masa depan. Jika mendapat kesempatan untuk dapat terjun langsung ke tanah Papua dan bertemu orang-orang yang ada di dalam diskusi terbatas tersebut, saya memiliki beberapa pertanyaan kepada mereka yang ahli di bidangnya.

Kegiatan diskusi terakhir adalah 28 Juli 2020. Sementara itu, masih ada diskusi informal di grup WhatsApp mengenai kelanjutan atau luaran dari diskusi ini. Harapan dari mayoritas peserta adalah menerbitkan buku guna kepentingan akademis.

Tidak hanya sampai di situ, Eutenika juga mengajarkan saya beretika dan membuat puas akan hasil dari pekerjaan yang telah dibuat. Suatu pengalaman yang jika diaplikasikan di dunia kerja sesungguhnya akan sangat berguna. (*)

Rahma Nuzula adalah mahasiswa program studi S1 Sosiologi, Universitas Brawijaya yang sedang magang di Perkumpulan Peneliti Eutenika.

Leave a Reply