Respons Kultural atas Pandemi

Kecanggihan teknologi salah satu pilihan jitu untuk menjaga kewarasan akal dan nalar di tengah situasi pandemi seperti sekarang.

HAFLAH DISTINCTA

Situasi pandemi yang bersamaan dengan bulan Ramadhan mengubah aktivitas ngabuburit di jalan-jalan bukan lagi mencari sebungkus takjil. Pandemi memaksa kita manusia sebagai mahluk yang rentan untuk tetap berdiam di rumah. Namun keterbatasan fisik bukan menjadi hambatan untuk menjadi produktif. Kecanggihan teknologi salah satu pilihan jitu untuk menjaga kewarasan akal dan nalar di tengah situasi pandemi seperti sekarang. Melalui aplikasi panggilan video saya pun ngabuburit online, mendengarkan sebuah diskusi.

Judul tulisan di atas sama seperti judul diskusi terakhir yang baru saja saya ikuti. “Respons Kultural Atas Pandemi” merupakan sebuah diskusi yang diinisiasi oleh Perkumpulan Eutenika, sebuah lembaga yang berbasis di kota Malang. Ini merupakan diskusi keempat yang mereka buat. Dalam diskusi ini menghadirkan Ngurah Suryawan, Sita Hidayah, dan Geger Riyanto sebagai pembicara dan Hatib Kadir sebagai moderator dalam diskusi tersebut.

Pembahasan yang menarik pun dimulai. Setiap pembicara menjelaskan analisis masing-masing dari kacamata antropologis mengenai bagaimana masyarakat di wilayahnya merespons situasi pandemi yang dipengaruhi oleh budaya masing-masing.

Dimulai dengan Ngurah Suryawan bercerita soal situasi yang terjadi di Bali, terdapat politik ritual yang dilakukan oleh negara untuk menghadapi situasi pandemi saat ini. Ngurah mengatakan politik ritual ini sudah dilakukan sejak lama. mulai dari pasca kejadian Konflik 65, bencana Bom Bali, dan lainnya. Kali ini, giliran situasi pandemi Covid-19 yang kemudian dalam istilah Bali disebut sebagai Gering Agung.

Melalui lembaga Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), pemerintah memutuskan untuk perlunya dilakukan upacara Niskala, sesuai dengan kepercayaan agar situasi pandemi ini segera berlalu. Identitas masyakarat Bali yang lekat dengan budaya religiusitas yang tinggi menjadikan jalan ritual sebagai cara manusia di Bali merespons situasi di lingkungan sekitarnya. Melalui kebijakan-kebijakan publik yang dilakukan pemerintah lokal, ritual dilihat sebagai hal ampuh untuk menetralisir kecemasan yang terjadi di masyarakat.

Namun, Ngurah mengatakan ada masalah ketika orang cenderung melihat ritual di Bali sebagai hal yang eksotik dan harmonis. Ini tidak terlepas dari konstruksi yang selama ini tercipta atas kondisi kepentingan pariwisata yang ada di sana. Padahal, ada kontradiksi dalam ritual itu sendiri terhadap apa yang dianggap eksotis dan harmonis. Kemudian, Ngurah beranggapan masalah lainnya hadir ketika pada praktiknya otoritas penanganan pandemi di garda terdepan diberikan kepada desa adat sebagai panjang tangan dari dominasi budaya religius di Bali. Padahal, Bali mempunyai struktur desa dinas yang dirasa lebih berkompeten untuk hal tersebut.

Ada pula konflik horizontal di masyarakat yang disebabkan oleh stigma yang terbentuk mengenai pandemi ini. Maka dari itu, respons kultural harus dilihat lebih dalam dan tidak hanya satu sisi saja karena banyak persoalan yang kompleks di dalamnya.

Setelahnya ada Sita Hidayah yang mengatakan kita perlu melihat dari sudut pandang lain diluar narasi dominan yang sering digunakan dalam melihat situasi pandemi saat ini, seperti peran besar negara/pemerintah dan pandangan ilmu pengetahuan medis serta matematis. Atas argumen tersebut, maka analisis respon kultural ini menjadi penting juga untuk dibicarakan.

Menurut Sita, respons masyarakat terhadap pandemi Covid-19 sangat kontekstual berdasarkan kebudayaannya. Studi kasus pada masyarakat Jogja, situasi pandemi ini disebut dalam bahasa Jawa dengan istilah Pageblug. Dalam kultur masyarakat Jawa sendiri, bencana dalam bentuk apapun (gunung meletus ataupun pandemi dan lainnya) tidak hanya bermuatan negatif. Tetapi selalu juga ada kebaikan di dalamnya. Bencana dipahami sebagai sesuatu yang ambigu dan paradoks. Terdapat pemahaman di masyarakat bahwa bencana pasti lahir dari suatu ketidakseimbangan.

Pemahaman ini secara bersamaan kemudian diiringi dengan sikap reflektif diri dan kesimpulan bahwasannya ada sesuatu yang salah dalam berkehidupan. Semua itu terkandung dalam sebuah filosofi Jawa ‘eling lan waspada’, yang kemudian dipraktikan secara fisik maupun spriritual dalam kehidupan masyarakat Jogja sendiri. Pengetahuan tadi kemudian dikemas melalui ritual.

Sita melihat bahwa ritual sebagai respons masyarakat Jogja adalah bentuk dari solidaritas sosial dan mekanisme distribusi sumberdaya. Ritual dilakukan tidak lagi berkerumun di lapangan terbuka seperti yang biasa dilakukan masyarakat Jogja tetapi melalui rumah masing-masing. Ritual ini juga sebagai bentuk komunikasi kegawatdaruratan yang di dalamnya terkandung pesan-pesan dalam mengatasi wabah pandemi ini. Hal tersebut dapat dilihat melalui makanan yang dibuat dalam tradisi Jawa untuk ritual, seperti Bubur Tujuh Rupa, yang sarat makna.

Selain itu, dengan pengetahuan terkait bencana, masyarakat secara mandiri melakukan kuncitara (lockdown) di wilayah kampung mereka masing-masing, meskipun Sultan Jogja sebagai kepala pemerintahan lokal dan wujud negara tidak memberi perintah tersebut. Masyarakat mempunyai mekanisme pertahanan sendiri berdasarkan kebudayaan dan pengetahuan lokal yang dimiliki. Sita mengatakan wacana kuncitara sendiri menjadi lebih mudah diterima dalam masyarakat yang memiliki budaya hidup secara komunal seperti Indonesia dan beberapa negara di Asia. Sangat berbeda dengan negara-negara yang mempunyai budaya hidup individualis yang tinggi, sehingga ketika kuncitara dilakukan terjadi protes dengan dalih kebebasan yang dikekang.

Dibandingkan dengan dua pembicara sebelumnya, pandangan Geger Riyanto lebih berdasarkan perspektif sosial politik. Geger melakukan perbandingan antara Jerman dan Indonesia untuk menjelaskan pentas politik yang dilakukan oleh sebuah negara dalam merespon situasi pandemi terkini.

Jerman memilih melakukan dengan cara yang sangat jujur, sangat realistis dan konservatif. Angela Merkel, konselor Jerman dalam pidatonya tidak memberikan kalimat-kalimat harapan semu dengan tujuan menjaga stabilitas semata tetapi memilih berterus terang dan bisa dibilang terasa pahit. Tetapi justru dengan cara tersebut, kepercayaan publik terhadap pemerintah Jerman meningkat. Persentasenya tertinggi selama 23 tahun dalam sejarah pemerintahan Jerman sendiri. Hal tersebut tentunya juga diikuti dengan penerapan kebijakan dan fasilitas publik yang baik terutama di bidang kesehatan. Ini tidak terlepas terkait soal anggaran, mengingat Jerman merupakan salah satu negara maju hal tersebut menjadi sedikit lebih mudah tentunya.

Sangat berbeda sekali dengan cara yang dilakukan pemerintah kita di Indonesia terkait penanganan pandemi ini yang kurang terbuka dengan alasan menjaga stabilitas sosial. Seringkali juga blunder dalam penerapan kebijakan dengan tidak adanya sinkronisasi antara pusat dan lokal. Meskipun Jerman juga melakukan blunder di masa awal pandemi, dengan mengabaikannya bahayanya virus Covid-19 dan tidak bergegas mengambil kebijakan penanganan.

Kritik dari masyarakat juga terjadi, baik di Jerman maupun di Indonesia. Kritik dan bentuk ketidakpercayaan warga dapat dilihat dari pernyataan pemerintah yang menjadi momok dan dipelintir menjadi olokan sebagai respons masyarakat yang dapat ditemui di media-media sosial. Kondisi ini pun masih terus berkembang dan berubah arah mengingat situasi pandemi di Jerman dan Indonesia belum berakhir. (*)


Catatan redaksi: Artikel ini diunggah pertama kali di: http://haflahdistincta.blogspot.com/2020/05/respon-kultural-atas-pandemi.html. Dimuat ulang di sini atas persetujuan penulis dengan sedikit sentuhan editorial tanpa mengurangi substansi utama.

Haflah Leste Distincta, alumni program studi Antropologi, Universitas Brawijaya.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *