Struktur sosial yang timpang ini menjadikan masyarakat kita sesungguhnya rentan (vulnerable) terhadap goncangan sosial, krisis ekonomi dan gejolak politik.
RIWANTO TIRTOSUDARMO
Peristiwa berdarah 1965 telah mengubah arah sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa yang menjadi proxy war Perang Dingin itu telah membuat Indonesia tidak lagi “mendayung di antara dua karang”, seperti diibaratkan Bung Hatta, tetapi telah kandas di salah satu karang.
Pada Mei 1966 di kampus UI Salemba, Jakarta, digelar sebuah simposium bertajuk “Kebangkitan Semangat 66: Menjelajah Tracee Baru”. Perhelatan yang ditaja organisasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) ini menjadi mimbar tokoh-tokoh yang sebagian kemudian berperan penting dalam pemerintahan yang baru karena dari simposium inilah agenda pemerintahan diletakkan.
Di antara para tokoh yang rata-rata berusia muda waktu itu adalah Widjojo Nitisastro yang menyampaikan makalah berjudul “Menyusun Kembali Sendi-Sendi Ekonomi dengan Prinsip-prinsip Ekonomi”. Ketika Suharto menjadi presiden, Widjojo menjadi arsitek utama pembangunan ekonomi dari pemerintahan baru yang bernama Orde Baru. Sejak 1969 dimulai pembangunan lima tahunan (Repelita) yang secara konsisten dijalankan sampai akhir Orde Baru (1998).
Bersamaan dengan pembangunan ekonomi yang terencana dilakukan reorganisasi politik dengan cara melebur partai-partai menjadi dua partai politik: 1) PPP mewakili partai-partai Islam, dan 2) PDI yang mewakili kaum partai-partai nasionalis. Penguasa sendiri membesarkan GOLKAR sebagai partai penguasa. Rekayasa sosial yang dilakukan Orde Baru terbukti berhasil bertahan sampai 32 tahun sebelum dilanda krisis yang mengakhirinya pada bulan Mei 1998.
Pasca 1998
Pasca Mei 1998 yang disebut sebagai periode reformasi, meskipun ditandai oleh reorganisasi kekuasaan, namun terbukti tidak menghasilkan perubahan yang berarti karena secara politik Indonesia tetap dikuasai oleh oligarki dan pembangunan ekonomi tetap melanjutkan strategi yang sama yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan pemerataan.
Jamie S. Davidson (2018) membagi 20 tahun pasca reformasi 1998 menjadi tiga periode: Inovasi (1998-2004), Stagnasi (2004-2014) dan Polarisasi (2014-2018). Pada awal reformasi memang ada beberapa inovasi politik yang dilakukan, antara lain dibukanya kebebasan untuk mendirikan partai politik, tidak diperlukan lagi ijin untuk menerbitkan surat kabar dan berbagai perubahan yang memberikan keterbukaan lebih luas bagi ruang publik.
Perubahan yang cukup penting, meskipun terbukti juga tidak banyak mengubah keadaan masyarakat adalah disusunnya Undang-Undang Desentralisasi yang memberikan otonomi pada Pemerintah Tingkat II (Kabupaten/Kota) dan bukan pada Pemerintah Tingkat I (provinsi). Kekhawatiran akan terjadinya pemisahan provinsi dari pemerintah nasional menjadi dasar dari diberikannya otonomi ke tingkat II.
Pergantian presiden yang berlangsung melalui cara yang lebih demokratis daripada masa sebelumnya ternyata tidak mampu mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik. Transformasi sosial sebagai hasil dari rekayasa sosial (social engineering) yang telah berlangsung sejak tahun 1970 hingga sekarang ternyata telah menghasilkan struktur masyarakat yang penuh ketimpangan, kedaulatan masih belum menjadi milik rakyat dan negara terus dikuasai oleh kartel dan oligarki politik.
Transformasi Sosial
Meluasnya pandemi adalah melalui migrasi atau mobilitas penduduk yang berlangsung secara horizontal dalam ruang geografis, bisa antar kota, desa-kota atau sebaliknya, antar provinsi, antar pulau atau antar negara. Mobilitas penduduk secara horizontal dapat diikuti oleh mobilitas vertikal ketika migran meningkat status sosial-ekonominya.
Transformasi sosial diartikan sebagai perubahan sosial yang berlangsung dalam waktu yang relatif cepat dan melibatkan banyak faktor, salah satunya migrasi. Transformasi sosial tidak selalu bersifat positif dalam arti meningkatkan kualitas kehidupan sebuah masyarakat, namun juga bisa terjadi sebaliknya, bahkan sebuah masyarakat yang diwarnai ketegangan dan konflik. Papua dan Papua Barat, mungkin salah satu wilayah yang saat ini perlu mendapatkan perhatian khusus.
Migrasi merupakan faktor penting dalam transformasi sosial. Dalam sejarah umat manusia, migrasi menjadi faktor utama perkembangan peradaban. Dalam konteks Indonesia, kita menyaksikan hubungan timbal-balik antara migrasi dan transformasi sosial, dan secara khusus saya ingin melihat hubungan ini secara historis, sejak awal Orde-Baru hingga hari ini.
Bias
Dengan menggunakan migrasi sebagai lensa, saya mencatat ada 5 (lima) isu ketimpangan yang sekaligus merefleksikan bias yang mendominasi diskursus dan praktek transformasi sosial kita selama 50 tahun itu.
(1) Ketimpangan Desa-Kota (bias urban). Migrasi penduduk dari desa ke kota, secara signifikan dimulai sejak awal Orde-Baru, tahun 1970an, bersamaan dengan masuknya modal asing, berkembangnya industri manufaktur di sekitar kota, terutama Jakarta dan Surabaya, introduksi teknologi pertanian, bibit unggul, pestisida, “green revolution”. Kalau dihitung sejak hari ini proses transformasi sosial besar. r ini telah berlangsung setengah abad, tanpa henti, hasilnya adalah sektor informal membengkak di perkotaan dan sektor pertanian yang semakin tertinggal.
(2) Ketimpangan Jawa-Luar Jawa (bias Jawa). Selama Orde-Baru, program pemindahan penduduk dari Jawa ke Luar Jawa (transmigrasi) dianggap sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa. Transmigrasi juga dianggap solusi untuk swasembada pangan, antara lain melalui “Program Sejuta Hektar” di Kalimantan Tengah untuk mencetak sawah, yang terbukti gagal.
Luar Jawa terus dijadikan lokasi industri ekstraktif yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan peminggiran komunitas-komunitas adat yang hidupnya tergantung dari hasil hutan. Akibat bias ini, seperti kita saksikan, Luar Jawa menjadi semakin miskin dan Jawa semakin kaya. Putra-putra terbaik bangsa ini akan terkonsentrasi di Jawa meninggalkan Luar Jawa.
(3) Ketimpangan Migran-Non Migran (bias migran). Selain melalui transmigrasi, penduduk melakukan migrasi secara spontan, terutama karena adanya tradisi merantau (ethnic migration). Seperti dilakukan oleh Orang Minangkabau, Orang Banjar, Orang Bugis, Orang Buton dan Orang Madura. Tidak jarang mobilitas horizontal diikuti oleh mobilitas vertikal, dan karena akumulasi status ekonominya komunitas migran dianggap menggeser komunitas non-migran (penduduk setempat). Konflik komunal 1999-2000 di Sambas, Sampit, Poso dan Ambon adalah refleksi dari bias migran ini.
(4) Buruh Migran (bias remittance). Mengalirnya buruh migran ke berbagai negara penerima untuk mengisi kekosongan kebutuhan tenaga kerja di 3D Sectors (dirty, dangerous, difficult) sejak awal tahun 1980an sampai sekarang. Menunjukkan kegagalan negara dalam menyediakan lapangan kerja, dan kegagalan melindungi warganegara dari perdagangan manusia (human trafficking) dan pelanggaran HAM (human right abuse) yang sering dialami oleh buruh migran.
Pertimbangan mendapatkan remittance dengan jumlahnya besar, telah menyisihkan pertimbangan negara dalam melakukan perlindungan dan mengutamakan segi pengerahan yang jika tidak hati-hati akan menjadikan negara sebagai bagian dari bisnis perdagangan manusia (human trafficking busines).
(5) Ketimpangan Papua (bias rasial). Apa yang terjadi secara terus menerus di Papua, sejak Pepera 1969 dan masuknya Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia 1970 persis setengah abad yang lalu hingga hari ini, dan yang terakhir kita saksikan protes besar anti rasisme sekitar bulan Agustus-September 2018 di berbagai kota di Papua, memperlihatkan kompleksitas hubungan antara ketimpangan ekonomi, ketidakadilan, rasisme dan politik yang yang telah berlangsung lama dan menjadi sangat serius di Papua.
Mitos
Kelima bias yang menghasilkan berbagai ketimpangan itu, didukung 5 (lima) mitos politik yang tampaknya hidup dalam jiwa nasional (national psyche) kita bersamaan dengan berkembangnya 5 (lima) bias yang telah saya sebutkan di atas. Jika bias merupakan sebuah hasil dari proses sosial yang empiris sifatnya, mitos merupakan hasil dari proses psikologis yang lebih sering tidak memiliki dasar empiris.
Kelima mitos itu adalah: (1) Mitos kesatuan yang mematikan persatuan, (2) Mitos pertumbuhan yang menafikan pemerataan, (3) Mitos keharmonisan yang mengaburkan peminggiran, (4) Mitos demokrasi yang mengesampingkan kedaulatan rakyat, dan (5) Mitos negara hukum yang mengabaikan martabat kemanusiaan.
Persoalannya, bias dan mitos ini dalam prosesnya telah menjadi bagian dari institusi atau menjadi institusi itu sendiri (embedded institution) dan seringkali mendasari pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan negara. Transformasi sosial, sebagai hasil dari rekayasa sosial kita selama setengah abad, sejak awal Orde-Baru hingga saat ini, telah menghasilkan sebuah struktur sosial yang timpang.
Covid-19 telah membuka mata terhadap ketimpangan itu. Struktur sosial yang timpang ini menjadikan masyarakat kita sesungguhnya rentan (vulnerable) terhadap goncangan sosial, krisis ekonomi dan gejolak politik. Ketahanan sosial kita saat ini, saya khawatir, sedang berada dalam tingkat yang rendah. (*)
Catatan: Artikel ini dimuat pertama kali di: http://kajanglako.com/id-10979-post-50-tahun-rekayasa-sosial-5-bias-dan-5-mitos.html. Artikel ini telah melalui beberapa penyesuaian tata-bahasa, sitasi dan subjudul dari versi aslinya. Artikel ini dimuat-ulang di sini untuk tujuan pendidikan dan atas persetujuan penulis dan redaksi Kajanglako.com.
Riwanto Tirtosudarmo, peneliti senior.