Ekoturisme merupakan kegiatan transformatif yang melalui itulah komoditas hidup menghasilkan nilai dan dari situlah jenis produksi nilai ini juga memproduksi dan mempertahankan alam tawan (captive nature). Sejumlah kegiatan ekoturisme yang ada mencakup susur hutan, melihat satwa liar, susur gua, melihat burung, berkemah, kegiatan-kegiatan budaya, dan arung jeram.
STASJA KOOT, LUBABUN NI’AM, CHANTAL WIECKARDT, RODERICK BUISKOOL, NADYA KARIMASARI, JOOST JONGERDEN
Pendahuluan
Dalam tulisan ini, kami menelusuri perkembangan terbaru ekoturisme sebagai satu bentuk ekspansi kapitalis di zona penyangga sisi timur Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Sumatra, Indonesia. Interaksi dari dekat dengan alam, dan beberapa satwa karismatik tertentu, menjadi ajang penyebaran nilai-nilai neoliberal melalui turisme ke tempat-tempat terpencil (Duffy 2013), termasuk di dalamnya proses-proses penting berupa privatisasi dan komodifikasi. Pertama, kami membahas tentang privatisasi. Kami memberi perhatian khusus pada proyek ekoturisme berbasis relawan bernama Green Life di Batu Katak dan peran proyek tersebut dalam “perampasan hijau” untuk konservasi. Kedua, kami berfokus pada komodifikasi dan bagaimana nilai diciptakan melalui interaksi manusia dengan gajah tawan (captive elephants) di Tangkahan.[1] Tulisan ini diakhiri dengan kesimpulan singkat mengenai perkembangan pertumbuhan turisme secara lebih luas dan kemungkinan dampaknya bagi alam dan manusia. Tulisan ini berbasis pada dua artikel penelitian terbaru (Ni’am, Koot, dan Jongerden 2021; Wieckardt, Koot, dan Karimasari 2020) dan satu bab buku yang akan terbit (Buiskool dan Koot akan terbit). Penelitian untuk ketiga terbitan tersebut dilakukan antara Februari 2017 dan April 2020.
Batu Katak dan Tangkahan yang terletak di pinggir TNGL (lihat Gambar 1) merupakan titik rawan keanekaragaman hayati yang utama di Sumatra yang terdiri atas hutan tropis. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat deforestasi yang paling tinggi, dan dalam hal ini Sumatra termasuk menonjol. Sebagian besar orang yang hidup di sekitar TNGL bergantung pada hutan sebagai sumber makanan dan penghidupan mereka sehingga menjadikan konservasi hutan hujan sangat penting bagi penduduk lokal. Para turis terpikat pada TNGL karena berbagai flora endemiknya, termasuk bunga terbesar di dunia, dan fauna yang terancam punah seperti orangutan Sumatra, siamang, beruang madu, harimau Sumatra, badak Sumatra, dan gajah Sumatra. Sejumlah kegiatan ekoturisme yang ada mencakup susur hutan, melihat satwa liar, susur gua, melihat burung, berkemah, kegiatan-kegiatan budaya, dan arung jeram.
Ekoturisme dan “Green Life” di Batu Katak
Sebagian besar penduduk Batu Katak hidup dari pertanian skala kecil dan memancing, sementara sejumlah penduduk lain bergantung semata pada pertanian monokultur seperti karet dan kelapa sawit. Sebagai sumber diversifikasi penghidupan, beberapa penduduk Batu Katak mulai mengembangkan turisme sejak 2010-an. Di samping turis mancanegara, turis domestik juga memainkan peran penting. Sebagian besar kegiatan seperti susur hutan, arung jeram, atau susur gua biasanya dilakukan oleh turis mancanegara, sedangkan turis domestik cenderung tertarik pada liburan singkat, piknik, dan berfoto dengan latar alam yang menawan (misalnya, di air terjun). Ini menjadikan turis mancanegara lebih membawa keuntungan.
Di pinggir Batu Katak, sebuah inisiatif konservasi dan ekoturisme bernama “Green Life” dikembangkan sejak 2009 di atas lahan yang diprivatisasi. Pemilik dan pengelola lahan tersebut adalah gabungan antara lembaga swadaya masyarakat asal Ceko dan Indonesia. Green Life membeli tanah tersebut dari orang lokal dengan janji bahwa mereka memberi harga yang sangat bagus atas tanah yang bernilai kecil. Karena hal itu, Green Life menunjukkan sebuah kasus gamblang tentang “perampasan hijau” (green grabbing), yang berarti “peruntukan tanah dan sumberdaya untuk tujuan-tujuan lingkungan” (Fairhead, Leach, dan Scoones 2012: 238). Proyek tersebut bertujuan untuk mencegah deforestasi skala besar oleh industri kelapa sawit dan kertas, dan mengendalikan “penyerobotan secara ilegal oleh pemburu, perambah, dan perkebunan”.[2] Saat ini kawasan Green Life mencakup luasan 107,3 hektare dan terdapat ambisi untuk mengembangkannya menjadi 700 hektare.
Dalam persepsi Green Life, manusia dan alam, khususnya satwa liar, tidak dapat lagi tinggal bersamaan secara damai dan, dengan demikian, alam harus dipisahkan dari “orang-orang yang rakus, pendendam, bodoh, atau tak berkepribadian yang melakukan kejahatan terhadap alam di sekitar kita”.[3] Para pekerja dan pendukung Green Life menganggap orang-orang yang tinggal di sekitar TNGL sebagai ancaman terbesar terhadap alam, terutama para pemburu dari desa-desa sekitar yang “belum dapat ditemui”.[4] Untuk mencegah berbagai praktik ilegal, mereka membentuk Komando Harimau, sebuah unit antiperburuan, dan mereka pun mulai menggunakan kamera pengintai serta menempel poster dan papan penanda yang berisi daftar kegiatan-kegiatan yang dilarang di dalam TNGL dan cagar alam mereka.
Pada awalnya, Green Life hampir tidak melibatkan komunitas lokal. Hal ini berubah ketika proyek tersebut mencoba untuk mendapatkan izin guna memperluas jangkauan Komando Harimau dan kewenangan untuk berpatroli terhadap kegiatan ilegal di dalam TNGL. Untuk mendapatkan izin tersebut, Green Life diminta Pemerintah Indonesia untuk melibatkan komunitas sekitar. Untuk membangun hubungan yang baik dengan penduduk lokal, tersambung dengan penonton global, dan penggalangan dana, kegiatan yang krusial adalah ekoturisme, yang dihadirkan oleh Green Life sebagai peluang mendapatkan penghasilan melalui wisata dengan dampingan pemandu untuk memastikan bahwa “masyarakat lokal melindungi alam karena alam menjadi bernilai bagi mereka” (catatan lapangan, 13 Januari 2018). Para relawan di sektor ekoturisme menghasilkan sumber pendapatan tetap bagi proyek tersebut. Mereka mendukung penduduk Batu Katak dengan menciptakan lapangan pekerjaan.
Sejak kehadirannya, Green Life telah membeli perkebunan karet dan kelapa sawit skala kecil di pinggir TNGL yang semakin mengurangi peluang dari sektor pertanian. Meskipun Green Life menyatakan bahwa penduduk Batu Katak dapat membeli tanah yang terletak lebih dekat dari desa, penduduk mengklaim bahwa tidak ada lagi tanah yang tersedia di sana atau harga tanah telah melonjak sejak kehadiran Green Life. Selain itu, menurut Green Life, kegiatan yang dimaksud dengan “perburuan” termasuk memancing, yang secara resmi dilarang di dalam TNGL, tidak lagi diperbolehkan oleh Green Life untuk dilakukan di dalam atau dekat cagar alam penduduk Batu Katak. Tetapi, banyak penduduk Batu Katak yang bergantung sebagian pada memancing. Akses ke sungai pun menjadi urusan sensitif antara Green Life dan masyarakat.
Para relawan adalah sumber pendapatan bagi Green Life; mereka membantu menjaga pos dan cagar alam serta mengusir pemburu agar tidak masuk ke dalam hutan. Meski para relawan dapat pergi jalan-jalan dengan pemandu lokal dari Batu Katak, sebagian besar dari mereka yang bekerja di sektor turisme melakukannya untuk relawan Green Life, baik sebagai pemandu wisata, pramuantar makanan, pembantu belanja, atau sopir ke bandara di Medan. Bentuk-bentuk baru pekerjaan (tidak tetap) pun muncul dari program relawan Green Life, sehingga memberikan strategi diversifikasi penghidupan. Bekerja sebagai pemandu wisata untuk satu hari dapat memberi seseorang upah yang kadang setara dengan bekerja satu pekan di perkebunan karet dan, karena itu, merupakan pekerjaan populer. Tetapi, kekurangannya adalah pekerjaan itu bukan jenis pekerjaan yang benar-benar stabil karena sifatnya yang tidak tetap. Beberapa penduduk mampu mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang lain dan itu mengubah struktur sosial-ekonomi.
Green Life dan para pekerjanya mengalami kekerasan dan ancaman pada masa lalu. Hal ini mencakup panggilan telepon asing, ancaman pembakaran pos Green Life, serta pengrusakan dan pencurian kamera pengintai dan papan penanda. Tanggapan semacam itu dari komunitas tentu saja merongrong praktik dan tujuan konservasi Green Life dan diartikan oleh manajemen Green Life sebagai bukti bahwa komunitas lokal tidak (atau belum) tahu bagaimana hidup dengan, atau melindungi, alam karena mereka hanya tertarik pada uang. Bagaimanapun juga penilaian atas tanah dan alam oleh komunitas lokal tampaknya lebih kompleks dan tidak selalu dinilai dari segi uang semata tetapi juga dari segi penghidupan dan nilai intrinsiknya. Dari sudut pandang tersebut, mendirikan cagar alam yang tidak memberi akses kepada komunitas lokal tampak tidak masuk akal dan pemborosan bagi komunitas lokal. Salah satu manajer mengakui: “Anda harus bersahabat dengan masyarakat lokal dan bekerjasama dengan pemerintah. Anda tidak bisa menjadi terlalu kaku, atau mereka tidak akan menyukai Anda” (wawancara, 7 Februari 2018). Karena itu, dia mencoba untuk mendukung desa dan ingin membangun hubungan yang baik dengan para penduduk, tetapi manajer lain menjelaskan bahwa dia tidak tertarik pada manusia dan lebih pada bagaimana menyelamatkan alam. Dalam bentuknya yang sekarang, dapat dikatakan bahwa ekoturisme di Green Life kemungkinan tidak akan berhasil membangun hubungan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksudkan oleh komunitas setempat yang diperlukan agar mencapai keberhasilan konservasi jangka panjang. Alasan utamanya adalah karena strategi privatisasi yang dijalankan membawa terlalu banyak kerugian bagi warga desa Batu Katak.
Covid-19 juga memiliki pengaruh signifikan bagi penghidupan orang di Batu Katak. Pembatasan perjalanan memiliki dampak dramatis pada turisme, industri ekonomi terbesar di dunia. Pandemi Covid-19 yang tengah berlangsung menunjukkan sejumlah keterbatasan dari ekoturisme untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan memberdayakan masyarakat. Sementara ekoturisme kerap dihadirkan sebagai strategi diversifikasi penghidupan yang penting untuk meningkatkan keberlanjutan sosial dari masyarakat, goncangan/tekanan seperti pandemi Covid-19 menunjukkan betapa pentingnya langkah untuk tetap menempatkan ekoturisme sebagai strategi diversifikasi dan tidak membuatnya terlalu dominan. Bagaimanapun juga karena berbagai manfaatnya yang menarik ekoturisme kerap menjadi strategi penghidupan yang utama sehingga meningkatkan ketergantungan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti yang terlihat di Batu Katak dan sekitarnya sejak bermulanya pandemi Covid-19.
Ekoturisme Berbasis Gajah di Tangkahan
Sekitar 60 kilometer ke utara, di Tangkahan, komodifikasi alam dan bukan privatisasi memainkan peran dominan: di sini ekoturisme berkisar pada perjumpaan antara pawang gajah (mahout) dan gajah tawan serta antara turis dan gajah tawan. Sebagian besar penduduk laki-laki yang tinggal di sana sebelumnya bekerja sebagai pembalak liar dan dianggap sebagai penyebab kerusakan hutan; saat ini mereka mendapat penghidupan melalui ekoturisme, bekerja di tempat-tempat penginapan dan membuka warung makanan, menjual cinderamata, dan berperan sebagai pemandu wisata. Kegiatan berbasis gajah—terdiri atas memandikan gajah, menggembalakan gajah, dan susur hutan (yakni berjalan di dalam hutan di samping gajah)—menjadi daya tarik utama bagi para turis.
Gajah tawan di Tangkahan dikelola oleh Conservation Response Unit (CRU) berdasarkan perjanjian dengan TNGL. Program CRU membuat perbedaan jelas antara “gajah tawan” dan “gajah konflik”. Gajah konflik merujuk pada gajah liar yang terlibat dalam konflik gajah-manusia. Seiring dengan konversi habitat gajah menjadi lahan-lahan pertanian dan perkebunan, gajah pun semakin terlibat dalam pengrusakan tanaman (komoditas) untuk mencari makan. Seiring dengan penyerobotan yang terus berkembang oleh manusia terhadap habitat gajah, perjumpaan antara gajah dan manusia pun kerap berujung dalam bentuk konflik. Gajah tawan merupakan gajah konflik yang berhasil ditangkap, dijinakkan, dan dilatih maupun keturunan dari gajah-gajah tawan yang lahir di penangkaran. Pada saat penelitian lapangan pada 2018/2019, terdapat sembilan gajah tawan di Tangkahan: enam dewasa dan tiga anak gajah. Semua gajah dewasa merupakan bekas gajah konflik dan semua anak gajah lahir di penangkaran.
Dilatih untuk menjual perjumpaan dengan turis, gajah Tangkahan merupakan “komoditas hidup” di penangkaran: mereka harus tetap hidup agar menambah nilai sebagai komoditas. Nilai komoditas dari komoditas hidup “diturunkan dari status mereka sebagai makhluk hidup” (Collard dan Dempsey 2013: 2648). Termasuk juga di Tangkahan, tidak ada nilai yang diproduksi ketika komoditas tersebut berhenti hidup, apapun penyebab kematiannya (pembunuhan, penyakit, usia tua, dan lain-lain). Komoditas turunan dari makhluk hidup, misalnya daging, bukanlah komoditas hidup; jadi, status “hidup” itu krusial, bersamaan dengan kapasitas reproduksinya. Tetapi, status hidup itu tidak otomatis memproduksi nilai. Dalam ekoturisme Tangkahan, perjumpaan manusia dengan satwa hidup itulah yang menjadi komoditas. “Nilai perjumpaan” multispesies ini terdapat di antara subjek spesies biologis yang berbeda” yang membentuk jalinan hubungan (Haraway 2008: 46). Komodifikasi pun terjadi di dalam perjumpaan tersebut. Dengan cara ini, gajah tawan memiliki nilai kapitalis dalam ekoturisme: nilai yang dieksploitasi melalui momen-momen interaksi antara gajah tawan, mahout, dan turis. Dalam kasus ini, apa yang dijual sebagai komoditas bukanlah si hewan itu sendiri, melainkan pengalaman dari/bersama hewan tersebut, yakni pengalaman untuk memiliki perjumpaan dengan hewan yang dapat dijumpai. Karena itu, hewan tersebut dibuat untuk memproduksi perjumpaan multispesies yang dari situlah pengalaman dihasilkan. Hal yang sangat penting dalam proses ini adalah pembagian antara gajah konflik dan gajah tawan: hanya gajah tawan yang dapat melakukan kegiatan yang membuat statusnya sebagai komoditas hidup dalam ekoturisme jadi kenyataan. Pelibatan gajah tawan merupakan momen krusial dalam transformasi mereka menjadi komoditas sebagai makhluk hidup yang bernilai dalam kegiatan ekoturisme, yang dari situlah nilai moneter mereka memuncak. Dengan cara ini, mereka menjadi hewan yang produktif secara finansial.
Salah satu pekerjaan penting bagi para mahout adalah memandikan gajah-gajah mereka dengan memerintahkan setiap gajah untuk masuk ke sungai dan membiarkan mandi di sana. Gajah disikat di dalam air, dan agar memungkinkan para turis untuk ikut serta, gajah telah dilatih untuk merebahkan diri di badan sungai sehingga para pengunjung dapat menyikat tubuh gajah dengan nyaman. Gajah juga dilatih untuk menampilkan pertunjukan yang memberi nilai perjumpaan yang lebih, antara lain dengan menyemprotkan air melalui belalai ke atas punggung gajah sendiri (untuk menghapus tanah dan lumpur) dan kemudian mandi di dalam air. Untuk memberikan momen fotografis yang bagus, gajah menghadap ke turis ketika mereka melakukan hal itu. Di penghujung sesi memandikan gajah, para turis mengambil gambar gajah dan mahout yang duduk di atas punggung gajah masing-masing. Untuk ini, gajah juga telah dilatih untuk menunjukkan belalai ke muka, menghadap ke turis dalam pose yang paling memanjakan kamera. Perjumpaan tersebut merupakan pertunjukan buatan: pertunjukan memandikan gajah di pinggir sungai, misalnya, ditampilkan di tepi hutan hujan. Dari titik kumpul di mana para turis menunggu gajah-gajah untuk keluar dari pepohonan, lebatnya hutan hujan memberikan latar yang memanjakan mata: ribuan pohon yang menjulang tinggi dipenuhi dengan suara monyet, burung, dan beragam jenis hewan yang lain. Para turis dapat dengan mudah menyaksikan hewan-hewan tersebut berlarian, berlompatan, dan beterbangan ke sana-kemari. Setelah gajah-gajah muncul dari dalam hutan di seberang sungai, mereka pun memasuki dan menyeberangi sungai. Inilah momen ketika para turis biasanya mulai mengambil gambar dan membuat video gajah dengan hutan sebagai latar. Tontonan yang otentik dan direkayasa dengan teliti inilah yang memungkinkan terjadinya perjumpaan dan kemudian penciptaan nilai.
Seturut dengan itu, keterangan pengantar disampaikan kepada para turis untuk menjelaskan sejarah gajah tawan di sana. Hal ini penting untuk menerangkan bahwa ekoturisme berbasis gajah sebagaimana ditampilkan di Tangkahan bukanlah tentang penyingkiran satwa tersebut dari habitat alami mereka, melainkan sebagai upaya untuk merawat gajah yang sebelumnya terlibat dalam konflik. Dalam narasi ekoturisme, perawatan terhadap gajah jinak diartikulasikan dengan jelas untuk membedakan hal itu dari program sebelumnya, yang di dalamnya penangkapan dan penjinakan gajah liar tergambarkan secara brutal. Tujuannya adalah memberikan para turis perasaan berkontribusi dalam upaya konservasi dan perawatan gajah. Secara langsung dan tidak langsung, pertunjukan ekoturisme bertujuan untuk melibatkan turis ke dalam narasi tentang kegiatan konservasi yang tidak eksploitatif, dengan ekoturisme yang diartikulasikan sebagai penyelamatan dan perawatan bekas gajah konflik. Tetapi, menjual perjumpaan dengan gajah tawan membantu untuk menjaga mereka dalam penangkaran, di bawah kontrol langsung dan perawatan oleh manusia di dalam kandang buatan manusia. Dengan demikian, ekoturisme merupakan kegiatan transformatif yang melalui itulah komoditas hidup menghasilkan nilai dan dari situlah jenis produksi nilai ini juga memproduksi dan mempertahankan alam tawan (captive nature).
Kesimpulan
Tempat-tempat turisme yang kecil dan terpencil seperti Batu Katak dan Tangkahan sering dikunjungi oleh para turis dalam satu rencana perjalanan, yang di Sumatra juga termasuk destinasi turisme massal seperti Bukit Lawang (yang berkisar pada perjumpaan dengan orangutan) dan Danau Toba. Destinasi yang disebut terakhir itu terletak masing-masing sekitar 90 dan 120 kilometer dari Batu Katak dan Tangkahan (lihat Gambar 2). Danau Toba dipilih oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu dari tiga “lokasi prioritas” dari “10 Bali baru” yang dipilih untuk merangsang pertumbuhan turisme lebih lanjut. Pertumbuhan ini berjalan mulus, termasuk di Sumatra Utara, tetapi sekarang tergoncang oleh Covid-19. Oleh karena jaraknya yang dekat, TNGL kemungkinkan akan terdampak oleh rencana pertumbuhan seperti Danau Toba dan masih harus ditunggu bagaimana kelompok-kelompok lokal yang tinggal di kawasan penyangga TNGL akan merespons pertumbuhan (eko)turisme yang menjadi ajang ekspansi nilai-nilai kapitalis, seperti privatisasi dan komodifikasi. Sebagaimana kami tunjukkan dalam tulisan ini, privatisasi memiliki konsekuensi serius bagi komunitas lokal, sementara itu komodifikasi alam sebagai strategi konservasi dipertanyakan. Saat ini, di Danau Toba pertumbuhan turisme mengarah pada pertarungan hukum dengan masyarakat adat yang digusur untuk pendirian resor-resor mewah turisme, sementara lahan-lahan pertanian dirusak olehnya. Hal ini belum tentu akan terjadi juga di TNGL, tetapi privatisasi sebagai perampasan hijau dan komodifikasi alam merupakan strategi bermasalah yang memperluas nilai-nilai kapitalis ke tempat-tempat pedesaan terpencil.
Catatan Akhir
[1] Kami menggunakan istilah gajah tawan sebagai terjemahan dari istilah Bahasa Inggris captive elephants. Jenis gajah yang dimaksud biasanya disebut sebagai gajah jinak di Indonesia, yang secara harfiah lebih dekat dengan istilah tamed elephants. Istilah gajah jinak mungkin menggambarkan eufimisme dari proses brutal “domestikasi” gajah dalam sejarah Indonesia modern. Tentang institusionalisasi gajah tawan di Indonesia, lihat Lair (1997) dan Ni’am, Koot, dan Jongerden (2021). – Catatan penerjemah.
[2] Diakses dari http://greenlifeproject.org/green-life-reserve-2/ pada 10 November 2021.
[3] Diakses dari http://greenlifeproject.org/forest-for-children/ pada 10 November 2021.
[4] Diakses dari http://greenlifeproject.org/threats/ pada 10 November 2021.
[5] Diakses dari https://invest-islands.com/ten-new-bali-project/ pada 12 November 2021.
Referensi:
Buiskool, Roderick, dan Stasja Koot. Akan terbit. “COVID-19 and the Limits of Community-Based Ecotourism as a Sustainable Livelihood Diversification Strategy: The Case of the Indigenous Karo of Batu Katak, North Sumatra, Indonesia.” Dalam Ecotourism Impacts on Indigenous Peoples, disunting oleh Wayne Babchuck dan Robert Hitchcock. Lexington Books.
Collard, Rosemary-Claire, dan Jessica Dempsey. 2013. “Life for Sale? The Politics of Lively Commodities.” Environment and Planning A: Economy and Space 45 (11): 2682–99. doi: https://doi.org/10.1068/a45692.
Duffy, Rosaleen. 2013. “The International Political Economy of Tourism and the Neoliberalisation of Nature: Challenges Posed by Selling Close Interactions with Animals.” Review of International Political Economy 20 (3): 605–26. https://doi.org/10.1080/09692290.2012.654443.
Fairhead, J., M. Leach, dan I. Scoones. 2012. “Green Grabbing: A New Appropriation of Nature?” Journal of Peasant Studies 39 (2): 237–61. doi: https://doi.org/10.1080/03066150.2012.671770.
Haraway, Donna. 2008. When Species Meet. Minneapolis dan London: University of Minnesota Press.
Lair, Richard C. 1997. Gone Astray: The Care and Management of the Asian Elephant in Domesticity. Bangkok: Food and Agriculture Organization (FAO) Regional Office for Asia and the Pacific.
Ni’am, Lubabun, Stasja Koot, dan Joost Jongerden. 2021. “Selling Captive Nature: Lively Commodification, Elephant Encounters, and the Production of Value in Sumatran Ecotourism, Indonesia.” Geoforum 127:162–70. doi: https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2021.10.018
Wieckardt, Chantal, Stasja Koot, dan Nadya Karimasari. 2020. “Environmentality, Green Grabbing, and Neoliberal Conservation: The Ambiguous Role of Ecotourism in the Green Life Privatised Nature Reserve, Sumatra, Indonesia.” Journal of Sustainable Tourism. doi: https://doi.org/10.1080/09669582.2020.1834564.
Tulisan ini sebelumnya diterbitkan dalam Bahasa Inggris di laman Stasja Koot https://stasjakoot.com/2021/12/14/privatisation-and-commodification-ecotourism-as-capitalist-expansion-in-sumatra-indonesia/ dan LANDac (https://www.landgovernance.org/blog-privatisation-and-commodification-ecotourism-as-capitalist-expansion-in-sumatra-indonesia/).
Stasja Koot. Dosen Sosiologi Pembangunan dan Perubahan di Wageningen University & Research, Belanda
Lubabun Ni’am. Alumnus S2 Kajian Pembangunan Internasional di Wageningen University & Research, Belanda
Chantal Wieckardt. Alumnus S2 Kajian Pembangunan Internasional di Wageningen University & Research, Belanda
Roderick Buiskool. Alumnus S2 Kajian Globalisasi dan Pembangunan Internasional di Maastricht University, Belanda
Nadya Karimasari. Kandidat Doktor Sosiologi Pembangunan dan Perubahan di Wageningen University & Research, BelandaJoost Jongerden. Dosen Sosiologi Pedesaan di Wageningen University & Research, Belanda
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dilakukan oleh Lubabun Ni’am. Penyuntingan terjemahan dilakukan oleh Anton Novenanto.