Krisis pangan merupakan bencana kemanusiaan karena potensial memunculkan kelaparan massal yang berujung pada kematian. Subjek rentan yang menerima dampak paling besar dari krisis ini adalah petani di kawasan perdesaan.
SYAIFUL ANAM
Kabar buruk tentang kematian yang diakibatkan oleh virus korona menghantui semua masyarakat di dunia, dari pelbagai lapisan sosial dan ekonomi. Ketakutan tersebut disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, wabah ini merupakan virus yang baru muncul dan dikenali saat ini—meski bukan satu-satunya virus yang mematikan—persebarannya yang cepat dan mengakibatkan kematian massal di pelbagai negara di dunia. Kedua, vaksin virus lambat untuk ditemukan dan didistribusikan. Sejauh ini hanya mengandalkan bagaimana mencegah persebaran virus tersebut.
Ketakutan menimbulkan kepanikan. Kepanikan menyeret kita pada situasi krisis dan rentan. Di Indonesia, ketakutan massal itu mulai menapaki masa serius sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan dua orang yang terjangkit virus korona pada 3 Maret 2020. “Orang Jepang ke Indonesia bertamu siapa, ditelusuri dan ketemu. Ternyata orang yang terkena virus corona berhubungan dengan dua orang, ibu 64 tahun dan putrinya 31 tahun, dicek, dan tadi pagi saya dapat laporan dari Pak Menkes, bahwa ibu ini dan putrinya positif corona” (Kompas.com, 2020).
Tentu saja, jauh sebelum itu riuh-rendah mengenai virus baru yang muncul dan menyebar pesat di Tiongkok sudah membuat kalangan masyarakat luas khawatir. Seturut tali dengan hal itu, kekhawatiran masyarakat luas mendapatkan pijakan formal dan institusional.
Seketika “korona” menjadi perbincangan luas yang menimbulkan ketakutan, kepanikan, dan krisis. Krisis terjadi sebab aktivitas terhenti. Mobilisasi manusia dikontrol dalam batasan ruang tertentu. Sebab aktivitas manusia menjadi hal utama dalam segala hal di dunia ini. Apapun yang membutuhkan tenaga manusia secara otomatis berhenti. Ini bukan maksud meletakkan pandangan antroposentrisme sebagai hal yang utama, tetapi fakta sosio-ekonomi selalu bergantung padanya. Aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi terhenti. Tentu saja kapitalisme mengalami krisis.
Negara tampil sebagai aktor yang berkuasa dalam aspek kepengaturan. Dampak yang diakibatkan oleh pandemi tentu saja luas. Pada bagian ini, fokus utamanya adalah sebuah penegasan tentang marjinalitas petani yang berada di wilayah terpencil, perdesaan. Mereka yang bertahan tertatih menghadapi pelbagai krisis. Kendati demikian, krisis bukan disebabkan satu-satunya oleh sebaran wabah baru-baru ini. Hadirnya negara dalam realitas politik tidak bisa dihilangkan begitu saja. Negara dan wabah adalah satu kesatuan integral yang harus dibongkar dalam membaca realitas krisis yang kompleks.
Negara dan Kuasa
Perlu dicatat dengan cetak tebal, Covid-19 menjadi wabah yang mengglobal. Oleh karenanya, WHO menetapkan sebagai bencana global. Mulanya, persebaran virus ini membuka kedok negara-negara yang mengalami krisis kesehatan. Kematian manusia dalam jumlah massal di banyak negara menegaskan penanda eksistensial dari virus ini. Kematian massal adalah bencana dan virus adalah faktor penyebabnya. Di hadapan virus ini, kecanggihan teknologi medis kontemporer tidak berdaya. Lunglai. Nyaris putus asa.
Mengutip Harari, “kita … hidup dalam sebuah neraka epidemiologis dengan satu wabah mematikan” (Harari, 2018: 11). Dari krisis kesehatan yang dialami banyak negara bergeser ke krisis ekonomi. IMF memandang bahwa tingkat produktivitas ekonomi di pelbagai Negara sedang mengalami kelesuan. Seorang ekonom kenamaan IMF, Gita Gopinath memaparkan bahwa “krisis yang terjadi saat ini yang disebut dengan the Great Lockdown merupakan krisis yang sebelumnya tidak pernah terjadi di dunia. Pasalnya, kali ini krisis terjadi dan dipicu oleh pandemi virus corona (Covid-19) yang merupakan kondisi darurat kesehatan, tetapi segera berubah menjadi krisis ekonomi dengan langkah-langkah pembatasan sosial dan perjalanan yang dilakukan untuk meredam penyebaran” (Rafie, 2020).
Krisis ekonomi yang dialami oleh banyak negara dan terlebih dilegitimasikan oleh lembaga keuangan internasional, seperti IMF, mengubah cara pandang terhadap wabah virus ini. Bahwa krisis ekonomi perlu diselamatkan. Dalam situasi dan konsekuensi apapun pembatasan sosial sekala besar harus dicabut. Pada titik ini, kita bisa menarik secara paralel bahwa sumber krisis itu bukan virus tapi berhentinya mobilitas manusia sebab tenaga manusia adalah penghasil komoditas dan komoditas adalah syarat mendasar dari keberlangsungan siklus akumulasi kapital.
Negara-negara diapit oleh dua problem utama. Angka kematian yang semakin meningkat yang tidak berimbang dengan keberhasilan tenaga medis dan resesi ekonomi yang terus berlangsung. Tentu saja, banyak negara tidak akan tinggal diam memperpanjang duka global dengan air mata kesedihan. Mereka harus mengorbankan satu hal demi hal lain. Pada titik inilah kita bisa melihat bagaimana mesin-mesin korporasi itu bekerja. Termasuk korporasi negara. Di bawah intimidasi pasar dan lembaga korporasi internasional manusia kehilangan makna eksistensialnya sebagai makhluk biologis yang rentan terhadap virus.
Indonesia salah satu yang mengalami krisis tersebut. Hanya dalam kurun empat bulan saja, jumlah total kasus penderita Covid-19 di Indonesia mencapai 89.869 kasus (21 Juli 2020). Jumlah itu sudah melampaui China dengan jumlah penderita sebanyak 86.068 kasus (per 20 Juli 2020).[1] Per 6 April 2021, jumlah konfirmasi Covid-19 di Indonesia mencapai 1.542.516 kasus dengan total jumlah kematian sebanyak 41.977 kasus—jauh melampaui Bangladesh dengan jumlah total terkonfirmasi 651.652 kasus dengan kasus kematian 9.384.[2] Angka kematian yang semakin meningkat bersamaan dengan kelesuan ekonomi disertai kelemahan kapasitas sistem kesehatan telah membuka sisi gelap dari situasi yang sedang terjadi saat ini. Terlebih apabila kita melihat secara spesifik lagi pada kelompok rentan yang mengalami marginalisasi—akibat praktik politis negara dan/atau pemerintah—jauh sebelum pandemi menyerang.
Praktik marginalisasi bisa dengan gamblang jika dan hanya jika kita dapat menerima dengan terbuka bahwa kemiskinan yang dialami oleh kebanyakan orang bukan sebab mereka malas bekerja. Kemiskinan erat kaitannya dengan relasi ekonomi-politik dan sosial-politik yang timpang, tidak adil. “Persoalan kemiskinan erat kaitannya dengan kebijakan negara dan kebijakan sistem politik ekonomi baik tingkat lokal, nasional, regional bahkan tingkat global yang memang sengaja didesain agar struktur sosial timpang dan tidak merata” (Faqih, 2003: 20). Kenyataan ini menjadi penegas bagi relasi yang tidak setara antara rakyat kecil seperti petani dengan negara sebagai aktor yang lebih leluasa dalam hal ikhwal kepengaturan.
Negara bertolak belakang dengan apa yang semestinya, yakni melindungi serta menjadi representasi dari pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya warganya. Relasi tampil dengan cara-cara yang hirarkis, alih-alih setara. Lalu muncul perntanyaan mendasar: bagaimana sistem tersebut bisa dikatakan gagal atau berhasil—dengan catatan dampak marginalitas bagi rakyat kecil seperti petani dan kelompok rentan lainnya? Kita lihat dalam model serta pola-pola pembangunan yang digunakan oleh negara Indonesia. Pada era Orde Baru, pemerintahan menerapkan kebijakan percepatan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan. Negara merupakan aktor utama dalam hal ini. Polanya sentralistik dalam kuasa negara. Model pembangunan seperti itu disebut dengan istilah “state-led development atau kapitalisme negara” (Faqih, 2003: 23).
Kapitalisme negara sebuah nama lain dari model pembangunan yang segala macam bentuk peraturannya berada di tangan negara dengan mengandalkan sektor hutang sebagai sandaran utamanya. Lembaga pendonor, seperti IMF dan World Bank, selalu berada di balik suksesi pembangunan tersebut. Indonesia di bawah kendali Orde Baru mampu menuntaskan program pembangunan. Setidaknya hal itu dilihat dari program swasembada pangan sebagai bagian dari Revolusi Hijau. Menjadi negara pengekspor beras adalah capaian tertentu. Akan tetapi, capaian bukan sesuatu yang baik-baik saja dalam setiap perkembangannya. Lebih tepatnya mencapai dengan banyak mengorbankan sesuatu yang lain: peminggiran hak-hak sipil.
Faqih (2013: 27) menuliskan Revolusi Hijau dalam waktu singkat berhasil mengubah diri dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara pengekspor beras. Namun demikian, jika dipandang secara kualitatif, jangka panjang, dan pandangan yang lebih kritis, ternyata Revolusi Hijau banyak juga mendatangkan rentetan persolan mendasar yang berupa marginalisasi petani kecil. Orde Baru pada akhirnya tidak dapat bertahan lebih lama. Kurun 1997-1998 adalah masa-masa sulit. Krisis moneter terjadi dan melanda sebagian besar negara di Asia Tenggara.
The Great Crisis adalah istilah untuk menggambarkan situasi yang terjadi pada masa itu. Krisis besar tidak hanya disebabkan oleh anjloknya nilai tukar rupiah atas dolar ataupun inflasi dan resesi akibat melemahnya daya beli. Melainkan mewabahnya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, krisis tidak hanya soal ekonomi belaka. Tetapi juga menyentuh persoalan hak sipil, politik, ekonomi, soial, dan budaya yang dipinggirkan oleh negara. Krisis 1998 dan runtuhnya Orde Baru meninggalkan bekas dalam memori kolektif rakyat kebanyakan di Indonesia. Tragedi yang penuh dengan luka itu menjadi trauma yang pada akhirnya memunculkan krisis kepercayaan rakyat terhadap negara. Krisis kepercayaan adalah fenomena subversif terhadap tindak represif yang dilakukan selama kurang lebih 32 tahun mengendap dan berlanjut sampai saat ini.
Erza Killian dalam suatu webinar bertajuk “Ketahanan Sosial-Ekonomi Menghadapi Pandemi” menyampaikan paparan yang cukup padat terkait apa yang membedakan krisis 1998 dan krisis saat ini. Menurutnya, krisis 1998 itu sektor yang menyerang sektor permintaan (demand). Sementara krisis yang terjadi saat ini sedikit berbeda sebab yang diserang adalah sektor pasokan (suply). Kendati demikian, subyek rentan dari kedua krisis tersebut adalah kelompok yang secara politik-ekonomi dan sosial-ekonomi terpinggirkan, khususnya petani.
Pada 31 Maret 2020, Koalisi Rakyat Bantu Rakyat (KOBAR) yang terdiri dari 36 aliansi gerakan masyarakat sipil memprotes darurat sipil yang diberlakukan oleh pemerintah. Dalam siaran pers, ditulis:
“di tengah tuntutan masyarakat agar diberlakukannya karantina wilayah, pemerintah justru berencana mengeluarkan kebijakan darurat sipil. Kebijakan ini semakin menciptakan ketidakpastian hidup di kalangan warga. Kekhawatiran terhadap meningkatnya represivitas aparat dan pelanggaran demokrasi oleh negara yang memaksakan kehendaknya pada masyarakat sipil yang sedang mengalami kerentanan akibat wabah Covid-19 akan menambah beban penderitaan masyarakat.”[3]
Negara memberlakukan darurat sipil di tengah kondisi sebaran wabah tanpa memperhatikan lebih jauh tentang kerentanan masing-masing warga. Bahkan kerapkali tindak represif oleh aparat memunculkan ketakutan dalam psikologi warga. Pada titik ini yang terjadi justru bukan kesadaran masing-masing warga terhadap bahaya wabah, melainkan ketakutan atas pendisiplinan yang dilakukan oleh aparat terhadap sipil.
Kisah Dua Petani Madura Menghadapi Pandemi
Petani menjadi subjek rentan jauh sebelum masa pandemi sebab dalam relasi sosial-ekonomi mereka adalah kelompok marginal. Memasuki pandemi mereka ibarat jatuh ke lubang neraka yang lebih dalam tanpa mengerti jalan ke luar menuju surga. Bertolak dari gambaran umum di atas tentang datangnya sebuah kabar buruk penyebaran pandemi dan kematian yang diakibatkannya, negara sebagai aktor yang memiliki wewenang dalam aspek kepengaturan krisis yang lebih kompleks.
Di bagian ini, saya memaparkan kehidupan dua petani kecil di Desa Tagangser Daja, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan dalam menghadapi krisis yang kompleks ini.[4] Saya terlibat langsung dalam praktik keseharian sebagai petani dengan menyandarkan hidup sepenuhnya pada hasil tegalan. Dua petani itu adalah dua bersaudara yang kesehariannya tidak terlepas dari aktivitas tani. Fatimah adalah saudara tertua dan Rahmah bungsu.
Fatimah memiliki tiga anak. Ketiganya sudah menikah. Dua anak lelakinya, Solehuddin dan Ahmad Rofiq, memilih merantau ke Bekasi. Sedang anak bungsunya, Nur Fitria, tinggal bersama dengannya. Fatimah memiliki lima petak tegal yang padanya dia bersama keluarganya menggantungkan hidup. Semenjak November 2019, Fatimah menderita infeksi lambung membuatnya tidak lagi bisa bekerja di sawah. Suaminya, Abdul Latif, bersama anak bungsunya harus bekerja lebih keras daripada sebelumnya. Penyakit yang diderita Fatima membuat keluarga itu kehilangan satu tenaga produktifnya.
Selain bekerja di sawah, Nur Fitria juga merawat Fatimah yang sakit dan merawat anaknya yang masih kecil. Suaminya, Abdul Aziz, juga menderita infeksi lambung. Satu jenis penyakit yang sama dengan Fatimah. Sementara itu, Rahmah dengan suaminya, Rahman, memiliki lima lahan gerapan. Tiga lahan milik sendiri dan dua lahan lainnya adalah milik orang lain. Rahmah dan Rahman memiliki tiga orang anak. Syamsul, anak pertama, memilih hidup sebagai rantau di luar kota dan Hartono adalah pelajar yang menempuh masa studi di Malang. Nurur Rahmah, si bungsu dari tiga bersaudara itu, tinggal di pesantren.
Dua keluarga tersebut, jika dilihat dari status penggarapan tanahnya, termasuk owner-operators only dan owner operator cum-tenan.
“Kita dapat membedakan tiga jenis rumah tangga petani berdasarkan status penggarapan tanah yang dilakukannya, yakni: (1) petani yang menggarap sendiri tanah miliknya, dan hanya tanah itu saja yang dia kerjakan/garap (owner-operators only); (2) petani pemilik tanah yang selain menggarap tanah miliknya juga menggarap tanah orang lain dengan cara menyakap (owner operator cum-tenant); dan (3) petani yang tidak memiliki tanah tetapi menggarap tanah orang lain dengan cara menyakap (landless-tenants).” (Bachriadi & Wiradi, 2011: 29)
Rata-rata tegalan di Desa Tagangser Daja dipenuhi dengan tanaman cabai. Sebagian dalam jumlah kecil itu berisi bawang merah (brambang) sebagai persediaan bibit untuk musim mendatang. Kondisi Fatimah dan menantu laki-lakinya dengan penyakit serupa menambah beban keseharian keluarganya mereka. Bukan hanya akibat hilangnya tenaga produktif untuk memanen cabai merah di tegal, melainkan perawatan yang harus dijalankan keduanya kerapkali membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Nur Fitria, anak bungsu, adalah satu-satunya tenaga produktif yang menjadi tulang punggung keluarga. Dalam satu minggu, hanya pada hari Kamis dan Jumat dirinya diam di rumah. Selebihnya, dia berada di tegal. Sedang Abdul Latif, ayahnya, mengurus ternaknya dan sepetak tegal yang ditanami bawang merah. Keduanya bekerja di tegal sepanjang hari. Siang hari mereka kembali ke rumah barang sejenak untuk makan dan sholat.
Kondisi Rahmah tidak jauh berbeda. Sepanjang hari dia dan Rahman menghabiskan waktu bekerja di ladang. Pulang saat siang menjelang adzan berkumandang. Istirahat untuk makan dan sholat. Lalu kembali lagi ke tegal. Setiap hari mereka berdua meninggalkan jejak-jejak kaki di sela larik-larik tegal. Bekas-bekas jari yang rapuh di ranting yang sedang tumbuh adalah tanda keluh yang tak terucap. Pertengahan Mei 2020 sebagian buah cabai matang mulai bersemai. Rahmah dan Rahman mulai bekerja di tegal memetik buah yang sudah matang. Dalam keadaan berpuasa mereka bekerja di tegal. Hasilnya belum seberapa karena di bulan itu buah matang pertama. Satu pohon biasanya buah matang tidak lebih dari dua cabang ranting.
Spekulasi harga pasaran sangat tidak menguntungkan. Pada bulan Mei, harga cabai matang Rp 4.000/kg sedang cabai yang masih hijau seharga Rp 1.000/kg bahkan sampai Rp 500/kg. Jika dibandingkan dengan musim panen tahun 2019, harga perkilo itu jauh dari menguntungkan. Dalam banyak kesempatan, saat kami bersama-sama istrahat di bawah pohon mangga yang rindang untuk menepi sejenak dari teriknya matahari, kami bercakap tentang banyak hal. Sesekali saya bertanya, berapa harga cabai merah per kilonya pada musim lalu. Siapa saja pedagang kecil (penadah) yang berani mengambil harga paling tinggi.
Nur Fitria berkisah, tahun lalu harga cabai matang sampai menyentuh Rp 50.000/kg. Orang-orang memenuhi tegal dengan riang. Memetik cabai dengan harga yang menguntungkan bagi petani ibarat menyelam ke air jernih dan meneguknya. Dulu keluarga Nur Fitria mempekerjakan tenaga banyak orang untuk memetik cabai di ladangnya. Setiap hari dalam satu minggu. Sebelum Fatimah menderita infeksi lambung, mereka memanen dari tegal ke tegal dengan hasil per hari mencapai 50-80 kilogram. Jika ditotal, keuntungan yang didapat dan dikurangi ongkos tenaga sewa buruh, Rp 50.000/orang/hari, keuntungannya masih banyak. Di musim kali ini, dirinya tidak berani mempekerjakan banyak tenaga buruh sebab harga cabai matang di berada di titik terendah.
Semua pedagang kecil dan/atau penadah berlomba-lomba mengambil harga tinggi. Hampir sama. Kalau pun ada selisih, tidak terlalu jauh, kisaran Rp 500/kg. Yang membedakan antara satu pedagang dengan lainnya adalah potongan per kilo yang diambil dari timbangan. Cih [haji] Heji adalah pedagang yang paling diminati banyak petani di antara yang pedagang lain sebab harga yang ditawarkannya selalu stabil dengan potongan timbangan tidak terlalu banyak. Petani tidak merasa rugi. Saya banyak mengetahui beberapa panadah yang membeli cabai dari petani untuk kemudian dijual kembali dalam siklus pasar yang lebih luas.
Achmad Zaini, seorang pedagang yang masih muda dan terhitung baru-baru ini menjadi pedagang, juga disenangi petani sebab kecenderungannya untuk jujur. Selain itu, setiap petani yang menyetor hasil panen cabe diberinya uang bensin sebagai imbalan, sebagai pengikat agar petani kembali menjual padanya—dan tentu mengajak petani lain. Fenomena semacam itu lumrah saya jumpai hampir di semua pedagang kecil. Mereka sudah punya hitung-hitungannya rsendiri untuk menyiasati untung/rugi yang bakal diterimanya.
Sementara pedagang lainnya, seperti Buk Haji Salma tidak terlalu diminati oleh petani. Selain soal potongan timbangan, petani tidak bisa menerima uang seketika menjualnya. Uang baru bisa didapat keesokan harinya. Satu-satunya sebab yang membuat petani seperti Rahmah dan Fatimah sesekali menjual pada Salma adalah ikatan famili. Salma adalah ipar dari orangtua Fatimah dan Rahmah. Ikatan kekeluargaan kerapkali menimbulkan kecanggungan bagi kebanyakan petani Madura.
Kembali terngiang apa yang disampaikan Erza Killian tentang “The Great Lockdown”. Ini istilah krisis yang diungkapkan oleh IMF akibat larangan mobilisasi skala besar yang menimbulkan resesi ekonomi membuat pasokan terhenti. Petani yang menyesuaikan tanaman di ladang dengan kebutuhan pasar global, seperti cabai dan bawang menerima dampak langsung. Cabai nyaris tidak laku sama sekali. Bahkan tidak sedikit petani membiarkan cabai di ladang sampai busuk di atas rantingnya. Jika tidak, burung-burung cucak memakannya. Pada musim ini, cabai nyaris hanya berfungsi sebagai penjaga keseimbangan populasi burung cucak yang hinggap dan bertengger di atas cabai. Burung tidak lagi dimaknai sebagai musuh yang mencuri cabai. Burung hadir sebagai kawan bagi petani agar cabai itu tidak mubazir sama sekali.
Muhammad, seorang yang dituakan dan ladangnya berdekatan dengan ladang yang digarap oleh keluarga saya, kerapkali memunculkan bercandaan. “Daripada kering dan mati di ranting, lebih baik disedekahkan ke orang-orang. Hitung-hitung dapat pahala”. Tetapi saya kerapkali mengimbuhinya, “siapa yang mau menerima dengan cuma-cuma. Lah, orang-orang pada punya cabai di ladang masing-masing.” Sontak kami tertawa bersama. Pada saat istirahat bersama di bawah pohon cabai yang rindang di tengah larik tegal, dia bertutur pada saya, “samangkén jeman laép. Oréng Tanéh tak mangki sé é de’ereh. Sé bedeh é Kota ben sé bedeh é Madhure padeh nangis toah.” Yang artinya kira-kira: “sekarang jaman paceklik. Orang bertani, tapi tidak ada yang mau makan. Yang di kota dan yang ada di Madura sama-sama menangis melas.”
Pada bulan Mei, tepatnya tanggal 15, WHO melalui papan informasi di situsnya menyampaikan angka penderita Covid-19 di Indonesia sebanyak 490 yang dikonfimasi positif. Sebuah lonjakan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Di Madura, berdasarkan peta sebaran Covid-19 di Jawa Timur, total pasien yang terkonfirmasi positif di empat kabupaten menjadi 33 orang. Bangkalan 18 orang, Pamekasan 10 orang, dan Sumenep 5 orang (Madura, 2020). Sementara di Waru—sebuah kecamatan yang berdekatan dengan desa Tagangser Daja—satu orang terkonfirmasi Covid-19. Saya memperhatikan bagaimana pola-pola masyarakat awam yang jauh dari pemahaman terkait pandemi ini. Mendengar kabar tersebut, jelas mereka takut dan khawatir. Informasi yang terus menjejali kehidupan mereka dengan kabar sebaran Covid dan tentu angka kematian yang terus bertambah membuat mereka bingung terhadap situasi dan kondisi.
Media juga menjadi problem tersendiri bagi masyarakat ketika kemampuan dan analisis terhadap berita di media tidak berimbang dengan pesatnya informasi yang mereka terima di layar ponsel dan TV. Apa yang mereka alami dalam kehidupan nyata dan apa yang mereka lihat di layar tersebut seolah-olah tunggal dan satu kesatuan membentuk dunia yang penuh dengan kengerian. Padahal, situasi mereka di desa dengan apa yang dihadirkan oleh media jauh berbeda. Media bekerja menghadirkan, alih-alih menekan ketakutan yang tampil mirip dengan watak politis Orwelian. Mengontrol, mengondisikan, dan mendisiplinkan. Ini tentang sebuah kematian yang bisa datang dan menghampiri siapa saja.
Sekalipun saya sendiri juga merasakan khawatir, seringkali saya menasehati kedua orangtua untuk selalu menjaga diri saat ke pasar atau ke rumah sakit. Disiplin menjaga kesehatan menggunakan masker dan hand sanitizer. Sebaran pandemi kali ini memunculkan kembali trauma lama yang pernah mereka alami. Masyarakat perdesaan dengan kontur ekologi tegalan seperti Madura memiliki pertautan ingatan kolektif terkait sebaran wabah dan kematian yang pernah terjadi di masa lampau. Mereka menyebut penyakit itu Tha’un.
Saya mengamati sekaligus menjadi bagian dari ingatan kolektif mereka. Bagaimana cara ingatan itu disalurkan, dihidupkan kembali, dan menjadi struktur cara pandang untuk mendedah fenomena yang sedang mereka hadapi. Mereka saat ini hidup dalam fenomena wabah dan/atau pandemi Covid-19. Dahulu orang-orang di kampungku, seperti Muhammad, Abdul Latif, Fatimah, Rahman dan Rahmah, serta orang-orang yang lebih tua dari mereka, mengalami ketakutan yang mencekam oleh wabah Tha’un. Manussah sé odhik satéah sé selamet derih patéh lambek, ki’ osom panyakét Tha’un. (Manusia yang hidup sekarang adalah mereka yang dulu selamat dari kematian saat wabah Tha’un.) Mereka hidup dalam dua masa dengan ketakutan-ketakutan yang sama. Wabah Corona saat ini dianggap sama dengan wabah Tha’un. Peristiwa kematian akibat Tha’un menjadi anteseden dari peristiwa yang saat ini yang sedang mereka hadapi.
Judith dan Hollander punya argumentasi teoritis yang menarik soal itu. Menurut mereka, “Peristiwa umumnya dilihat sebagai hasil dari penyebab yang sudah ada sebelumnya dan menjadi anteseden dalam efek potensial berikutnya” (Judith & Hollander, 1993, p. 427). Peristiwa masa lalu kerapkali memberikan makna bagi satuan kelompok dalam menghadapi, menafsir, dan merepresentasikan wabah saat ini. Selain pola pandang dan struktur berpikir kolektif atas wabah, para petani ini juga melakukan rekonstruksi secara simbolis seperti melakukan ritual keliling desa dengan membaca sholawat Tha’un. Sebagaimana yang dikutip oleh Judith dan Hollander yang menggunakan kerangka konseptual Mead bahwa “masa lalu yang direkonstruksi secara simbolis … mendefinisikan kembali makna peristiwa masa lalu sehingga memiliki makna dan manfaat untuk masa kini” (1993: 428).
Pada suatu malam, saya bersama keluarga Fatimah melaksanakan sholat di langgar. Langgar berdindingkan kayu itu terdapat garis-garis celah dengan jarak antara satu kayu dengan yang lain. Dari arah Barat langgar terdengar suara ramai orang-orang membawa obor, oncong, sambil membaca dzikir keliling desa. Sontak Fatimah yang menderita infeksi lambung kaget luar biasa. Dia berlari keluar sambil memegang dadanya dipenuhi ekspresi histeris. Saya langsung turun dan melihat sekumpulan orang-orang yang kian mendekati langgar kami.
Rumah Fatimah adalah dukuh terakhir di dusun Tagangser Daja Barat. Mereka membacakan dzikir dan sholawat Taho’un dengan penuh kamantapan hati. Khusuk! Dahulu ketika wabah Tha’un melanda kebanyakan orang di Madura melakukan ritual membaca dan berdzikir keliling dari kampung ke kampung, dari desa ke desa. Ini bukan keyakinan semata, melainkan sebuah upaya menghindari dan menyudahi wabah dengan praktik yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan budaya.
Korona adalah wabah dengan fenomena kematian massal yang disertai penyebarannya yang tidak tampak sehingga orang-orang di kampung menilai wabah ini datangnya dari Tuhan. Oleh karenanya, untuk menyudahinya kita harus kembali memohon pada yang menciptakannya. Pandangan fatalis semacam itu dilegitimasi oleh kebanyakan tokoh agama yang ada di desa. Tidak ada yang salah, hanya saja pandangan ini seakan bertolak belakang dengan diagnosis ilmiah ala Peter Forster dari Cambridge University yang menggunakan analisis jaringan filogenetik mengindentifikasi sumber infeksi Covid-19. Dengan menganalisis 160 genom virus lengkap yang diidentifikasi melalui jalur penularan manusia, Forster telah memetakan beberapa penyebaran virus korona baru melalui mutasinya, yang menciptakan garis keturunan yang berbeda. Mereka menggunakan label-label untuk mengindentifikasi jenis mutasi dan persebarannya.
Orang-orang di kampung-kampung Madura jauh dari penjelasan ilmiah semacam ini. Ini adalah akibat dari bias konsumsi media. Juga akibat dari pesatnya budaya konsumerisme yang dicetak oleh iklan-iklan pemasaran produk ponsel dengan segala macam bentuk kemajuannya. Merk ponsel tidak menjanjikan kepintaran orang dalam membaca berita. Saya tidak membayangkan jika notifikasi di Android mereka menampilkan hasil riset-riset semacam itu, bukan tidak mungkin mereka terbebas dari logika fatalistik dan reduksionis.
Tetapi apa yang menarik secara linier dari penjelasan ilmiah dengan pandangan transenden semacam itu? Keduanya kontras dan berbeda sama sekali. Keduanya adalah alat bagi manusia untuk menduga tentang apa yang terjadi dan mencari jalan keluar dari krisis akibat wabah ini. Bagi masyarakat dengan corak modern yang matang, logika analisisnya selalu bergantung pada arus utama sains. Tetapi orang-orang seperti Fatimah, Muhammad, Rahmah dan orang-orang lainnya memiliki pola pandang yang berbeda. Meskipun begitu, kedua pandangan ini bersepakat pada satu pendapat bahwa wabah ini merupakan bencana bagi keberlanjutan kehidupan manusia.
Nur Fitria duduk termangu di depan terasnya. Perempuan yang masih berusia 20 tahun itu harus bekerja keras merawat Fatimah, ibunya, dan Abdul Aziz, suaminya, selain dirinya juga harus bekerja keras di ladang. Dalam beberapa kesempatan, seusai bekerja di tegal sendiri, saya kerapkali datang ke tegalnya untuk membantu. Dia masih terhitung famili dengan keluarga saya. Dirinya sering bercerita dipenuhi keluhan. Hasil memetik cabai pada tahun ini sangat rendah. Belum lagi dibandingkan dengan jumlah kebutuhan rumah tangga.
Saya tahu persis hasil dari memanen cabai saat ini karena bila dia hendak menjual ke penadah, dia selalu minta tolong saya. Per kilo, kadang dihargai Rp 5.000. Jika jumlah permintaan cabai sedang naik, rata-rata harga paling tinggi adalah Rp 10.000/kg. Setiap kali memetik cabe yang udah matang jumlah kilo yang didapat rata-rata kisaran 40-50 kilo. Tentu saja hasil itu tak berbanding dengan jumlah kebutuhan sehari-hari keluarganya. Dalam satu minggu, Fatimah menjalani lebih dari tiga kali perawatan. Baik perawatan medis ke dokter atau perawatan non-medis. Sakit infeksi lambung membuat Fatimah seringkali histeris sebab memikirkan banyak hal yang bersangkut paut dengan kondisi dirinya dan keluarganya. Tubuh Fatimah kurus kering. Mukanya suram seolah tidak ada harapan hidup. Dia sering berujar pada dirinya sendiri. Kapan penyakitnya sembuh. Bisa bekerja di tegal. Menggendong cucu-cucunya. Hidup normal.
Sementara Rahmah dan Rahman yang termasuk kategori petani owner operator cum-tenant kondisinya jauh lebih terpuruk daripada keluarga Fatimah. Selain menggarap sawahnya sendiri, mereka juga menggarap sawah orang lain dan menjadi buruh tani untuk menambah pendapatan demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Wabah kali ini membuat Rahmah harus bekerja lebih keras. Setiap hari, dia berpindah dari tegal ke tegal. Menandai tanah dengan peluh kerja kerasnya. Tiga petak tegal dan dua petak tegal yang dikerjakannya jauh dari cukup untuk menunjang kebutuhan keluarganya. Harga cabai yang sedang jatuh membuatnya semakin terhimpit keadaan. Hasil dari dua petak tegal yang digarapnya harus dibagi 10 persen dengan pemilik tegal. Saya juga sering membantu pekerjaannya di tegal. Dari penuturannya, setiap minggu dari keseluruhan tegal yang digarapnya tidak lebih dari Rp 300.000. Hanya saja kondisinya tidak separah keluarga Fatimah mengingat dia masih bisa menabung dari hasil panennya. Menurutnya, hasil dari panen setiap minggunya diperuntukkan untuk mencukupi biaya anaknya di pesantren, si Nurur Rahmah. Selain itu, dia juga harus mengirim sebagian hasilnya untuk Syamsul yang berada di rantau.
Nur Fitriah sering meminta bantuan Rahmah. Keduanya terhitung bibi dan ponakan. Dalam persoalan bekerja di ladang mereka sering saling bantu-membantu satu sama lain. Rahmah diupah Rp 50.000 dari pagi sampai siang. Tegal Nur Fitria lebih luas daripada tegal Rahmah. Kondisi demikian saling menguntungkan bagi Nur Fitria juga Rahmah. Sementara Rahman, suami Rahmah dan bapak dari tiga orang anak itu, sehari-hari bekerja mencangkul di tegal. Memperbaiki larik-larik tegal yang sebagian mulai rendah. Sebelum wabah, dia bekerja sebagai buruh tukang di Madura dengan bayaran Rp 85.000/hari. Wabah ini memaksa dirinya untuk berhenti dari pekerjaan itu. Bukan karena dia tidak ingin bekerja, melainkan permintaan tenaga buruh tukang nyaris tidak ada sejak wabah ini. Ini adalah efek dari panoptik informasi medis, yaitu dilarangnya aktivitas bersama di semua elemen kehidupan.
Saya kerap menjumpai Fatimah jatuh sakit saat pikirannya tidak stabil akibat kondisi kesehatannya yang tidak kunjung membaik. Keluarga kecil itu seringkali dipenuhi suasana duka dari kondisi hidup seperti ini, harga cabai jatuh bersamaan dengan sebaran wabah. Tentu saja ini problem yang sangat mendasar bagi petani seperti Fatimah, Rahmah, dan orang-orang Madura kebanyakan. Selain persoalan harga cabai matang yang anjlok, ada persoalan yang lebih mendasar, yakni perubahan pola bertani yang dilakukan oleh orang-orang kebanyakan pada beberapa dekade sebelum ini.
Saat saya masih kecil, di ladang tidak hanya dipenuhi oleh satu jenis tanaman. Teknik penanaman ganda masih jamak dijumpai saat itu. Di sela-sela tanaman cabai, terdapat jenis tanaman kacang-kacangan atau ubi-ubian. Orang-orang bisa sekaligus memanen dua jenis tanaman, bahkan lebih. Satu tanaman untuk dijual, jenis lainnya untuk dijadikan salah satu makanan pokok. Kuntowijoyo memberikan gambaran terkait penggunaan teknik penanaman ganda.
“Bagi orang Madura, pemanfaatan bahan makanan pokok tergantung pada tanaman-tanaman lain juga. Jagung paling popular, kemudian singkong. Ubi jalar sekali waktu dianggap sebagai pengganti. Pada tahun 1880, orang Madura mempunyai andil yang cukup besar dalam produksi jagung untuk Jawa-Madura, yaitu lebih dari 50 persen.” (Kuntowijoyo, 2002: 49-50)
Penanaman ganda dilakukan bersamaan dengan jenis tanaman lainnya. Hal itu banyak dijumpai jauh sebelum tanaman komersial popular di kalangan petani Madura. Dulu petani banyak menanam jenis tanaman pokok, seperti ubi, singkong, kentang dan jenis kacang-kacangan dalam jumlah besar. Dalam catatan Kuntowijoyo (2002: 51), tahun 1916, padi 84.065 bau, jagung 342.852 bau. Penetrasi pasar kapital beriringan dengan laku homogenisasi jenis tanaman komersial. Hal membuat petani semakin jarang menggunakan teknik tanaman ganda karena kecepatan permintaan pasar dalam menyerap hasil panen. Akan tetapi lain hal dengan kondisi saat ini. Krisis ekonomi yang disertai dengan resesi akibat mandeknya permintaan, termasuk jenis produk tanaman komersial seperti cabai, berdampak besar terhadap kondisi petani pada umumnya.
Petani di Tagangser Daja hanyalah sebagian kecil dari petani yang terkena dampaknya. Melalui pesan di WhatsApp, saya bertukar pandang bersama Mohammad Izudin, koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria di Jawa Timur, tentang kabar mengenai kondisi petani. Dirinya menyampaikan kondisi di dua wilayah dampingannya: Jember dan Lumajang. Pada 6 Juni 2020, Izudin menyampaikan “Di Candipuro, Lumajangan, sekitar bulan lalu lombok hanya dipanen untuk kebutuhan rumah tangga dan dibagi-bagikan ke tetangga dan tomat dibiarkan jadi pupuk komposan.” Kondisi petani tanaman komersil di Jember juga tidak jauh berbeda dengan di Madura. Kendati demikian, ada satu hal yang mencolok antara petani di Madura dengan rata-rata petani di Jawa dalam menangani krisis.
Di Jawa, rata-rata petani tergabung dan/atau dikuatkan oleh suatu lembaga semi-komunitas yang berbentuk serikat tani. Solidaritas untuk memperkuat relasi sosio-ekonomi di tengah pandemi membuat mereka mampu mengambil inisiatif bersama. Seperti menyalurkan bantuan bahan pangan atau jenis tanaman komersil yang baru dipanen pada basis rumah tangga. Permintaan tidak berhenti meski segmen pasar lebih sempit. Sementara itu rata-rata petani di Madura, selain terhambat oleh jenis tanaman yang homogen untuk saling berbagi hasil panen dan menekan basis transaksi lokal berbasis rumah tangga, mereka tidak terbiasa dengan praktik kooperatif berbentuk serikat atau komunitas lainnya.
Kuntowijoyo dalam upayanya memotret organisasi massa rakyat, justru organisasi keagamaan yang paling efektif dalam mewujudkan solidaritas sosial masyarakat Madura. Hal itu dikarenakan besarnya sentimen kolektif yang bersumber pada nilai-nilai agama. Tulisnya, “Bagaimanapun, sentimen kolektif ada dan ritual-ritual serta perayaan keagamaan membantu mengembangkan solidaritas desa. Sudah barang tentu, agama di Madura diperlukan untuk melengkapi jaringan sentimen kolektif sebagai landasan untuk gerakan sosial” (Kuntowijoyo, 2002: 450).
Sejauh saya memperhatikan praktik organisasi berbasis agama di desa-desa di Pamekasan Utara, khususnya di Taganser Daja dan desa-desa yang secara organisasional masih dalam satu rajut jaringan, belum ada satu upaya kooperatif untuk bekerjasama dalam menghadapi krisis ini. Sebaliknya, saya justru menjumpai praktik-praktik yang fatalistik diungkapkan oleh para pemuka organisasi tersebut yang kemudian direproduksi menjadi cara pandang oleh jemaah yang terhimpun di dalamnya. Tumbuh dan kian membesarnya organisasi islam dengan corak praktik populis sebenarnya menjadi problem tersendiri di kalangan masyarakat Madura kebanyakan.
Saya lebih tertarik untuk memperhatikan praktik solidaritas di luar organisasi keagamaan formal. Hampir sebagian besar di Madura saya menjumpai praktik beragama direproduksi melalui pendekatan kebudayaan yang kental dengan keintiman sosial. Kesalehan sosial disandarkan pada nilai-nilai agama. Seperti praktik membaca burdah dari desa ke desa setiap malam Selasa, membaca surat Yasin (Yasinan) bersama dari desa ke desa setiap malam Jumat, Khotmil Qur’an setiap malam Jumat legi. Kelompok di luar organisasi islam populis ini jauh lebih signifikan dalam upaya menjaga solidaritas kolektif. Mereka tidak jatuh pada jargon-jargon populis terutama dalam menanggapi soal wabah ini.
Dari salah satu pemimpin tahlil di desa saya menangkap bahwa dalam pandangan mereka hal terpenting untuk menghadapi situasi wabah ini adalah jangan terlalu berani pada wabah juga jangan terlalu takut pada wabah. Moderasi sikap ini sebenarnya berkorelasi dengan praktik keseharian mereka yang notabene adalah petani. “Tetaplah ke tegal apabila saatnya bekerja di ladang dan jagalah kesehatan agar tetap bisa bekerja dan mendapatkan rezeki walau itu dalam jumlah sedikit. Asal masih bisa makan, sudah cukup.” Itu kalimat yang sangat membekas bagi saya saat berbincang dengan salah satu pimpinan tahlil di desa. Pola pandang yang sederhana itu sebenarnya merupakan sikap subversif yang sangat radikal dalam menjalani hidup di tengah situasi yang serba tidak pasti ini.
Refleksi Penutup: Keluar dari Krisis atau Bertahan Bersamanya?
Saat krisis terus merambah pada sektor lainnya, artinya tidak hanya pada persoalan kesehatan dan ekonomi, krisis yang dialami masyarakat global semakin luas dan kompleks. Pramasty Ayu Koesdinar, dalam satu esainya di Indoprogress (2020), menulis Ketahanan Sosial Masyarakat Pedesaan Bengkulu. Koesdinar memberikan sebuah uraian yang sangat menarik. Bahwa krisis kesehatan, juga ekonomi, pada akhirnya memunculkan sebuah krisis yang lebih akut: krisis pangan.
Bertolak dari analisis UNDP (United Nations Development Programme) yang memperkirakan bahwa lebih dari 55 persen populasi dunia tidak memiliki akses terhadap perlindungan sosial sehingga menimbulkan krisis yang menyeluruh dalam seluruh lapisan di mayarakat, termasuk krisis pangan.
“Perlu diingat bahwa karakteristik krisis pangan sangat berbeda dengan krisis moneter. Krisis pangan dapat menciptakan kemiskinan jangka panjang … krisis pangan juga berpotensi menimbulkan pergolakan sosial-politik, seperti kerusuhan sosial, perubahan rezim, perang saudara, … dalam berbagai skenario ini rakyat pekerjalah yang akan menanggung beban paling berat.” (Koesdinar, 2020)
Krisis pangan merupakan bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh panjangnya durasi wabah kali ini dan ketimpangan relasi sosio-ekonomi yang ada jauh sebelum pandemi. Disebut bencana kemanusiaan karena potensial memunculkan kelaparan massal yang berujung pada kematian. Subjek rentan yang menerima dampak paling besar dari krisis ini salah satunya adalah petani di kawasan perdesaan.
Respons pemerintah dengan menurunkan bantuan sosial berupa subsidi sembako dan uang tunai untuk menstabilkan dan mendorong daya beli masyarakat belum memiliki arti yang signifikan. Dibandingkan dengan kompleksitas kebutuhan sehari-hari, seperti keluarga dua petani di atas, bantuan itu jauh dari kata cukup. Bantuan yang diinjeksikan hanya bertujuan untuk mendorong kemampuan daya beli, untuk menstimulus ekonomi negara agar tidak jatuh pada resesi. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang rentan direduksi sebagai penyeimbang likuiditas neraca ekonomi. Mereka dilucuti dari penenanda eksistensial lainnya, khususnya di bidang sosial-budaya.
Adakah alternatif untuk mengatasi krisis saat ini? Melalui pesan pendek WhatsApp, Muhammad Imam Faisal mengirimkan satu buku elektronik berjudul Wabah, Sains, dan Politik. Pesan itu masuk saat saya sedang mengerjakan pekerjaan di tegal. Saya membukanya saat memberi pakan burung perkutut. Saya melihat beberapa penulis yang ada di bagian daftar pustaka. Tokoh sekaliber Harari, Zizék, dan Arundhati Roy terpampang di dalamnya. Ketiganya mengajukan resep untuk kita menghadapi pandemi ini. Jujur saja, selama saya hidup, tidak pernah saya membayangkan akan muncul tragedi seperti ini.
Tentang kematian massal manusia, kekhawatiran, krisis yang mencekam, dan sekelumit persoalan lainnya. Ini benar-benar sebuah neraka dengan ragam macam siksa. Harari mendasarkan pandangannya pada sumber kegelisahan: Akankah pandemi mengubah sikap dan cara pandang manusia terhadap kematian? Menurutnya, justru berkebalikan dengan itu.
“Covid-19 mungkin akan memaksa kita untuk menggandakan upaya kita untuk melindungi nyawa manusia. Rekasi kultural terhadap Covid-19 yang dominan saat ini bukanlah sikap pasrah—melainkan gabungan antara penyesalan dan harapan.” (Harari, 2020: 36)
Sikap untuk awas terhadap wabah ini, dalam pandangannya, bersandar pada sains dan medis. Selain itu, tidak menepis kemungkinan-kemungkinan nilai agama dengan pandangan eksatologisnya sebagai pengakuan manusia sebagai salah satu spesies kecil di hadapan semesta yang lebih luas. Harari secara optimis menyampaikan bahwa jika vaksin ini sudah ditentukan dan wabah sudah berakhir kita perlu “investasi lebih pada upaya untuk melindungi manusia” (2020: 39).
Zizék, salah satu pemikir kontemporer, turut memotret fenomena wabah ini dengan alternatif yang dianjurkannya untuk masyarakat global. Dirinya mengusungkan untuk mewujudkan “komunisme global” yang dilawankan dengan survival of the fittest sebagai logika brutal untuk bertahan hidup di tengah wabah. Komunisme global yang dimaksudnya sebenarnya untuk mewujudkan solidaritas global tanpa memandang batas-batas negara dan sentimen rasial.
“Seperti kampanye militer, informasi harus dibagikan dan rencana harus dikoordinasikan sepenuhnya—inilah yang saya maksudkan dengan ‘komunisme’ yang dibutuhkan saat ini” (Zizek, 2020: 90). Sebuah solidaritas kemanusiaan dengan koordinasi dan kolaborasi global adalah poin yang ditekankan Zizék agar umat manusia dapat terlepas dari dan/atau menangani krisis. Ini mungkin saja efektif tenimbang krisis ini ditarik menjadi persoalan lokal dengan memaksa negara-negara menghadapi dengan caranya sendiri-sendiri.
Sementara itu, Arundhati Roy bertolak dari sebuah ironi di negaranya. Dia menuliskannya struktur argumen yang sangat padat sekaligus metaforis dan penuh tragedi. Dirinya memandang bahwa “secara historis pandemi telah memaksa manusia untuk putus dengan masa lalunya dan membayangkan dunianya yang baru. Pandemi yang terjadi saat ini juga sama. Ia adalah sebuah portal, sebuah pintu gerbang di antara satu dunia dengan dunia berikutnya” (Roy, 2020: 57).
Bila Harari dan Zizék memberikan pandangan yang optimistik, Roy menegaskan bahwa pandemi merupakan sebuah batas antara masa lalu dengan masa kini dan masa yang akan datang. Wabah menjadi pintu dan/atau portal untuk menuju dunia yang baru. Namun, seperti apa dunia baru itu, Roy tidak tahu persis.
Usai membaca mereka saya kembali pada kehidupan yang dijalani Fatimah dan Rahmah. Betapa mereka asing sama sekali dengan cita-cita koordinasi dan kolaborasi global, apalagi “komunisme” ala Zizek. Mereka tidak mengerti tentang karakter wabah sebagai portal. Bagi mereka berdua, tidak ada jalan menuju. Tidak ada jalan keluar. Mereka mengalami krisis, jauh sebelum pandemi. Mereka termarginalkan sejak hadirnya representasi kekuasaan mutlak dengan prinsip pengaturan yang tunggal. Mereka sudah tidak berdaya jauh sebelum wabah karena mereka tidak memiliki kedaulatan dalam relasi sosial-ekonomi dan sosial-politik. Saat wabah datang, krisis yang mereka hadapi jauh lebih kompleks daripada sebelumnya. Mungkinkah masih ada jalan keluar dari kebuntuan krisis untuk keduanya?
Catatan Akhir
[1] Diakses dari https://covid19.who.int/region/wpro/country/cn pada 21 Juli 2020.
[2] Diakses dari https://experience.arcgis.com/experience/56d2642cb379485ebf78371e744b8c6a pada 06 April 2021.
[3] Diakses melalui dokumem Koalisi Rakyat Bantu Rakyat edisi 31 Maret 2020, “Siaran Pers Koalisi Rakyat Bantu Rakyat (Kobar) Tolak Darurat Sipil Segera Berlakukan Karantina Wilayah”.
[4] Kategori petani kecil (small farms) merujuk pada luas lahan yang dimiliki serta hasil dari aktivitas pertanian mereka. Gunawan Wiradi memaparkan, berdasarkan penggunaan lahan petani kecil rata-rata dari satu periode sensus ke periode sensus berikutnya relatif sangat kecil, yaitu antara 0,81 ha sampai 1,05 ha. Sementara di Jawa, pulau dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40 tahun sekitar 0,45 hektar (Bachriadi & Wiradi, 2011: 23).
Acuan Pustaka
Bachriadi, D., & Wiradi, G. (2011). Enam Dekade Ketimpangan:Masalah penguasaan Tanah di Indonesia. Bandung: Agrarian Resource Centre (ARC), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Faqih, M. (2003). Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insist Press.
Harari, Y. N. (2020). “Akankah Virus Korona Mengubah Sikap Kita Terhadap Kematian? Justru Sebaliknya.” Dalam: Y. N. Harari, S. Zizek, A. Roy, E. Siegel, R. Douthat, H. Marsh, et al., Wabah, Sains, dan Politik (hlm. 31-42). Jogjakarta: Antinomi.
Harari, Y. N. (2018). Homo Deus. Ciputat: Alvabet.
Judith, A. H., & Hollander, J. A. (1993). “Marking Time.” Sociological Inquiry , 425-443.
Koesdinar, P. A. (2020, Juli 17). Pandemi Covid-19 dan Ketahanan Sosial Masyarakat Pedesaan Bengkulu. Diakses pada 27 Juli 2020 dari https://indoprogress.com/2020/07/pandemi-covid-19-dan-ketahanan-sosial-masyarakat-pedesaan-bengkulu/?fbclid=IwAR2XvE3dPOVIYGibo_6byKQ-Z6xsIzQFgjzN4-BkJxJ2io2fXGATgJevPHo
Kompas.com. (2020, 3 Maret). Fakta Lengkap Kasus Pertama Virus Corona di Indonesia. Diakses pada 12 Juli 2020, dari https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-lengkap-kasus-pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all
Koran Madura (2020, 8 Mei). Update Covid-19 di Madura 8 Mei 2020: Bertambah Tiga, Total Positif 33 Orang. Diakses pada 25 Juli 2020 dari https://www.koranmadura.com/2020/05/update-covid-19-di-madura-8-mei-2020-bertambah-tiga-total-positif-33-orang/
Kuntowijoyo. (2002). Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. Jogjakarta: Mata Bangsa.
Rafie, B. T. (2020, 18 Juni). IMF: Ekonomi dunia akan alami krisis akut yang belum pernah terjadi. Diakses pada 18 Juli 2020, dari https://internasional.kontan.co.id/news/imf-ekonomi-dunia-akan-alami-krisis-akut-yang-belum-pernah-terjadi
Roy, A. (2020). “Pandemi adalah Pintu gerbang.” Dalam Y. N. Harari, S. Zizek, A. Roy, E. Siegel, R. Douthat, H. Marsh, et al., Wabah, Sains, dan Politik (hlm. 43-58). Yogyakarta: Antinomi.
University of Cambridge (2020, April 09). COVID-19: genetic network analysis provides ‘snapshot’ of pandemic origins. Diakses pada 27 Juli 2020 dari https://www.cam.ac.uk/research/news/covid-19-genetic-network-analysis-provides-snapshot-of-pandemic-origins Zizek, S. (2020). “Komunisme Global atau Hukum Rimba? Kita harus Memilih.” Dalam: Y. N. Harari, S. Zizek, A. Roy, E. Siegel, R. Douthat, H. Marsh, et al., Wabah, Sains, dan Politik (hlm. 85-92). Yogyakarta: Antinomi.
Syaiful Anam, peneliti di Eutenika