Sosiologi Pengetahuan Ilmiah menurut Robert K. Merton

Membaca buku ini, kita dapat melihat bahwa pengaruh Sorokin pada Merton tentang sosiologi pengetahuan jauh lebih kuat dibandingkan pengaruh Parsons.

ANTON NOVENANTO

Kali ini kita akan mengulas buku sosiolog Amerika Robert K. Merton yang berjudul The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations (1973). Buku itu diedit dan diberi pengantar oleh sosiolog Norman W. Storer. Jika saya harus menerjemahkan “sociology of science” ke dalam bahasa Indonesia, saya cenderung memilih istilah “sosiologi pengetahuan ilmiah”.

Buku ini berisi kumpulan tulisan Merton tentang kajian sosiologis atas pengetahuan ilmiah. Beberapa bab dalam buku ini diambil dari disertasi Merton (Science, Technology and Society in Seventeenth-Century England, edisi revisi 1970). Bab-bab lain diambil dari artikel dan makalah ceramah yang sudah disampaikan di pelbagai forum ilmiah. 

Tentang “orang di balik layar”

Tulisan-tulisan Merton dalam buku ini dipilih, dipilah dan distruktur oleh Norman William Storer. Storer juga menulis pengantar umum dan pengantar khusus untuk setiap bagian yang sangat memudahkan pembaca, atau setidaknya saya, dalam memahami konteks sosial-historis dari setiap bab yang disajikan. Menurut saya, menarik bagi kita untuk membahas sedikit tentang latar belakang Storer.

Storer lahir di Middletown, Connecticut (8 Mei 1930). Masa kanak-kanaknya dihabiskan di Lawrence, Kansas. Ayahnya Norman Wyman adalah seorang profesor astronomi di University of Kansas (KU). Storer menempuh pendidikan sarjana di Bahasa Inggris dari KU (selesai 1952). Dia kemudian belajar sosiologi untuk pendidikan master di KU (lulus 1956) dan meneruskan PhD di Cornell (selesai 1961). Lulus dari Cornell, Storer berkarir di sebagai asisten profesor di Harvard sampai 1966. Di Harvard, Storer membantu Talcott Parsons dan Merton. Selepas dari Harvard, Storer bergabung di Social Science Research Council (SSRC) di New York City, sampai 1970, sembari mengajar di Hunter College di kota yang sama. Pada 1970, dia diangkat menjadi Profesor Sosiologi dan Antropologi di Bernard M. Barugh College, bagian dari City University of New York (CUNY), di mana dia menjadi kepala departemen selama 15 tahun.

Sepanjang kariernya, fokus kajian Storer adalah pada “sosiologi pengetahuan ilmiah” (sociology of science), sebuah pendekatan yang terinspirasi oleh Merton yang adalah rekan kerjanya waktu di Harvard. Sebelum mengumpulkan tulisan Merton dan mengeditnya menjadi buku yang akan kita bahas, Storer menulis buku The Social System of Science (1966) dan Focus on Society: An Introduction to Sociology (1973). Pada tahun 1974, Storer terlibat dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh American Association for the Advancement of Science (AAAS) dengan tajuk “Velikovsky’s Challenge to Science”. Pada pertemuan itu dia menyampaikan sebuah makalah berjudul “The Sociological Context of the Velikovsky Controversy”. “Velikovsky Controversy” mengacu pada nama seorang psikoanalis Yahudi-Rusia Dr. Immanuel Velikovsky.

Pada tahun 1950, buku Velikovsky berjudul Worlds in Collision diterbitkan oleh MacMilan (setelah belasan kali ditolak oleh penerbit lain). Dalam buku itu, Velikovsky menawarkan tafsir pseudoscience atas peristiwa alam di masa lalu dari perspektif yang katastropik. Menurutnya, pada abad ke-15 sebelum Masehi, planet Venus terlempar dari planet Jupiter sebagai sebuah komet yang bergerak mendekati dan melintasi planet Bumi, sebelum berada pada posisinya sekarang. Peristiwa tersebut diyakininya telah menyebabkan berbagai malapetaka yang disebutkan dalam mitologi dan agama kuno di seluruh dunia. Tafsir semacam itu tentu saja mendapatkan reaksi keras dari komunitas ilmuwan. Akan tetapi, melihat fakta bahwa buku itu menjadi sangat populer dan mengundang polemik AAAS menggelar pertemuan khusus. Hadir dalam pertemuan AAAS tahun 1974, antara lain: Donald W. Goldsmith, Carl Sagan, J. Derral Mulholland, Peter Huber dan David Morrison. Mereka membahas “kebenaran” teori Velikovsky dan polemik yang dimunculkan darinya.

Struktur buku dan ulasan singkat atasnya

Buku The Sociology of Science adalah buku yang luar biasa tebal. Tebal buku mencapai lebih dari 600 halaman. Oleh karenanya, tidak mungkin kita akan membedah satu per satu bab yang ada di dalamnya. Pada kesempatan kali ini yang bisa kita lakukan adalah sebatas memberikan sebuah pengantar umum tentang isi buku tersebut, menyampaikan keterkaitan antar bab, dan menghadirkan beberapa argumen yang menurut saya penting untuk didiskusikan lebih lanjut—tentu saja, dalam konteks dan kondisi sosiologi di Indonesia—dengan harapan upaya semacam itu dapat mengundang khalayak untuk membaca buku ini secara lebih mendalam.

Buku ini dibagi menjadi lima bagian utama. Pertama, The Sociology of Knowledge, terdiri dari 5 bab. Bagian 2, The Sociology of Scientific Knowledge yang berisi 5 bab. Bagian 3, The Normative Structure of Science berisi 3 bab. Bagian 4, The Reward System of Science berisi 5 bab. Dan Bagian 5, The Processes of Evaluation in Science berisi 4 bab. Saya melihat dua bagian pertama sebagai dasar teoretik dan metodologis dari Merton dalam rangka melakukan studi atas “sosiologi pengetahuan” (bagian 1) dan kemudian “sosiologi pengetahuan ilmiah” (bagian 2). Bagian 3-5 lebih berisi tentang proses sosial-budaya yang terjadi di dalam dunia produksi pengetahuan ilmiah dan berpengaruh pada pengetahuan yang diproduksinya. 

Sosiologi Pengetahuan

Kita akan mulai dari Bagian 1, The Sociology of Knowledge atau sosiologi pengetahuan yang terdiri dari: “Paradigm for the Sociology of Knowledge” (bab 1), “Znaniecki’s Social Role of the Man of Knowledge” (bab 2), “Social Conflict over Styles of Sociological Work” (bab 3), “Technical and Moral Dimensions of Policy Research” (bab 4), dan “The Perspectives of Insiders and Outsiders” (bab 5). 

Pitirim Sorokin

Bab-bab pada bagian ini berisi tentang akar-akar intelektual Merton dalam membingkai studi sosiologis atas pengetahuan. Di antara beberapa intelektual yang mempengaruhi, pengaruh paling kuat datang dari Pitirim Sorokin. Sorokin merekrut Merton untuk melakukan penelitian tentang perkembangan ilmu pengetahuan sebagai bagian untuk bukunya Social and Cultural Dynamics (1957, terbit ulang 1985). Dari proyek inilah, Merton mengembangkan wawasannya tentang sosiologi pengetahuan dan kemudian sosiologi pengetahuan ilmiah.

Pemikiran Merton tentang sosiologi pengetahuan didapatkannya dari pendekatan sosiologi pengetahuan yang berkembang di kalangan pemikir Jerman. Merton dalam posisi tidak sepakat dengan tafsir positivistik tentang ilmu pengetahuan yang menjadi ciri khas Alfred Weber (supervisor Parsons di Universitas Heidelberg). Secara khusus, Merton mengadopsi pemikiran Max Scheler yang mengulas dua konsep: peradaban (civilization) dan budaya (culture). Perbedaan antara dua konsep yang kerap kali saling dipertukarkan menjadi dasar bagi cara pengetahuan bekerja dalam masyarakat. Beberapa pemikir lain yang diacu Merton antara lain: Ernst Grünwald, Karl Marx, Karl Mannheim, Florian Znaniecki, dan tentu saja Sorokin.

Di antara lima bab pada bagian 1, menurut saya, penting untuk kita mengulas secara khusus bab 3 (“Social Conflict over Styles of Sociological Work”). Bab itu adalah sebuah makalah yang disampaikan Merton pada pertemuan Sosiologi Internasional. Pada kesempatan itu, Merton merespons sosiolog Prancis Raymond Aron yang berbicara tentang struktur-struktur eksternal yang menekan perkembangan sosiologi. Merton masuk pada sebuah ulasan vulgar tentang proses internal perkembangan sosiologi di berbagai tempat di AS yang penuh dengan intrik dan konfliktual. Hal itu lebih disebabkan oleh beragam sumber di Eropa yang menjadi acuan bagi para ilmuwan yang mengembangkan sosiologi di AS. Perbedaan itu kemudian yang menghasilkan konflik internal para sosiolog di AS dan itu berpengaruh pada keberagaman tradisi sosiologi di AS. 

Dua bab terakhir di bagian 1 mengulas tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh ilmuwan sosial dan sosiologi ketika harus melakukan penelitian terapan dan menawarkan pengetahuan yang dikonstruksinya sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan.

Sosiologi Pengetahuan Ilmiah

Bagian 2 The Sociology of Scientific Knowledge merinci pendekatan sosiologis atas pengetahuan ilmiah menurut Merton. Struktur utama bagian ini diambil dari bab dalam disertasi Merton. Struktur bab dalam bagian ini adalah sbb.: “Sorokin’s Formulations in the Sociology of Science” (bab 6, ditulis bersama Bernard Barber), “Social and Cultural Contexts of Science” (bab 7), “Changing Foci of Interest in the Sciences and Technology” (bab 8), “Interactions of Science and Military Technique” (bab 9), dan “The Neglect of the Sociology of Science” (bab 10).

Bab 6, yang ditulis bersama Bernard Barber (asli terbit 1963) mengurai sumbangan Sorokin pada studi sosiologi pengetahuan ilmiah. Merton (dan Barber) menghadirkan pemikiran Sorokin sebagai perspektif alternatif atas pendekatan materialis Marxist dan quasi-material dari Mannheim. Pendekatan Sorokin atas pengetahuan menekankan pada struktur mental yang didapatkan dari proses berpikir dan dari proses mengindera dalam proses produksi pengetahuan ilmiah. Meski melihatnya sebagai sebuah alternatif, Merton (dan Barber) juga mengamati beberapa kelemahan mendasar dari pendekatan ini, khususnya keberagaman di dalam suatu sistem sosial-budaya yang luput dari Sorokin. 

Pada bab 7, yang adalah bab pengantar untuk disertasinya, Merton menunjukkan kritik konstruktifnya pada pendekatan Sorokin. Merton pun bergeser dari gagasan pendekatan budaya dari Sorokin menuju historical sociology (sosiologi menyejarah). Di sini kita dapat melihat bagaimana Merton menambahkan pendekatan sosio-historis yang memfokuskan penelitian pada relasi-relasi sosial para ilmuwan dalam proses produksi pengetahuan ilmiah pada pendekatan sosio-kultural yang ditawarkan oleh Sorokin. 

Apabila bab 6 & bab 7 membahas tentang teori sosiologi pengetahuan ilmiah, bab 8, yang diambil dari bab lain dari disertasinya, lebih membahas tentang metodologi yang bisa digunakan untuk melakukan studi sosiologis atas pengetahuan ilmiah (dan teknologi). Bab 9, berbicara tentang bagaimana ilmu pengetahuan dan militer saling topang satu sama lain dalam rangka mengembangkan teknologi (sains terapan). Bab 10 membahas tentang hal-hal yang diabaikan dalam studi sosiologi atas pengetahuan ilmiah.

Norma-norma Pengetahuan Ilmiah

Bagian 3 Normative Structure of Science berisi tiga bab, yaitu: “The Puritan Spur to Science” (bab 11), “Science and the Social Order” (bab 12), dan “The Normative Structure of Science” (bab 13). Bagian ini dibuka dengan bab tentang hubungan antara agama dan sains di Inggris, yang diambil dari disertasi Merton. Pada bab ini, Merton menggunakan pendekatan sosiologi menyejarah (historical sociology) dalam membahas bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan empiris di Inggris ternyata sangat dipengaruhi oleh menguatnya semangat Puritanisme di Inggris. Argumen ini tentu saja sangat Weberian dalam melakukan kajian antara agama dan modernitas. Bila Weber mengangkat ekonomi kapitalis sebagai representasi dari modernitas, Merton membahas modernitas dengan mencermati perkembangan ilmu pengetahuan empiris. Bab 12 mengulas tentang relasi antara kondisi sosial-politik suatu negara dengan perkembangan ilmu pengetahuan di Jerman, khususnya pada era Nazi. 

Bab terakhir pada bagian 3 ini merupakan semacam rangkuman tentang struktur dari pengetahuan ilmiah. Bab ini mengulas empat norma utama—universalisme, “komunisme” (orientasi pada komunalitas), keterlepasan dari kepentingan (disinterestedness), dan skeptisisme yang terorganisir—yang membentuk etos pengetahuan ilmiah dan sebuah pernyataan tentang keterkaitan keempatnya dan hubungan fungsional untuk mencapai tujuan formal dari sebuah karya ilmiah, yaitu “pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan” (certified knowledge).

Proses Sosial dalam Produksi Pengetahuan

Bagian 4 The Reward System of Science berisi lima bab, yaitu “Priorities in Scientific Discovery” (bab 14), “Behavior Patterns of Scientists” (bab 15), “Singletons and Multiples in Science” (bab 16), “Multiple Discoveries as Strategic Research Site” (bab 17), dan “The Ambivalence of Scientists” (bab 18). Bagian ini lebih bercerita tentang ragam proses yang dialami oleh para ilmuwan dalam memproduksi pengetahuan ilmiah. 

Bab 14 mengulas tentang beberapa penjelasan dan strategi yang biasa digunakan para ilmuwan dalam menentukan prioritas penemuan ilmiah. “Rekognisi” kelembagaan, komunitas ilmiah, dan ilmuwan lain atas urgensi desain penelitian ilmiah menjadi salah satu isu sentral dalam menentukan prioritas. Artinya, selalu ada proses sosial di balik sebuah penelitian ilmiah. Dari sisi internal peneliti ada juga beberapa situasi yang harus dipenuhi untuk menjamin terjadinya rekognisi dari sebuah penelitian ilmiah. Beberapa lain yang penting adalah soal orisinalitas ide dan plagiasi. Bab lain pada bagian ini yang menarik untuk dibahas juga adalah bab 18 tentang ambivalensi para ilmuwan—bahwa untuk bisa memproduksi pengetahuan yang strategis, ilmuwan perlu resisten terhadap realitas akan adanya penemuan ganda (bab 16 & bab 17) dan penentuan prioritas penelitian oleh banyak pihak (bab 14) yang membentuk pola-pola perilaku para ilmuwan (bab 15). 

Pada bab 18, ada satu bagian di mana Merton menyampaikan ulasan cukup terperinci tentang gerakan psikoanalisa. Yang menarik bukan ulasan tentang “psikoanalisa” sebagai disiplin ilmu, tetapi “perdebatan” (pada titik tertentu “serangan” dan “tuduhan”) yang saling dilancarkan para pengusung psikoanalisas (khususnya Freud) dan mereka yang tidak sepakat dengannya (khususnya Adler dan pendukungnya). Serangan dan tuduhan itu menyasar pada hal-hal personal dan di luar ranah akademis. Situasi konfliktual ini juga terjadi pada disiplin lain, seperti perselisihan antara Saint-Simon dan Auguste Comte tentang status kepengarangan sebuah karya. Dalam dunia ilmu pengetahuan, pola “saling serang” atau “saling menjatuhkan” antar ilmuwan adalah hal yang biasa dan itu selalu mewarnai produksi pengetahuan ilmiah.

Bagian 5 The Processes of Evaluation in Science berisi empat bab: “Recognition and Excellence: Instructive Ambiguities” (bab 19), “The Matthew Effect in Science” (bab 20), “Institutionalized Patterns of Evaluation in Science” (bab 21, ditulis bersama Harriet Zuckerman), dan “Age, Aging, and Age Structure in Science” (bab 22, ditulis bersama Harriet Zuckerman). 

Bagian terakhir buku ini menawarkan beberapa variabel lain yang layak dipertimbangkan dalam melakukan analisis sosiologi atas pengetahuan ilmiah, khususnya dari sisi bagaimana pengetahuan ilmiah itu diterima secara luas.  Bab 19 kembali mengangkat isu “rekognisi” atas “keunggulan” dari ilmuwan yang tidak hanya harus didapatkannya di ranah akademis tapi juga dari peran-peran sosial lain dalam masyarakat. Ulasan ini berlanjut pada bab 20 tentang “Efek Matius”—bahwa segala macam rekognisi atas capaian ilmiah akan cenderung didapatkan oleh ilmuwan senior, sekalipun capaian itu merupakan kerja tim, yang anggotanya adalah mahasiswa sarjana dan pascasarjana yang berada dalam satu bimbingan. Seolah-olah capaian itu adalah capaian individual atau personal satu orang ilmuwan. Dua bab terakhir, yang ditulis bersama Harriet Zuckerman, menunjuk pada sebuah kemungkinan baru bagi sosiologi pengetahuan ilmiah untuk melangkah. Bagaimana penelusuran tentang proses evolusi struktur sosial dari ilmu pengetahuan terhubung dengan evolusi kognitif dari para ilmuwannya. Bab 21 memberikan penjelasan gamblang tentang bagaimana bekerjanya sistem telaah rekan sejawat (peer review) dan bab 22 memberikan gambaran bahwa pengetahuan ilmiah yang berubah seiring dengan pertambahan usia para ilmuwan yang terus menua.

Beberapa catatan penutup untuk diskusi

Buku ini sangat “putih”, “laki-laki”, dan “Amerika”. Pengaruh fungsionalisme amat kuat, yaitu tentang bagaimana ilmu pengetahuan berperan pada masyarakat. Saya perlu masuk pada konteks Indonesia sebagai salah satu upaya mendialogkan buku ini dengan khalayak di sini. Bagi pemelajar sosiologi di Indonesia, buku ini menawarkan sisi yang berbeda dari Merton yang selama ini di bangku-bangku kuliah dikenalkan sebagai “penerus” (kalau bukan “pembaharu”) tradisi pemikiran struktural-fungsional yang dirintis oleh Talcott Parsons. Membaca buku ini, kita dapat melihat bahwa pengaruh Sorokin pada Merton tentang sosiologi pengetahuan jauh lebih kuat dibandingkan pengaruh Parsons. Namun, Merton berusaha menambahkan teori Sorokin yang cenderung holistik dengan pendekatan yang menekankan pada perbedaan di dalam suatu sistem sosial-budaya.

Saya melihat, buku ini merupakan momentum Storer (editornya) untuk menahbiskan Merton sebagai “pendiri” subdisiplin baru dalam sosiologi yang disebut “sosiologi pengetahuan ilmiah”. Tonggak utamanya, sebenarnya adalah disertasi Merton. Pada tahun-tahun Merton mengerjakan disertasinya, dia menulis beberapa artikel tentang studi sosiologi pengetahuan dan pengetahuan ilmiah yang beberapa di antaranya diterbitkan ulang di buku ini. Storer bahkan mencatat bahwa sebelum Thomas Kuhn menerbitkan buku fenomenal The Structure of Scientific Revolution (1962), Merton sudah menggunakan istilah paradigma dalam sebuah artikel yang terbit pada 1945.

Terlepas dari perdebatan tentang keberpihakannya dalam politik dalam dan luar negeri AS, kontribusi Merton pada sosiologi pengetahuan dan sosiologi pengetahuan ilmiah nyaris tak diperdengarkan (atau dikenalkan) oleh pengajar sosiologi di Indonesia. Begitupun studi sosial dan humaniora atas pengetahuan ataupun pengetahuan ilmiah masih belum jamak dilakukan oleh mereka yang belajar ilmu sosial dan humaniora di Indonesia. Pada kesempatan ini, kita sudah menelaah kontribusi Merton yang menawarkan suatu model penelusuran sosiologis atas sebuah pendekatan yang saat ini sedang berkembang: science, technology, and society (STS). Membaca buku ini, kita tidak sedang sekadar membaca tentang apa itu “sosiologi pengetahuan” dan apa itu “sosiologi pengetahuan ilmiah”, tapi juga meneguhkan kembali posisi sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, pembahasan atau pembicaraan tentang buku ini merupakah sebuah upaya untuk tidak sekadar mengenalkan apa itu “sosiologi pengetahuan” ataupun “sosiologi pengetahuan ilmiah”, tapi juga mengajak para pemelajar sosiologi di Indonesia untuk melampaui pembacaan yang dilakukan di ruang-ruang kelas yang formalistik. Misal, ketika membincang Merton kita perlu melampaui pembahasan tentang teori struktural-fungsional dan menggali sisi lain, seperti sosiologi pengetahuan. Atau, ketika membincang Parsons, kita perlu melampaui pembahasan tentang teori AGIL dan menggali sisi lain, seperti argumennya tentang konstruksi imajinasi kapitalisme dalam novel-novel populer Jerman—studi doktoralnya di Universitas Heidelberg. Hal sama berlaku juga untuk tokoh-tokoh lain yang dikenalkan secara parsial di ruang-ruang kelas. 

Keterbukaan akses digital terhadap literatur (baik yang legal maupun ilegal) tidak akan banyak membawa perubahan berarti apabila tidak dibarengi dengan semangat untuk melakukan dekolonisasi pengetahuan (dan pengetahuan ilmiah). (*)

Anton Novenanto, pengajar di Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya; peneliti di Eutenika.

Catatan: Tulisan ini adalah naskah pemantik diskusi buku. Rekaman diskusi dapat dilihat dilihat di kanal YouTube Perkumpulan Eutenika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *