IKN: Kisah Fiksi tentang Ambisi Masa Kini Menuju Puing-Puing Masa Depan

Ini seperti yang dilakukan pendiri bangsa dalam menemukan kembali potensi-potensi identitas keindonesiaan pada reruntuhan Keraton Majapahit dan puing-puing Candi Borobudur.

IRSYAD MARTIAS

Tulisan fiksi ilmiah ini bertujuan untuk meramalkan berbagai skenario masa depan jika proyek ambisius infrastruktur IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur menghadapi kegagalan. Tulisan ini terinspirasi dari karya Ashley Carse dan David Kneas (2019), Unbuilt and Unfinished: The Temporalities of Infrastructure, yang mengkaji bagaimana proyek infrastruktur mangkrak secara aktif dapat menjembatani pengalaman masa lalu dan visi masa depan. Masa depan di sini dimaknai dalam cakrawala waktu yang fleksibel, relatif, dan tentatif—bisa terwujud dalam hitungan hari, bulan, atau bahkan tahun.

Sejumlah kajian tentang sejarah material infrastruktur menunjukkan bahwa kegagalan proyek infrastruktur jangka panjang, yang sering disebut sebagai mangkrak (berhenti di tengah proses pembangunan atau tidak terselesaikan), umumnya dipicu oleh berbagai faktor seperti instabilitas politik (Harvey, 2018), defisit investasi (Carse, 2019), permasalahan lingkungan (Ballestero, 2019), serta meningkatnya tekanan dan resistensi dari publik (Anand, 2012).

Hal ini mengingat proyek pembangunan IKN merupakan proyek jangka panjang yang diproyeksikan selesai pada tahun 2045, ditandai dengan integrasi transportasi massal ke dalam sistem IKN, meneguhkan keberadaan penduduk di kota modern. Meskipun mega proyek infrastruktur IKN baru saja dimulai, berbagai komplikasi sudah mulai terlihat di tengah isu pembangunan. Sebagai contoh, dalam konteks politik, meskipun pada awal pemerintahannya Prabowo berkomitmen untuk melanjutkan agenda pembangunan infrastruktur IKN seperti yang dirintis oleh Jokowi, terlalu dini untuk memastikan keberlanjutan agenda ini. Situasi politik Indonesia yang penuh dinamika tidak memberikan jaminan stabilitas. Drama politik, seperti kawan yang berubah menjadi lawan, dapat terjadi kapan saja, tergantung pada negosiasi dan kalkulasi kepentingan politik yang terus berubah.

Dari aspek ekonomi, seperti yang disampaikan oleh Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), minimnya investasi swasta murni, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, menyebabkan pembengkakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memicu potensi defisit anggaran, mengancam kepastian pembangunan IKN.

Lebih lanjut, kajian awal mengenai dampak lingkungan dari proyek IKN yang dipaparkan oleh Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwiko Budi Permadi, terutama terkait deforestasi, mengindikasikan penurunan kualitas kesejahteraan makhluk hidup akibat kerusakan ekosistem. Ditambah lagi, cerita-cerita tentang penggusuran ruang hidup dan tempat tinggal terus menghantui warga lokal. Tentunya, berbagai komplikasi tersebut semakin memicu kritik publik terhadap proyek IKN, sebagaimana tercermin dalam seruan “Indonesia is Not for Sale” oleh aktivis lingkungan dan warga sekitar IKN.

Pendek kata, akumulasi permasalahan di atas berpotensi menggagalkan pembangunan IKN alias mangkrak di masa depan. Namun, jika IKN mangkrak, hal ini bukanlah akhir dari cerita infrastruktur. Proyek mangkrak justru melahirkan bentuk infrastruktur yang berbeda, yang secara aktif memengaruhi kehidupan sosial, kondisi lingkungan, dan pengalaman manusia tentang waktu (lampau, sekarang, dan masa depan). Infrastruktur mangkrak, dalam hal ini, bisa dianalogikan seperti manusia mati yang kembali hidup sebagai “zombie”—tetap ada, tetapi dengan fungsi yang terdistorsi dan dampak yang tak terduga (Carse dan Kneas, 2019).

Mangkrak: Beberapa Skenario Fiksi

Katakanlah sebelum tahun 2045, proyek IKN mangkrak karena persoalan politik-ekonomi dan tantangan ekologis. IKN mungkin dimaknai publik sebagai monumen kegagalan pembangunan. IKN, yang sebelumnya diproyeksikan sebagai green city, bisa saja kembali menjadi hutan di masa depan.

Bayangkan saja beberapa bagian Istana Garuda, atau bahkan seluruhnya, hancur termakan usia; relung-relung besi Garuda menjadi tempat bersarang burung; kompleks perkantoran menjadi koloni monyet dan satwa lain. Mungkin saja penduduk lokal memanfaatkan rumah-rumah menteri sebagai gudang penyimpanan hasil panen atau mengalihfungsikannya menjadi mess bagi para peneliti kehutanan. Di bawah tanah, pipa-pipa jaringan air menjadi jalan bagi tikus untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Barangkali lumpur menyelimuti jalan-jalan aspal berkualitas tinggi yang tidak pernah dilalui kendaraan bermotor.

Sebagian manusia Indonesia masa depan akan melihat proyek IKN dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan manusia masa kini. Jika generasi kita memandang IKN sebagai potensi masa depan, manusia Indonesia di masa depan mungkin melihatnya sebagai kehancuran masa lalu yang menyiratkan kegagalan meraih cita-cita. Mangkrak bukan berarti mati. IKN bertransformasi menjadi situs sejarah—mungkin arkeologis—yang menstimulasi interpretasi, harapan, nostalgia, dan ketakutan.

Di masa depan, sejarah kegagalan IKN akan menjadi pelajaran penting bagi teknokrat, politisi, dan akademisi tentang besarnya risiko yang harus ditanggung untuk membangun ibu kota baru. Jika di masa depan Jakarta masih menjadi ibu kota negara, wacana akan terus berkembang tentang bagaimana merekayasa penataan kota Jakarta agar terbebas dari bencana urban seperti kepadatan penduduk, kemacetan, polusi, dan banjir. Jika skenario ini tetap gagal, para pengamat mungkin akan menyarankan Presiden untuk mempertimbangkan pemindahan ibu kota negara ke ibu kota provinsi lain, seperti Makassar, Samarinda, atau Medan. Sejarah kegagalan IKN menjadi ingatan penting akan konsekuensi dari ambisi pembangunan politik masa lalu.

Meskipun IKN mangkrak, ia selalu hadir dalam sejarah pembangunan Indonesia. Wacana pembangunan IKN pernah mewarnai perjalanan identitas bangsa. Proyek ini meninggalkan warisan yang tersebar dalam budaya material, seperti peta, undang-undang, poster, buku pelajaran sekolah, dokumen kajian studi kelayakan, artikel, naskah seminar, dan kanal YouTube.

Pendek kata, IKN mangkrak menjelma menjadi memori dan pengalaman kolektif bangsa Indonesia di masa depan. Katakanlah, jika IKN menjadi subjek diskusi sejarawan dan antropolog, ia akan menjadi topik tentang kehancuran masa lalu dan kegagalan meraih masa depan, sebagaimana dituliskan Gupta (2018) dalam kajian tentang the ruination of the past future.

IKN mangkrak mungkin mencampuradukkan sejarah kelam dengan nostalgia bagi masyarakat lokal. Bagi masyarakat yang tersingkirkan akibat proyek IKN, seperti mereka yang mengalami penggusuran, kehilangan mata pencaharian, atau menerima ganti rugi yang tidak memadai, trauma sejarah ini dapat membekas lintas generasi. Di sisi lain, IKN mangkrak bisa menjadi bagian dari cerita nostalgia tentang visi masa depan yang seharusnya terwujud. Harapannya, desa mereka berkembang menjadi kota modern dengan fasilitas transportasi, kesehatan, dan sekolah bertaraf internasional. Namun, di masa depan, infrastruktur tersebut hanya menjadi puing-puing yang membangkitkan kenangan tentang visi masa depan yang nyaris hadir di kehidupan mereka.

Epilog

IKN mangkrak sejatinya tidak menandakan bahwa ia hilang atau mati seutuhnya. Ia dapat bangkit menjadi “infrastruktur zombie” dan berubah ke dalam bentuk kehidupan yang lain (Carse & Kneas, 2019), bahkan jika Indonesia tetap eksis 300 tahun mendatang. Mungkin saja pemerintah masa depan akan mencoba mengekskavasi memori-memori dan artefak proyek infrastruktur IKN.

Hal ini persis seperti yang dilakukan oleh pendiri bangsa kita dalam menemukan kembali potensi-potensi identitas keindonesiaan pada reruntuhan Keraton Majapahit di Trowulan dan puing-puing Candi Borobudur di Muntilan. Mungkin saja ada usaha untuk menghidupkan IKN mangkrak di masa mendatang, tetapi semoga manusia Indonesia masa depan dapat belajar dari masa lalu. Namun, upaya ini mungkin akan membuka luka lama yang membawa harapan sekaligus ketakutan akan kegagalan yang terulang.

Sekali lagi, tulisan ini hanyalah fiksi karena masa depan adalah misteri bagi kita semua.

Rujukan

Anand, N. (2011). Pressure: The politechnics of water supply in Mumbai. Cultural anthropology26(4), 542-564.

Ballestero, A. (2019). The underground as infrastructure? Water, figure/ground reversals, and dissolution in Sardinal. Infrastructure, environment, and life in the Anthropocene, 17-44.

Carse, Ashley (2019) How Weediness Indexes Stata Divestment and Global Disconnection in Infrastructure, Environment, and Life (pp.97-114). Duke University Press.

Carse, A., & Kneas, D. (2019). Unbuilt and unfinished: The temporalities of infrastructure. Environment and Society10(1), 9-28.

Gupta, A. (2018). The future in ruins: Thoughts on the temporality of infrastructure. The promise of infrastructure, 62-79.

Harvey, P. (2018). Infrastructures in and out of time: The promise of roads in contemporary Peru. In The promise of infrastructure (pp. 80-101). Duke University Press.


Irsyad Martias saat ini bekerja sebagai dosen Program Studi Antropologi, Universitas Brawijaya. Dia mendapatkan gelar sarjana dalam ilmu Arkeologi dan master Antropologi dari Universitas Gadjah Mada. Peraih beasiswa pendidikan Kementerian Pendidikan Pemerintah Taiwan (Ministry of Education, Taiwan) itu berhasil mendapatkan gelar doktor pada Kajian Asia Pasifik National Chengchi University, Taiwan (2024). Riset doktoralnya adalah kajian infrastruktur hidrososial di wilayah perbukitan karst Gunungkidul Yogyakarta.

Leave a Reply