Sang Pengendali Banjir: Peran Operator Bendungan bagi Sistem Sungai

Pengalaman berkunjung ke Bendungan Wilalung menyadarkan saya bahwa rekayasa sungai sejak zaman kolonial untuk kepentingan manusia. Saya mulai mempertanyakan: benarkah manusia adalah “sang pengendali air” untuk kepentingannya sendiri? Atau, manusia harus yang beradaptasi dengan dinamika air di sungai?

RAFI SATRIO RACHMAWAN

Pada September 2024, saya membaca berita tentang banjir besar di wilayah Demak, Jawa Tengah. Banjir diakibatkan oleh tanggul Sungai Wulan yang rusak. Sungai Wulan merupakan bagian dari sistem beberapa sungai yang lebih besar di Jawa Tengah, yang disebut Jratunseluna—akronim dari Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juana. Sistem sungai ini melayani beberapa wilayah di Jawa Tengah sisi utara. Belakangan, sistem sungai ini rawan banjir ketika curah hujan tinggi sehingga debit air naik.

Banjir bukan hal yang baru terjadi di wilayah Jatrunseluna. Sejak zaman kolonial, banjir sudah menjadi masalah yang mendorong pemerintah kolonial membangun pintu banjir atau Bendungan Wilalung. Pintu ini berperan dalam pengelolaan sistem sungai Jratunseluna, agar distribusi air sungai merata. Pada 2016, dibuat Standar Operational Prosedur (SOP) untuk mengoperasikan pintu Bendungan Wilalung. Akan tetapi, trend aliran sungai yang terus melampaui kapasitas dan deforestasi di wilayah hulu sungai membuat SOP tersebut dianggap tidak lagi selaras dengan kondisi saat ini.

Peta administrasi wilayah sungai Jratunseluna.

Banjir kerap kali dipandang sebagai fenomena alam belaka. Namun lebih sering banjir adalah gabungan dari kelalaian manusia dalam memahami lingkungannya sendiri. Tulisan ini membahas ikhwal keadilan terkait pengelolaan sistem sungai dari perspektif keseharian operator bendungan. Hanya dengan demikian, kita dapat memahami bahwa infrastruktur bukan hanya himpunan benda teknis, tetapi juga keterkaitan kompleks antara peraturan, kuasa, dan aktor yang bekerja di belakangnya.

Berdirinya Sistem Kendali

Kunjungan pertama saya ke Bendungan Wilalung bertepatan dengan Hari Natal 2024. Saya ingin melihat infrastruktur pengendali banjir di wilayah Demak dan Kudus itu. Bendungan yang dibangun tahun 1918 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda itu ditujukan mengelola dan mengatur distribusi air dari Sungai Serang dan Sungai Lusi ke arah Lembah Juwana (wilayah Pati) dan ke Sungai Wulan.

Bendungan Wilalung memiliki 11 pintu air yang terbuat dari beton berlapis besi. Di sisi kanan-kiri terdapat roda untuk menggerakkan pintu naik/turun. Roda itu digerakkan melalui alat pemutar yang berada di atas pintu air. Mereka yang punya otoritas mengoperasikannya disebut “operator”.

Setiap pintu air Bendungan Wilalung punya fungsinya masing-masing. Pintu 1 sampai 9 berfungsi untuk mendistribusikan air ke arah Juwana. Pintu 10 dan 11 untuk mendistribusikan air ke Sungai Wulan. Banyaknya jumlah pintu yang diarahkan ke Juwana lebih didasarkan pada alasan historis. Pada masa pembangunan bendungan itu, Pemerintahan Belanda ingin meningkatkan produktivitas industri gula untuk Pabrik Rendeng. Pintu-pintu air yang mengarah ke Juwana itu bertujuan untuk memperlancar sistem irigasi di rawa-rawa yang akan ditanami tebu.

Saat ini hanya dua pintu air Bendungan Wilalung yang masih aktif: pintu 8 dan pintu 9. Pintu 1 sampai 3 tidak lagi berfungsi karena sedimentasi. Pintu 10 dan 11 sudah diangkat. Evaluasi pada tahun 1973 menyatakan bahwa Bendungan Wilalung sudah tidak lagi bisa menahan beban aliran air dari Bendung Klambu di wilayah Grobogan. Konsekuensinya, pintu 10 dan 11 “dinetralkan” (kata lain dari dibongkar total). Di tahun yang sama juga dibangun kanal banjir (floodway) untukSungai Wulan. Dengan demikian, beban Bendungan Klambu tidak sepenuhnya ditampung oleh Bendungan Wilalung.

Bendungan Wilalung merupakan salah satu bendungan yang berpengaruh di Sistem Sungai Jratunseluna. Sistem ini bermula di daerah Semarang-Salatiga-Jepara dan berakhir di wilayah pantai utara Jawa. Sistem ini merupakan gabungan dari beberapa sungai besar, seperti Sungai Lusi, Sungai Serang, Sungai Juwana, dan Sungai Wulan. Sungai-sungai dalam Sistem Sungai Jratunseluna berpotensi menimbulkan banjir. Untuk mengantisipasi hal tersbeut, dibangunlah bendungan-bendungan sebagai infrastruktur sistemik yang mengendalikan laju air. Para operator bertugas untuk mengoperasikan sistem infrastruktur itu.

Salah satu pintu air yang terkena sedimentasi. (©Rafi Satrio Rachmawan, 2025)
Pintu 10 dan 11 yang Dinetralkan. (©Rafi Satrio Rachmawan, 2025)

Pengaturan Aliran Sungai

Ada dua operator Bendungan Wilalung. Sebut saja, Bapak S dan Bapak U. Mereka berdua sudah bekerja selama 5 tahun. Tugas para operator adalah mengoperasikan pintu air. Operator melapor kepada koordinator lapangan (korlap, para operator biasa menyebut dengan “mantri”) untuk memastikan kondisi aliran sungai.

Kepada saya, Bapak U berkata bahwa dia harus mematuhi apa kata mantri atau korlap. Dulu, korlap berada di lokasi. Biasanya, orang yang ditunjuk sebagai korlap tinggal di dekat lokasi bendungan. Seiring dengan bertambahnya jumlah bendungan yang harus dioperasikan, korlap tidak selalu berada di lokasi. Mereka hanya datang ketika ada pembukaan pintu berdasarkan SOP. Sementara itu, operator harus berada pada lokasi setiap harinya. Dengan demikian, mereka bisa mengamati aliran sungai dan siap siaga untuk menerima informasi dari operator lain.

Pengaturan aliran sungai bermula dari pengamatan terhadap “tinggi muka air” atau TMA. Naik/turunnya TMA dipengaruhi oleh tinggi/rendahnya curah hujan di wilayah Jawa Tengah. Informasi TMA didapatkan melalui pengamatan secara langsung yang kemudian dikomunikasi melalui radio, fax, email, dan WhatsApp. Komunikasi dilakukan antara operator, korlap, dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana untuk memantau kondisi TMA.

Kondisi TMA akan mempengaruhi pengoperasian aliran sungai di Bendungan Wilalung. Untuk memudahkan koordinasi pengoperasian pintu air oleh banyak pihak, pada 2016 dibuatlah SOP. SOP ini merupakan langkah antisipasi menanggulangi banjir. Menurut SOP, jika debit air Sungai Serang mencapai lebih dari 800 m³/detik, pintu arah ke Juwana akan dibuka secara bertahap.

Menurut Bapak S, pembuatan SOP melibatkan beberapa pihak yang berasal dari wilayah seperti Demak, Kudus, Grobogan, Pati, dan juga Pemprov Jawa Tengah. Pengaturan ini mencerminkan bahwa koordinasi antar daerah sangat krusial. Akan tetapi, otoritas tertinggi mengatur aliran sistem sungai ini berada di tangan BBWS Pemali-Juana.

Secara hukum, BBWS memiliki otoritas atas Sistem Sungai Jratunseluna, yang salah satunya adalah Bendungan Wilalung. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PUPR) No. 13/PRT/M/2006 tanggal 17 Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Wilayah Sungai. Wilayah kerja BBWS Pemali-Juana melingkupi Wilayah Sungai Pemali-Comal dan Wilayah Sungai Jratunseluna.

Dalam suatu percakapan Bapak S mengatakan bahwa walaupun orang-orang yang menyusun SOP itu sudah tidak ada. Akan tetapi, para operator berdua harus taat padanya. “SOP sudah bagian dari tubuh,” candanya. Ketika ada perintah untuk melaksanakan SOP, mereka akan langsung bergerak dengan sendirinya.

Struktur pengaturan aliran sungai pun mulai terlihat dari perbincangan bersama kedua operator yang saya jumpai. Dalam struktur, operator berada di paling bawah, berperan teknis di lapangan untuk membuka/menutup pintu air. Lapis di atasnya adalah korlap, bertugas untuk memastikan para operator melaksanakan SOP. Di tingkat paling atas terdapat BBWS dan Balai Pengelola Sumber Daya Air (PSDA). Apabila BBWS adalah bagian dari Kementerian PUPR, Balai PSDA berada di bawah Pemprov Jawa Tengah.

Dalam dokumen SOP juga disebutkan aktor-aktor dari aparat, seperti Bakorwil dan Kodim. Menurut Bapak S, para aparat ini sering kali hadir di lapangan membawa handy talkie (HT). Kehadiran mereka memberikan rasa intimidasi. Menurut Bapak S, mereka hadir untuk memantau situasi yang terjadi dengan dalih kedaruratan.

Skema Sistem Jaringan Komunikasi Pengendalian Banjir, BWS Pemali – Juana.
(©Rafi Satrio Rachmawan, 2025)

Pengetahuan dan Kesunyian

Bapak S dan Bapak U sudah bekerja di lokasi Bendungan Wilalung selama lima tahun. Pengetahuan mereka mengenai perairan dan lingkungan, bisa dikatakan, sudah cukup pakem. Bapak S bercerita bahwa dia sudah bekerja di bidang perairan selama 30 tahun. Pengetahuan mengenai dinamika air sungai sudah mengakar. Dia sering bercerita tentang sejarah terbentuknya bendungan dan sungai di Jawa. Menurutnya, bendungan adalah hasil politik etis Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengatur aliran air dan pembiayaan serta pembangunan infrastruktur. Rekayasa sungai di Jawa yang direkayasa Belanda dilakukan dengan meluruskan sungai. Sungai alami, menurut Bapak S, adalah yang berliku, bukan lurus.

Pengetahuan mengenai sungai dan bendungan bukan satu-satunya pengetahuan yang terbentuk. Operator harus siap sedia di lokasi setiap harinya, tanpa hari libur. Pengetahuan praktis kedua operator terbentuk dari hasil interaksi mereka dengan bendungan, pintu air, dan SOP selama lima tahun bekerja. Tidaklah heran apabila SOP sudah menjadi bagian dari tubuh operator.

Selain tentang sungai dan bendungan, pengetahuan tentang kondisi ekologis Sistem Sungai  Jratunseluna juga terbentuk dari keseharian operator. Misal, pengetahuan tentang sedimentasi yang sewaktu-waktu dapat menghambat pengoperasian bendungan. Bapak S juga bercerita bahwa permasalahan sampah juga sering mengganggu kinerja bendungan. Sampah sering tersangkut di roda-roda pintu bendungan, mengakibatkan pintu sulit membuka.

Selain persoalan di bendungan, kondisi di hulu sungai juga menjadi perhatian para operator. Deforestasi adalah salah satu isu penting. Ada masa ketika wilayah hulu Jratunseluna masih dipenuhi oleh pohon-pohon besar. Saat ini, banyak kawasan di Jawa Tengah mengalami deforestasi. Ditambah dengan tingginya tingkat sedimentasi di sungai-sungai di Jratunseluna turut memicu banjir di wilayah ini.

Perubahan iklim juga bermain peran. Menurut Bapak S, peningkatan kecepatan dan kekuatan arus sungai terjadi sejak 10-15 tahun terakhir. “Air sungai sekarang sudah bergerak secara cepat dan brutal, seperti mobil F1,” tambah bapak S. Arus sungai semakin deras, volume air sungai semakin meningkat, dan sungai semakin sempit maka muncullah banjir.

Menurut kedua operator, SOP yang ada perlu direvisi menyesuaikan kondisi ekologis yang ada. Bapak S berpendapat bahwa kondisi lingkungan pada saat SOP dibuat sudah jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Oleh karenanya perlunya adanya revisi terhadap SOP “paradigma lama” itu.

Kedua operator yang saya temui merasa bahwa mereka hanya menjalankan fungsi teknis di lapangan dan tidak punya kuasa penuh untuk melakukan perubahan SOP. Mereka mengetahui dinamika perubahan lingkungan, akan tetapi mereka tidak punya daya dan kesempatan untuk bersuara bagi perubahan. Otoritas pengubahan SOP ada di tangan BBWS dan PSDA.

Refleksi

Sepulangnya dari Wilalung, Demak, dan Kudus, saya mulai merefleksi kondisi sungai-sungai di sekeliling. Sungai sangat dekat dengan orang-orang di sekitarnya. Beberapa bahkan lahir dan tumbuh besar bersama sungai. Sungai sangat dekat dengan masyarakat dan punya manfaat banyak hal. Manusia menggunakan sungai untuk kegiatan sehari-hari mereka. Pengalaman berkunjung ke Bendungan Wilalung menyadarkan saya bahwa rekayasa sungai sejak zaman kolonial untuk kepentingan manusia. Praktik ini masih dipelihara sampai sekarang. Secara alamiah, setiap sungai memiliki jalur gerak masing-masing. Saya mulai mempertanyakan: benarkah manusia adalah “sang pengendali air” untuk kepentingannya sendiri? Atau, manusia harus yang beradaptasi dengan dinamika air di sungai?

Kisah keseharian para operator menyadarkan saya bahwa manusia yang harus menyesuaikan dengan sungai. Manusia melakukan rekayasa atas sungai, namun kita tidak sepenuhnya bisa mengendalikannya. Saya pun teringat kata-kata Bapak S: “teknik akan kalah dengan yang mahakuasa”. (*)

Rafi Satrio Rachmawan saat ini adalah mahasiswa Program Studi Sarjana Sosiologi, Universitas Brawijaya. Penerima Hibah Penelitian “Keadilan Infrastruktur” 2025 dari Perkumpulan Peneliti Eutenika.

Leave a Reply