Kamis, 23 April 2020, 15.30-17.30 WIB via Zoom.
Transkrip diskusi bisa diunduh di sini.
Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 bukan satu-satunya sumber kecemasan di masa pandemi saat ini. Sumber kecemasan lain adalah kekhawatiran akan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan berkepanjangan dalam masyarakat. Pada 13 April ini, Presiden Joko Widodo menetapkan situasi pandemi ini sebagai ‘bencana nasional.’ Beberapa hari sebelumnya, pemerintah telah merilis program Kartu Pra-Kerja sebagai satu strategi bertahan dalam krisis sosio-ekonomi ini.
Di skala global, krisis ekonomi bermula ketika COVID-19 menghantam Wuhan, sebuah kota industri dan perdagangan yang cukup penting di China. Kebijakan lockdown yang diterapkan pemerintah China terhadap provinsi Hubei, tempat Wuhan berada, sangat signifikan dalam menghambat laju pertumbuhan ekonomi tidak hanya di China, tapi juga ekonomi dunia. China, harus diakui, telah memainkan peran penting sebagai salah satu kutub politik-ekonomi dunia, mengimbangi Amerika Serikat dan Eropa, dengan menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua. International Moneter Fund (IMF) memperkirakan bahwa China telah menyumbang 39% pada pertumbuhan ekonomi global tahun lalu. Guncangan ekonomi di China bekerja seperti gelombang besar yang menghantam ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Beberapa waktu lalu, banyak dari kita yang sangat optimis dengan era Revolusi Industri 4.0. Akan tetapi, pandemi juga mengancam keberlangsungan Industri 4.0 karena ternyata di balik dunia digital dan otomatisasi para pekerja di sektor ini juga masih mengandalkan jaminan dari sektor-sektor riil lain. Krisis sosial-ekonomi tidak hanya di depan mata, tapi sebagian dari kita sudah mengalaminya. Tidak sedikit usaha kecil-menengah harus gulung tikar. Pabrik-pabrik manufaktur skala besar pun menghentikan mesin-mesin produksi karena pasokan bahan baku terhambat. Daya beli masyarakat melemah. Kredit macet. Kalau pun ada barang, konsumen rasional akan menata ulang skala prioritas untuk mengamankan diri dan lingkar ekonomi terkecilnya.
Di tengah suasana serba tidak pasti ini, para pelaku ekonomi di tingkat lokal mengambil keputusan rasional untuk mengamankan usahanya. Pemerintah pun menyusun strategi yang menurutnya bisa dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi warga. Salah satunya adalah program Kartu Pra-Kerja, yang mendapatkan kritik dari banyak pihak karena dianggap menguntungkan pelaku bisnis tertentu dan merugikan buruh nir-keterampilan. Keberhasilan (atau kegagalan) pemerintah untuk menangani pandemi ini, bagaimanapun juga, akan berkontribusi besar bagi masa depan kehidupan sosial-ekonomi di kepulauan ini.
Pada saat yang bersamaan, Indonesia sedang merangkak untuk bisa menerapkan sistem jaminan sosial (kesehatan dan tenaga kerja) baik secara kuantitas dan kualitas untuk bisa secara inklusif menjangkau seluruh warganya tanpa terkecuali. Salah satu kelas sosial yang terkena dampak langsung dari krisis ekonomi adalah buruh. Pelbagai insentif yang diberikan pemerintah cenderung berpihak pada pengusaha. Membayangkan buruh tak lebih dari mesin-mesin produksi yang dapat diistirahatkan sejenak dan nanti bisa dihidupkan kembali. Beberapa pengusaha merumahkan buruhnya menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Tunjangan Hari Raya, yang dalam situasi normal saja kerap menjadi polemik, semakin menjadi mimpi bagi sebagian besar buruh.
Beberapa pertanyaan mencuat:
Anton Novenanto (dosen Masyarakat dan Budaya Bencana, FISIP, Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Perkumpulan Peneliti Eutenika)
Transkrip diskusi bisa diunduh di sini.