Kamis, 16 April 2020, 15.30-17.30 WIB via Zoom.
Transkrip diskusi dapat diunduh di sini.
Ketika diskusi ini diselenggarakan, sudah satu bulan lebih kita menghidupi normalitas baru menghadapi pandemi global COVID-19. Nyaris tidak ada hari kita lewatkan tanpa mendengar kata “COVID-19” ataupun “virus korona”. Ini adalah situasi normal baru yang tak bisa dihindari lagi dan terhadapnya kita harus menyintas. Mengacu Pemerintah, situasi darurat ini akan terus berjalan sampai 29 Mei 2020. Dan bukan tidak mungkin situasi ini akan berlanjut.
Mobilitas manusia dibatasi. Perilaku setiap individu diatur sedemikian rupa. Pelbagai himbauan dan protokol disebarluaskan, dipelajari dan direspons dengan ragam laku kreatif dari pribadi dan kolektif. Semangat pribadi dan kolektif untuk menyintas sangat besar, namun apakah aksi-aksi yang dijalankan cukup efektif untuk menjamin kecemasan individual maupun kolektif tidak berujung pada kepanikan massa.
Ketika situasi darurat yang lain mendorong terjadi peningkatan mobilitas manusia keluar dari wilayah-wilayah darurat untuk mengungsi ataupun justru masuk ke wilayah-wilayah tersebut untuk memberi bantuan pada para korban, situasi darurat pandemi justru mengharuskan sebagian besar dari kita untuk menghindari perjumpaan di ruang-ruang publik dan berdiam diri di kediaman masing-masing. Sekolah dan kampus ditutup. Sebagian besar kantor dan tempat usaha ditutup. Mal dan pusat perbelanjaan mulai menutup aktivitas dan merumahkan karyawannya. Pasar tetap beroperasi dalam kewaspadaan tingkat tinggi. Investor asing menarik investasi membuat aktivitas ekonomi hampir mandeg sepenuhnya.
Krisis sosial-ekonomi tidak hanya di depan mata, tapi sebagian dari kita sudah mengalaminya. Anjuran untuk mudik pun memunculkan polemik. Ini bukan soal pulang kampung namun kita semakin menyadari betapa perjumpaan sosial tak tergantikan oleh pelbagai jenis perjumpaan yang termediasi oleh teknologi. Sementara itu yang masih bisa bekerja diharapkan untuk tetap produktif di kediamannya masing-masing dalam ketidakpastian tentang kapan situasi ini akan berakhir.
Dalam situasi pandemi, andalan paling utama untuk tetap mendapatkan informasi terkini adalah media sosial. Kita tidak dapat memperkirakan apa yang bakal muncul di layar gawai kita setiap detiknya. Kita, yang bertahan di kediaman masing-masing, mengikuti itu secara aktif maupun pasif melalui gawai yang semakin melekat di tangan kita. Pelbagai spekulasi bermunculan dan beredar paling kencang di media sosial.
Diskusi Perkumpulan Eutenika, Selasa, 7 April 2020 lalu mengidentifikasi bencana lain yang tak kalah serius dari pandemi, yaitu: infodemi—suatu kondisi ketika banjir informasi yang begitu deras, khususnya di era media sosial ini, menyebabkan kita kewalahan bahkan untuk sekadar memilih informasi apalagi untuk mencernanya. Alih-alih mencerahkan, infodemi justru menambah kecemasan di tengah situasi pandemi ini. Bukan tidak mungkin kita adalah saksi hidup sekaligus aktor utama dari pelbagai kepanikan sosial yang muncul akibat dampak kolateral dari pandemi COVID-19.
Tak jarang, pelbagai tekanan dari luar yang berlebihan berdampak pada kondisi mental yang kemudian berpengaruh pada kesehatan fisik. Beberapa pertanyaan mencuat:
Anton Novenanto (dosen Masyarakat dan Budaya Bencana, FISIP, Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Perkumpulan Peneliti Eutenika)
Transkrip diskusi dapat diunduh di sini.