Selasa, 5 Mei 2020, 15.00-17.30 WIB via Zoom.
Catatan diskusi bisa dilihat di sini.
Transkrip diskusi bisa diunduh di sini.
Menulis di tengah epidemi kolera menyerang Paris tahun 1832, penulis dan pendiri tradisi Romantisisme Prancis, François-René de Chateaubriand menyampaikan paradoks bencana dan modernitas. Dalam sebuah dunia yang tidak lagi didominasi oleh keyakinan-keyakinan agama, bencana kehilangan dimensi tragisnya. Kolera menjadi teror bukan hanya bagi masyarakat, tapi juga modernitas. Bagi Chateaubriand, wabah kolera adalah sebuah bencana modern yang sempurna, yakni, bahaya alamiah yang hanya dapat dipahami bila diterjemahkan dalam istilah-istilah manusiawi. Bencana, apapun jenis dan dampaknya, memicu krisis kepercayaan — terhadap apapun.
Seri Diskusi Daring #3 Eutenika “Ketahanan Sosial-Ekonomi Menghadapi Pandemi”, 23 April lalu, mengidentifikasi pandemi COVID-19 sebagai ujian besar bagi kepercayaan publik pada pemerintah. Menurut Erza Killian, kepercayaan publik bakal melemah bila pemerintah tidak secara segera melakukan penanganan langsung pada akar persoalannya, yakni wabah COVID-19. Mengibaratkan situasi pandemi sebagai tubuh yang terkena tembak, Erza menyebutkan bahwa yang mendesak untuk dilakukan adalah mengeluarkan proyektil peluru dari tubuh, sebelum memasang perban.
Dalam amatan Erza, pemerintah Indonesia langsung memasang perban dan menggantinya dengan perban lain ketika perban lama sudah tidak sanggup menahan darah yang terus keluar. Akibatnya, krisis akan terus menjalar dan ongkos yang dikeluarkan akan semakin besar dan usaha yang dilakukan hanya sia-sia belaka. Belum ada usaha serius dari pemerintah untuk mengeluarkan proyektil peluru dari tubuh; keseriusan untuk mengatasi wabah COVID-19.
Harapan pada pemerintah juga disampaikan Benedictus Hari Juliawan. Benny menyebutkan bahwa pemerintah adalah lembaga atau aktor kunci yang sangat diharapkan bisa diandalkan ketika krisis akibat bencana melanda suatu negara. Akan tetapi, pada saat ini pemerintah telah gagal mengidentifikasi kerentanan-kerentanan yang menyebabkan krisis sosial-ekonomi dalam masyarakat. Program Kartu Pra-Kerja tidak lebih dari sekadar jargon politik yang diklaim sebagai solusi mujarab bagi krisis sosial-ekonomi akibat pandemi ini. Wajar bila publik semakin mempertanyakan kredibilitas dan kapabilitas pemerintah untuk mengatasi situasi.
Beberapa individu justru memanfaatkan situasi sebagai panggung pentas politik demi tujuan popularitas elektoral. Hakimul Ikhwan menambahkan bahwa satu-satunya aktor yang berhasil melakukan social distancing adalah pemerintah pusat yang semakin hari semakin berjarak dengan pemerintah daerah dan warganya. Akan tetapi, Hakim mencermati adanya harapan dari solidaritas sosial yang muncul dan bergerak secara sukarela untuk menjadi jaring pengamin yang efektif antar sesama warga.
Seri Diskusi Daring #4 “Respons kultural atas pandemi” melanjutkan diskusi sebelumnya yang mengidentifikasi melemahnya kepercayaan publik pada sistem politik dan berusaha melihat peluang sistem budaya dalam merawat harapan dan menyintas bersama ketidakpastian. Beberapa pertanyaan mencuat:
Hatib Abdul Kadir (co-founder Eutenika; Universitas Brawijaya)
Transkrip diskusi bisa diunduh di sini.